Halaman

Bersama membangun Desa...

Merupakan solusi kepercayaan warga dalam membangun desa

Kamis, 03 Mei 2012

Keputusan Kepala Desa tentang Pungutan Desa

Surat Keputusan Kepala Desa Rowosari
No.2 Tahun 2012
tanggal 3 Mei 2012
tentang Pungutan Desa
Bahwa dalam rangka memberikan kemudahan pelayanan kepada warga desa Rowosari dan sekaligus menjalankan prinsip Keterbukaan Informasi Publik maka melalui Keputusan Kepala Desa telah diputuskan beberapa hal sehubungan dengan Besarnya Pungutan Pengurusan Administrasi dan surat-surat diantaranya ialah;


No
Jenis Pungutan
Uraian
Besar pungutan
(Rp)
Ket.
1
Persaksian Jual Beli Tanah (Pologoro)
Yang bersangkutan harus hadir dikantor Balai desa bersama RT
3% dari nilai jual

2
Pengukuran Tanah
Untuk  tanah Darat
250.000

Untuk tanah Sawah
300.000

3
Pembuatan surat Keterangan Ahli waris
Yang bersangkutan harus hadir di kantor Balai desa
Sukarela

4
Persaksian Hibah dan Waris
Yang bersangkutan harus hadir di kantor Balai desa
250.000

5
Permohonan Surat Keterangan Usaha
Yang bersangkutan harus hadir di kantor Balai desa
15.000

6
Registrasi  NTCR (Nikah,Talak,Cerai dan Rujuk)

30.000

7
Permohonan Surat-surat Umum (KTP,KK,Pengantar SKCK,SIM,Ket.Domisili dan lain-lain yang sejenis)
Yang bersangkutan harus hadir di kantor Balai desa
5.000

8
Permohonan Surat Keterangan Tidak Mampu
Yang bersangkutan harus hadir di kantor Balai desa
Gratis (tidak dipungut Biaya)


NB; Permohonan pengurusan surat-surat dengan menyertakan Pengantar dari RT

Selasa, 01 Mei 2012

Selamat Jalan Bapak HM.Bambang Sugeng......

Malam ini selasa bapak sekdes kami HM.Bambang Sugeng telah purna tugas/pensiun atau tepatnya per 1 mei 2012, banyak kenangan yang telah dilalui dan alami bersama, terlebih Beliau menjabat sebagai Sekretaris Desa Rowosari sejak Periode Kepala Desa Bpk.Goenadi (1985-1993) kemudian masa pemerintahan Kepala Desa Bpk.Abdul Ghofur (1993-2001) dan terakhir pada pemerintahan Kepala Desa Bpk.HM.Edi Sutanto(2002-2012), tiga periode kepemimpinan kepala desa rowosari yang berbeda tentu telah banyak menorehkan kenangan dan memberi warna pada pembangunan desa, bakti Beliau dalam pelayanan terhadap masyarakat tentu tak mudah dilupakan dan terlebih bagi kami perangkat desa seagai rekan , teman sekaligus anak merasa kehilangan sosok yang selama ini sering dijadikan aduan permasalahan ataupun solusi dari berbagai macam pekerjaan, kini masa itu telah menjadi sejarah bagi kita, kini kebersamaan itu berakhir sudah dan kini kami harus rela dan tabah hati seraya mengharapkan agar sekiranya kebersamaan kita selama ini menjadi kenangan yang tak terlupakan, sejarah buat anak cucu kita, dan akhirnya tidak banyak yang bisa kami sampaikan hanya untaian do'a dan sedikit pesan ;
" Ya..Allah terimalah segala amal bakti Beliau selama mejabat sebagai Sekdes didesa kami...ya Allah limpahkan berkah dan karunia-Mu hingga akhir kebersamaan ini menjadi baik untuk kami....ya...Allah curahkan rahmat dan Ridho-Mu agar sekiranya ia mendapatkan yang lebih baik dari yang pernah dijalaninya....Ya Allah jadikanlah kami ada dalam bimbingan-Mu dan lindungan-Mu hingga kami dapat beramal lebih baik dari sekarang,,,,
dan sedikit pesan ;
sebagaimana disampaikan KH.Abu Syahma,(sambutan pelepasan) ;
" jadilah orang yang makin mendekat kepada-Nya, tingkatkanlah Ibadah dan Amal baik."
SELAMAT JALAN PAK HM.BAMBANG SUGENG, KENANGAN BERSAMAMU AKAN SELALU ADA DI KALBU,,,,,,,,,
By. Rekan Perangkat Desa Rowosari

Senin, 30 April 2012

Babad Desa Rowosari


Babad Desa Rowosari (Mengislamkan Tanah RowosariDan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa.

Oleh ; H.Aji Sudarmaji,SH.MH


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Desa Rowosari merupakan sebuah desa yang masuk di wilayah Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, terletak di daerah pantai utara (pantura) wilayah paling timur dari Kabupaten Pemalang, berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan yang dipisahkan oleh aliran sungai Sragi.
Keberadaan Rowosari dapat dibuktikan berdasarkan berbagai temuan arkeologis. Temuan itu berupa punden berundak/candi, kuburan dan batu nisan di dukuh Jagalan (nisan etnis cina). Selain itu bukti arkeologis yang menunjukkan adanya unsur-unsur kebudayaan Islam juga dapat dihubungkan seperti adanya makam/kuburan Among Jiwo di pemakaman Tenggulun/ Trenggulun, yang juga memiliki misi untuk mengislamkan penduduk setempat.
Dewasa ini masih banyak masyarakat yang belum mengetahui asal-usul tentang Desa Rowosari, baik dari sejarah maupun cerita rakyat, mitos, legenda yang membahas tentang Desa Rowosari, termasuk nama-nama dan pengertian arti kata dari masing-masing dukuh/dusun yang ada didalamnya, bahkan arti nama atau asal-usul nama desa disekitar Desa Rowosari, perkembangan kehidupan masyarakatnya, baik sosial ekonomi, budaya, agama dan nama-nama tokoh agama Islam yang ada, juga nama-nama Lurah/Kepala Desa Rowosari dari masa ke masa.
Apabila masyarakat tidak mengenal dan tidak mengetahui sejarah daerahnya sendiri, maka dapat dipastikan 50 tahun kedepan masyarakat akan tenggelam ditelan sejarah kelam masuknya sejarah dan budaya asing, dan masyarakat akan kehilangan jati dirinya serta tidak akan pernah tahu bagaimana yang sebenarnya tentang sejarah daerahnya sendiri.
 Penulis akan mencoba untuk menyajikan tulisan ini tentang terbentukanya/babad  Desa Rowosari yang dikemas secara sederhana agar dapat dengan mudah untuk dipahami dan dimengerti oleh pembaca dengan harapan dapat membuka tabir rahasia dari daerah/Desa Rowosari tersebut yang kemudian dapat disumbangkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak dilupakan oleh generasi mendatang.
Sehingga sangat tepat apa yang dikatakan oleh Bung Karno sang Proklamator yang sekaligus sebagai Presiden R.I. pertama tentang Jasmerah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah).
Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada ahli sejarah atau tokoh lokal yang menulis tentang sejarah Desa Rowosari, sehingga ketika timbul suatu pertanyaan tentang bagaimana sejarah/babad Desa Rowosari belum dapat terjawabkan. Oleh karena itu penulis perlu dan berharap semoga usaha penulis membuat buku ini akan menggugah para sejarawan atau tokoh lokal untuk memperhatikan masalah yang berkaitan dengan sejarah atau babad Desa Rowosari, yang pada gilirannya dapat bermanfaat bagi generasi selanjutnya.
Sejarah daerah sebagai hasil budaya manusia yang bersahaja, lebih banyak berupa cerita dari mulut ke mulut, berupa legenda, dongeng dan mitos yang oleh orang Barat  dikatakan tidak riil, penuh dengan kegaiban, fantasi dan spekulasi. Kesukaran yang lain, pada umumnya sifat cerita adalah suci atau sakral dan tabu, sehingga diperlukan analisis yang cermat dalam usaha penelitian.[1]
Dengan adanya kesukaran-kesukaran tersebut di atas, maka yang perlu dilakukan adalah dengan menggunakan approach multidimensional, agar dapat memungkinkan penulisan/penelitian sejarah daerah ini dapat tercpai, serta mendapatkan data historis.
Sesuai dengan pendapat Dr. Sartono Kartodirdjo, maka approach yang multidimensional ini, akan diperoleh data-data yang obyektif dan terhindar dari data-data yang subyektif.[2]
Penulis berkeyakinan, bahwa di Desa Rowosari masih banyak menyimpan  bahan-bahan sejarah berpotensi dan ilmu pengetahuan yang belum banyak diungkap, sehingga tulisan ini diharapkan menggugah masyarakat, khususnya bagi masyarakat daerah/Desa Rowosari untuk mengenal sejarahnya sendiri.
Ahli Romawi yang bernama Cirero (106-43 SM)  menyatakan : History is the witnees of time, the torch of truth, the life of memory, the teacher of life and the messenger of antiquity”. (Sejarah itu  adalah saksi dari waktu, obor dari kebenaran, kenang-kenangan dari hidup, guru dari kehidupan dan pesuruh dari zaman kuno).[3]
Dari pernyataan tersebut, jelaslah bahwa sejarah daerah Desa Rowosari juga merupakan saksi dari waktu, obor dari kebenaran, kenang-kenangan hidup bagi yang berkepentingan, guru bagi yang mau meneladani serta jelas merupakan pesuruh dari zaman kuno. Dengan berdasar pada pernyataan tersebut, penulis akan berusaha mengungkap apa yang sebenarnya pernah terjadi di daerah Desa Rowosari.
Berdasarkan uraian di atas cukuplah bagi penulis untuk menyusun buku ini dengan judul : Babad Desa Rowosari (Mengislamkan Tanah Rowosari) Dan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa.

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat penulis kemukakan, permasalahan yang hendak penulis bahas, yaitu :
a.       Sejauh mana eksistensi sejarah Desa Rowosari  sejak babad hingga sekarang?
b.      Siapakah orang yang pertama kali yang mengislamkan tanah Rowosari?

C.    Tujuan Penulisan/Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan/penelitian ini adalah :
1.      Ingin mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas tentang sejarah babad Desa Rowosari dan perkembangannya dari masa ke masa?
2.      Ingin mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas tentang siapakan orang pertama kali yang mengislamkan tanah Rowosari?


D.    Manfaat Penulisan/Penelitian
Adapun manfaat atau kegunaan yang diharapkan dari penulisan/penelitian ini   adalah :
1. Teoritis
Dengan adanya penulisan/penelitian ini maka:
a.       Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi akademisi tentang sejarah atau babad Desa Rowosari.
b.      Diharapkan dapat jadi bahan pemikiran bagi masyarakat, khususnya para sejarawan dalam mempelajari sejarah Desa Rowosari.

2. Praktis
Penulisan/penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penelitian yang berkaitan dengan sejarah Desa Rowosari.

E.     Sistimatika Penulisan
Penyusunan dan pembahasan buku ini dibagi dalam 5 (lima) bab. Sedangkan tiap-tiap bab terbagi lagi dalam sub-sub bab. Adapun uraian bab demi bab secara singkat dapat diuraikan seperti di bawah ini.
Bab I merupakan Pendahuluan, yang memuat Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan/Penelitian, Manfaat Penulisan/Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Selanjutnya Bab II berisi mengenai Sejarah Daerah Dan Permasalahannya, yang terbagi dalam sub bab, Pengertian Sejarah, Rowosari Merupakan Daerah Rawa-Rawa, Letak Desa Rowosari, Arti Dari Beberapa Nama Dukuh.
Bab III berisi mengenai Benda Historis Desa Rowosari, yang terbagi  dalam sub bab, yaitu  Peninggalan Sejarah, Makam Among Jiwo, Candi, Makam-Makam, Masjid Jami, Kelenteng, Pasar, Pegadaian, Pusat Hiburan, Pusat Kegiatan Olah Raga, Lumbung Padi dan sub bab mengenai Hipotesa, yang berisi tentang Sosial Ekonomi, Kultur, Agama.
Kemudian pada Bab IV merupakan Cerita Rakyat Dan Sumber Sejarah, yang berisi mengenai Terjadinya Nama Dukuh Bong, Terjadinya Nama Dukuh Bandaran, Terjadinya Nama Dukuh Pekacangan, Terjadinya Nama Dukuh Panggang, Terjadinya Nama Dukuh Candi, Terjadinya Nama Dukuh Keweden, Terjadinya Nama Dukuh Pejaten, Terjadinya Nama Dukuh Pangkah, dan Terjadinya Nama Desa Samong.
Dilanjutkan Bab V berisi mengenai Pemerintah Dan Penguasa yang terbagi dalam Periodesasi Pemerintah Dan Penguasa, Babakan Masa Kuno, Babakan Masa Tengah, Babakan Masa Baru, Pemerintahan Tingkat Kecamatan.  Akhirnya Bab VI merupakan bab Penutup, yang berisi Simpulan dan Saran.















BAB II
SEJARAH DAERAH DAN PERMASALAHANNYA

A.    Pengertian Sejarah
Pengertian mengenai sejarah daerah masih mengandung persoalan-persoalan yang harus memerlukan penelitian, baik dari aspek teori maupun materinya. Oleh karena itu banyak uraian yang tersedia untuk diolah dan sangat menarik untuk membicarakannya,[4]  dan jika perlu untuk diseminarkan, baik oleh para ahli sejarah, tokoh agama, tokoh masyarakat maupun warga masyarakat, agar didapat suatu kesimpulan yang benar atau minimal mendekati kebenaran tentang sejarah Desa Rowosari.
Pada dasarnya, sejarah dapat diartikan menjadi beberapa identifikasi sebagai berikut :[5]
1.      Kata sejarah yang berasal dari bahasa Arab "SYAJARATUN"
yang berarti pohon kehidupan walaupun dalam bahasa Arab sendiri mengartikan ilmu yang mempelajari kisah tentang masa lalu dinamakan TARIKH.
2.      Kata sejarah dari bahasa Inggris "HISTORY"
yang sebenarnya kata HISTORY itu sendiri berasal dari bahasa Yunani ISTORIA yang berarti orang pandai.
3.      Kata sejarah dalam bahasa Jerman dan Belanda.
Dalam bahasa Jerman, kata sejarah berasal dari kata GESCHICHTE dan dalam bahasa Belanda berasal dari kata GESCHIDENIS. Dalam bahasa Jerman dan Belanda mempunyai arti yang sama, yaitu "kejadian yang dibuat oleh manusia".

Pengertian dan definisi sejarah menurut beberapa ahli :
1.      Menurut W.J.S Poerwodarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia :
Sejarah mengandung 3 pengertian, yaitu :
* Kesusasteraan lama, sislsilah, dan asal usul.
* Kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau.
* Ilmu pengetahuan.
2. Menurut Abramowitz (Burher, 1970:42)
"history as a chronology of events" yang berarti bahwa sejarah merupakan sebuah kronologi atas suatu kejadian.
3. Menurut Sunnal dan Haas (1993: 278)
"history is a chronological study that interprets and gives meaning to events and applies systematic methods to discover the truth" yang berarti: sejarah merupakan studi kronologis yang menafsirkan dan memberikan arti peristiwa dan berlaku metode sistematis untuk menemukan kebenaran.
4. Menurut Costa (Burger, 1970: 44)
sejarah dapat didefinisikan sebagai "record of the whole human experience". Dimana pada hakikatnya sejarah merupakan catatan seluruh pengalaman, baik secara individu maupun kolektif bangsa/nationdimasa lalu tentang kehidupan umat manusia.

5. Menurut Cleveland (Burger, 1970; 46)
"history is viewed as a mean by which to understand human life" yang berarti bahwa sejarah itu dipandang sebagai maksud untuk memahami kehidupan manusia.
6. Menurut Sartono Kartodirdjo
sejarah dapat didefinisikan sebagai berbagai bentuk penggambaran pengalaman kolektif di masa lampau. Setiap pengungkapannya dapat dipandang sebagai suatu aktualisasi atau pementasan pengalaman masa lampau. Menceritakan suatu kejadian ialah cara membuat hadir kembali (dalam kesadaran) peristiwa tersebut dengan pengungkapan verbal.
 7.  Menurut Carr (1982: 30)
Menyebutkan bahwa "history is a continuous process of interaction between the historian and his facts, and undending dialogue between the present and the past" yang berarti bahwa sejarah merupakan proses berkesinambungan dari interaksi antara sejarawan dan fakta-fakta serta dialog antara masa kini dan masa lalu.

Selain pengertian sejarah menurut para ahli tersebut di atas, masih ada pendapat pakar lainnya, antara lain :[6]
a.       Pengertian Sejarah Menurut Aristotle
History is a system that examines the incidence of early and arranged in chronological form. At the same time, according to his history is also the past events that have a record, the records or concrete  evidence.
Sejarah merupakan satu sistem yang meneliti suatu kejadian sejak awal dan tersusun dalam bentuk kronologi. Pada masa yang sama, menurut beliau juga Sejarah adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan, rekod-rekod atau bukti-bukti yang konkrit.
b.      Pengertian Sejarah Menurut R. G. Collingwood
History is a form of inquiry about the things that have been done by humans in the past.
Sejarah ialah sebuah bentuk penyelidikan tentang hal-hal yang telah dilakukan oleh manusia pada masa lampau.
c.       Pengertian Sejarah Menurut Drs. Sidi Gazalba 
sejarah sebagai masa lalu manusia dan seputarnya yang disusun secara ilmiah dan lengkap meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan yang memberi pengertian dan kefahaman tentang apa yang berlaku.
d.      Pengertian Sejarah Menurut E.H. Carr dalam buku teksnya What is History, 
History is a never-ending dialogue between the present and the past, a process of continuous interaction between the historian and the facts he had.
Sejarah adalah dialog yang tak pernah selesai antara masa sekarang dan lampau, suatu proses interaksi yang berkesinambungan antara sejarawan dan fakta-fakta yang dimilikinya.
e.       Pengertian Sejarah Menurut Muthahhari, 
ada tiga cara mendefinisikan sejarah dan ada tiga disiplin kesejarahan yang saling berkaitan, yaitu:

a. sejarah tradisional (tarikh naqli) adalah pengetahuan tentang

    kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan kemanusiaan di masa 
    lampau dalam kaitannya dengan keadaan-keadaan masa kini.
b.sejarah ilmiah (tarikh ilmy), yaitu pengetahuan tentang hukum-hukum yang tampak menguasai kehidupan masa lampau yang diperoleh melaluipendekatan dan analisis atas peristiwa-peristiwa masa lampau.
c. filsafat sejarah (tarikh falsafi), yaitu pengetahuan tentang perubahan-perubahan bertahap yang membawa masyarakat dari satu tahap ke tahap lain, ia membahas hukum-hukum yang menguasai perubahan-perubahan ini. Dengan kata lain, ia adalah ilmu tentang menjadi masyarakat, bukan tentang mewujudnya saja.

Sedangkan menurut Prof. Dr. W.E. Soetomo Siswokartono, M.Pd., dalam bukunya yang berjudul Rekontruksi Sejarah Kabupaten Pemalang (Sebuah Studi Penelitian Sejarah Daerah) menyatakan bahwa sejarah daerah adalah segala cerita tentang peristiwa di daerah pada masa lampau, baik berupa lisan atau tulisan, tentang segala kegiatan manusia yang menyangkut berbagai aspek kehidupan.[7]
Diberbagai daerah banyak terdapat cerita-cerita, baik yang berupa dongeng, legenda, mitos maupun yang lainnya yang sampai sekarang masih belum ada kata sepakat dari para ahli sejarah untuk dapat disebut sebagai sejarah daerah. Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa cerita daerah, baik yang berupa dongeng, legenda maupun mitos mengandung nilai historis atau latar belakang yang mungkin pernah terjadi pada masa lalu. 
Babad adalah cerita rekaan (fiksi) yang didasarkan pada peristiwa sejarah, di mana penulisannya biasanya dalam bentuk macapat (tembang/puisi/syair). Salah satu babad yang sangat terkenal adalah Babad Tanah Jawa, di mana babad ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal-hal yang terjadi di tanah Jawa.
Meskipun sarat dengan peristiwa sejarah, sifatnya yang fiksi menempatkan babad sebagai referensi sejarah-imajinatif. Babad memiliki sifat religio-magis dan pekat dengan imajinasi. Sifat itu membuat ahli sejarah berada dalam ragu untuk memakai babad sebagai sumber sejarah yang sahih, dan penggunaannya dalam menggali sejarah menuai pro dan kontra. S. Margana dalam buku Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial (2004) mengungkapkan babad merupakan problematik dalam historiografi modern. Para sejarawan kerap memahami babad sebagai tulisan atau sumber sejarah dalam tendensi subjektif. Para sejarawan yang menolak peran babad sebagai sumber sejarah memiliki argumen bahwa babad rentan dengan bias dalam menggambarkan fakta-fakta sejarah. Babad cenderung menjadi percampuran dari fakta dan mitologi. Para sejarawan yang akomodatif  justru menerapkan metode dan metodologi tertentu untuk menjadikan babad sebagai sumber informasi mumpuni ketimbang sumber-sumber kolonial.
Terlepas dari pro-kontra tersebut, Babad Tanah Jawi merupakan jejak besar dalam membaca (sejarah) Jawa, salah satu diantaranya adalah babad  (sejarah) Desa Rowosari.

B.     Rowosari Merupakan Daerah Rawa-Rawa.
1.      Arti Kata Rowosari.
Apa sebab dinamakan Rowosari ? baiklah untuk awalnya akan penulis sajikan hasil interview/wawancara antara penulis dengan beberapa tokoh sepuh (tua) yang ketika itu masih hidup, dalam memberikan keterangan mengenai kata Rowosari masing-masing tidak jauh berbeda dan mengandung maksud yang  sama.
Dalam keterangnya dengan penulis tentang asal usul nama Rowoasri adalah sebagai berikut :
·         Rowosari dari kata Rowo dan Sari :
a.       Rowo/rawa artinya : tanah rendah yang digenangi air.
b.      Sari artinya : inti.
Dikatakan rowo/rawa, karena dahulu sebagian besar dari daerah ini (Rowosari) adalah rawa-rawa yang banyak ditumbuhi dengan tanaman air dan sebagian besar masyarakatnya belum dapat berbuat banyak untuk mengelola daerah yang berawa-rawa. Sedangkan kata sari mengandung pengertian inti yang bermanfaat.
o   Sehingga kata Rowosari mengandung pengertian daerah yang berawa-rawa apabila daerah ini digali dan dikelola segala potensi yang ada didalamnya, maka akan didapatkan inti manfaat yang berguna bagi warganya, atau dengan kata lain Rowosari merupakan suatu desa yang dapat menjadikan warganya hidup sejahtera apabila mereka mau bekerja keras.

C.    Letaknya Desa Rowosari
Rowosari adalah nama sebuah desa di Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, dengan luas wilayah + 300 Hektar, yang letaknya paling timur dari wilayah Kabupaten Pemalang dan berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan  yang dipisahkan oleh aliran sungai Sragi. Rowosari berada di daerah pantai utara (pantura),  jaraknya + 20 km dari kota Kabupaten Pemalang dan  + 13 km dari kota Pekalongan, dengan batas-batas wilayah :
·         Utara     : desa Samong, desa Wiyorowetan.
·         Timur    : sungai Sragi, Kabupaten Pekalongan.
·         Selatan  : desa Tengeng, desa Botekan, desa Ambokulon, desa Lowa.
·         Barat     : desa Ambowetan, desa Pagergunung.

D.    Arti Dari Beberapa Nama Dukuh.
              I. Bandaran mengandung pengertian :
a.       Arti pertama dari kata Bandaran adalah suatu tempat bagi bersandarnya perahu/kapal atau suatu tempat yang dinamakan pelabuhan/dermaga.
o   Sehingga daerah tersebut dinamakan daerah Bandaran, batas daerahnya :
·         Utara         : jalan panggang (sekarang jl. konveksi)
·         Timur         : sungai Sragi
·         Selatan      : jalan raya
·         Barat         : gang/sungai di sebelah timur balai desa lama.
Bandaran atau pelabuhan untuk perahu/ kapal bersandar, dimana sungai Sragi merupakan jalur transportasi yang dapat dilalui oleh kapal/perahu dari hilir/laut (Desa Tasikrejo/Kaliprau) sampai ke hulu (Desa Sragi).
Lokasi Bandaran / pelabuhan adalah disepanjang aliran sungai disebelah utara jembatan sungai Sragi sampai    ke utara / pertigaan jalan panggang (sekarang jalan konveksi / sebelah timur rumah Bpk. Zaenal Kembu), yang kemudian hasil-hasil dagangan yang dimuat dari kapal diturunkan untuk dijual di pasar atau ke luar daerah Rowosari, di mana di daerah ini adalah pusat perdagangan yang sebagian besar usaha perdagangan dikuasai oleh etnis cina, hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya bangunan yang bersejarah yaitu didirikan/bangunan klenteng, selain daripada itu juga dahulu ada tempat penyimpanan garam / gudang garam yang letaknya di sebelah selatan jalan raya (sekarang menjadi Puskesmas), serta adanya bangunan-bangunan rumah orang-orang etnis cina yang berada di sekitar pasar yang dimanfaatkan juga sebagai toko/kios, dan adanya bangunan rumah lainnya di sepanjang jalan raya Ulujami (jalan Daendeles), sehingga daerah ini disebut dengan nama daerah Pecinan.
b.      Arti kedua dari kata Bandaran, asalnya dari kata Bandar yang artinya orang yang menjadi sentral judi dari musuh penjudi lainnya (Bandar judi).

Dari kedua pengertian mengenai kata (Bandar/Bandaran) tersebut di atas penulis lebih cenderung pada pengertian yang pertama, yaitu Bandar/ Bandaran  sebagai suatu tempat untuk bersandarnya kapal/ perahu/sampan atau dengan kata lain tempat itu (Bandar/Bandaran)  adalah pelabuhan/dermaga bagi bersandarnya kapal/ perahu/sampan.
Bandaran terbagi dari beberapa tempat/wilayah, yaitu :
a.       Ngrowo dari kata rowo (bhs. Jawa) artinya rawa, di mana tempat tersebut banyak digenangi air dan ditumbuhi tanaman kangkung (lokasi di sebelah selatan tugu selamat datang Pemalang sampai ke belakang Puskesmas).

b.      Percil dari kata :
o   Precil atau mrecil (bhs Jawa) artinya kodok/katak kecil,
o   Perceel (bhs Belanda) artinya sebidang tanah atau tanah kavleeng (bhs. Belanda)/  Kapling atau tanah yang dipetak-petak, dimana ditempat tersebut dahulu banyak ditanami pohon kelapa dan jika musim hujan banyak digenangi oleh air (lokasi/wilayah ini terletak di belakang kantor Polsek dan disebelah barat pasar/rumah H. Sali ke utara sampai sungai/kali lalu kebarat sampai rumah Bpk. Wasdani/ gang/sungai).
o   Pengertian Percil, penulis lebih cenderung dalam arti yang kedua, yaitu percil sebagai tempat atau sebidang tanah/tanah kapling, maka daerah/wilayah ini dinamakan blok Percil.

c.       Pecinan
Kata Pecinan mengandung pengertian : suatu tempat/daerah yang mayoritas penduduknya adalah etnis cina, lokasi/wilayah ini terletak di sebelah barat jalan pasar ke barat           ( sekarang Family Mart, Toko Sumbing Jaya) dan disepanjang jalan raya Ulujami (sebagian masuk dukuh Jagalan), baik sebelah utara (dukuh jagalan lor) maupun selatan jalan raya (dukuh Jagalan kidul), batas selatan paling barat sekarang rumahnya Bpk. Tresno, sedangkan utara jalan adalah gang di sebelah barat ruko milik Bpk. H. Sodik (Kantor Pos), maka daerah/wilayah ini dinamakan Pecinan. Sedangkan daerah/wilayah selebihnya kebarat adalah kuburan orang etnis cina/Bong, yang sekarang sudah menjadi bangunan Kantor BRI, Kantor Koramil, Kantor Kecamatan, SD, dan rumah penduduk.

d.      Kauman
Kata Kauman, asal kata kaum dan man. Kaum artinya kelompok orang, sedangkan man dari kata iman (beriman), sehingga kata Kauman mengandung pengertian : suatu tempat/wilayah bagi orang-orang yang beriman (taat agama), maka daerah/wilayah ini dinamakan Kauman.  Daerah/wilayah ini letaknya disekitar masjid Jami As-salam, dengan batas :
o   Utara   : jalan konveksi sampai pegadaian, jalan among jiwo sampai sungai.
o   Timur   : sungai sebelah barat pegadaian.
o   Selatan            : sungai dan beberapa rumah di selatan sungai.
o   Barat   : sungai (daerah jagalan).

d.      Kacangan
Kata Kacangan mengandung pengertian : suatu daerah/tempat yang banyak ditanami tumbuhan kacang-kacangan, maka daerah/ wilayah ini dinamakan Dukuh Kacangan/Pekacangan, dengan batas :
·         Utara   : desa rembun, dahulu jalan raya sebelah barat jembatan sungai Sragi.
·         Timur   : desa rembun/ dahulu disebelah barat sungai Sragi.
·         Selatan            : desa Rembun/Tengeng.
·          Barat  : sungai Sragi, dahulu sungai kecil .



Kata Panggang (bhs. Jawa)  mengandung pengertian : mengeringkan atau memasak sesuatu  (ikan) dengan cara dipanaskan di atas api/diasapkan.
Suatu tempat di mana pada waktu itu mayoritas warganya berbisnis ikan panggang, sehingga daerah tersbut dinamakan Dukuh Panggang, dengan  batas :
o   Utara   : jalan menuju Keweden.
o   Timur   : sungai Sragi.
o   Selatan : sekarang jalan konveksi.
o   Barat   : gang di sebelah timur H. Slamet ke utara.

Dukuh Panggang terbagi dari beberapa tempat/wilayah, yaitu :
1.      Jaratan (bhs. Jawa) artinya kuburan/ makam/kramatan, dahulu di daerah tersebut terdapat/ada kuburan. (lokasi/wilayah ini letaknya disebelah barat sungai Sragi sekitar rumahnya Bpk. H. Slamet Rincis - Bpk. Wiluyo/ Rusyanto), maka daerah/ wilayah tersebut dinamakan Panggang Jaratan.

2.      Pleseran (bhs. Jawa) dari kata plisir artinya pinggiran atau mleser artinya  tempat yang tanahnya miring dan/atau berbelok secara perlahan, sehingga kata pleseran mengandung pengertian tempat atau daerah pinggiran yang tanahnya miring dan berbelok secara perlahan (lokasi/wilayah ini letaknya dari pabrik milik Bpk. H. Casuri sampai rumah milik Ibu Piyah/ pertigaan menuju Keweden), maka daerah / wilayah tersebut dinamakan Panggang Pleseran.

3.      Sumur (bhs. Jawa) artinya perigi, dahulu di daerah tersebut ada sebuah sumur/perigi yang terkenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat, lokasi/wilayah ini letaknya disekitar rumah Bpk. Karyo Tasmani sampai ke utara/jalan candi-keweden, maka daerah/wilayah tersebut dinamakan Panggang Sumur.

4.      Wonoroto (bhs. Jawa) terdiri dari 2 kata, yaitu wono dan roto wono artinya hutan dan roto artinya rata/datar, sehingga  Wonoroto mengandung penegertian hutan yang datar atau hutan yang rata, lokasi/wilayah ini letaknya sebagian masuk dukuh Panggang dan sebagian masuk dukuh Candi/sebalah barat dari Panggang Sumur.
Untuk daerah/wilayah tersebut tidak ada penyebutan Panggang Wonoroto atau Candi Wonoroto, akan tetapi meyebutannya tetap daerah/ wilayah Wonoroto.
5.      Gatak (bhs. Jawa) artinya tanah darat ditepi sawah yang tidak ditanami padi, bisanya ditanami palawija. (lokasi/wilayah ini letaknya disepanjang jalan menuju Keweden/sekitar TK Keweden). Untuk daerah/wilayah tersebut tidak ada penyebutan Panggang Gatak, akan tetapi meyebutannya justru menjadi daerah/ wilayah Gatak Keweden.

6.      Ngideran
·         asal  kata ider (bhs. Jawa) artinya keliling, diideri artinya dilingkari/dikelilingi. Dinamakan ngideran, karena di daerah tersebut merupakan persawahan yang mengeliling / melingkari dukuh Keweden. Untuk daerah/ wilayah tersebut tidak ada penyebutan Panggang Ngideran, akan tetapi lebih cenderung menyebutnya daerah/ wilayah Ngideran atau Ngideran Keweden.
Ada yang berpendapat :
·         Tertelak disebelah utara Gatak Keweden sampai ke sungai Sragi.
·         Terletak di sebelah selatan Gatak Keweden (sekarang Mushola ke selatan).

7.      Keweden dari kata :
·         Wedi (bhs. Jawa) atau weden artinya takut.
·         Sehingga kata Keweden mengandung  pengertian : ketakutan (lokasi/  wilayah ini letaknya dari sebelah timur TK. Keweden / permukiman warga sampai ke sungai Sragi).
Untuk daerah/wilayah ini tidak ada penyebutan Panggang Keweden, akan tetapi lebih cenderung menggunakan kata daerah/ wilayah Keweden, meskupun daerah/ wilayah tersebut masuk pada Dukuh Panggang.

             III.            Candi
Kata Candi mengandung pengertian : batu yang disusun rapi dan digunakan untuk tempat ibadah/kuburan, maka daerah/ wilayah ini dinamakan Dukuh Candi, dengan batas :
o   Utara         : desa Wiyoro, desa Samong
o   Timur         : gang Bpk. H. Slamet ke utara.
o   Selatan      : dukuh Bandaran (sekarang jl. Konveksi), dukuh
 Jagalan (sekarang bagian timur jl. Among Jiwo sampai sungai sebelah timur Bpk. H. Rohman), benteng Tegalan dukuh Bong.
o   Barat         : sawah berbatasan dengan Tegalan (Dukuh Bong),  Desa Wiyoro.

Wilayah Dukuh Candi terbagi dalam beberapa wilayah, yaitu :
a.       Pejaten dari kata jaten (bhs. Jawa), artinya pepohon jati.
Sehingga kata Pejaten mengandung pengertian hutan jati. Lokasi/wilayah ini letaknya dengan batas :
o   Utara           : jalan menuju samong.
o   Timur          : sawah/jalan baru.
o   Selatan        : jalan/sungai.
o   Barat           : jalan kuburan Candi.
Untuk daerah/wilayah ini penyebutannya hanya Pejaten saja, meski ada pula yang menyebutnya daerah/wilayah Candi Pejaten atau Pejaten Candi.

b.      Jembangan (bhs. Jawa) artinya jambangan besar/tempat air, mengandung pengertian di daerah tersebut merupakan lahan/tanah sawah yang pengairannya sangat baik dan tanahnya sangat subur dibandingkan tanah sawah di tempat yang lainnya. (lokasi/ wilayah ini terletak disebelah utara dukuh Pejaten/sekarang tanah sawah bengkok desa), maka daerah/ wilayah tersebut dinamakan blok Jembangan.

c.       Pangkah dari kata :
o   Pang artinya : cabang.
o   Kah dari pemenggalan kata : langkah.
§  Sehingga kata Pangkah mengandung pengertian ngepange langkah atau membuat langkah menjadi bercabang/berpisah. (lokasi/ wilayah ini letaknya di  bagian barat desa Samong dan daerah yang sekarang menjadi Candi Baru/Pejaten Baru).
Untuk daerah/wilayah ini penyebutannya tidak berubah tetap  daerah/wilayah Pangkah, dan blok Pangkah masuk wilayah desa Samong.

             IV.            Bong
Kata Bong mengandung pengertian : kuburan orang cina.
Dinamakan bong, karena disekitar tempat tersebut (di sebelah utara jalan raya Ulujami sekarang untuk perkantoran tingkat kecamatan dan SD, sedangkan di sebelah selatan jalan raya Ulujami sekarang sudah menjadi permukiman warga) adalah kuburan orang cina, sehingga untuk memudahkan nama daerah tersebut, maka digunakan nama Dukuh Bong. Letak/wilayah Dukuh Bong, berbatasan :
·         Utara         : benteng.
·         Timur         : sungai sebelah timur rumah H. Rohman (sekarang).
·         Selatan      : desa Botekan.
·         Barat         : desa Ambo -
wetan.

Dukuh Bong terbagi dalam beberapa tempat/wilayah, yaitu :
1.      Tenggulun dari kata :
o   Teng artinya : di.
o   Gulun asal kata Gulon atau kulon/kilen artinya Barat.
Sehingga kata Tenggulun mengandung pengertian di-barat/dibagian barat/disebelah barat.
atau Trenggulun adalah nama sebuah pohon yang tinggi, besar dan rimbun seperti pohon beringin yang bunganya/buahnya bernama kethos. Namun  pohon tersebut ada yang menyebutnya pohon kethos.
o   Lokasi/wilayah ini letaknya dengan batas :
·         Utara   : sungai.
·         Timur   : sungai (antara rumah.Bpk. H.Rohman            dan rumah Ibu Ayu Marlina)
·         Selatan            : jalan among jiwo.
·         Barat   : sungai (sebelah barat rumah Bpk. KH. Ubaidillah).
Untuk daerah/wilayah ini penyebutannya tidak menggunakan daerah/wilayah  Bong Tenggulun/ Trenggulun, akan tetapi sekarang menyebutnya daerah/wilayah Among Jiwo/jalan Among Jiwo.

2.      Tegalan dari kata :
o   Tegal atau tegil (bhs. Jawa) adalah tanah yang luas dan rata yang ditanami palawija dengan tidak mempergunakan pengairan dan bergantung pada hujan. (lokasi/wilayah ini letaknya mulai dari rumah Bpk. Anas ke barat dan ke utara, sedangkan ke selatannya sampai jembatan ke arah jalan menuju desa Ambowetan/rumah Bpk. H. Pa’an/ Salon Lady). Untuk daerah/ wilayah ini dinamakan Bong Tegalan.

3.      Ploso atau plosok adalah pedalaman atau suatu tempat yang letaknya jauh dari keramaian. (lokasi/wilayah ini letaknya disepanjang jalan bagian utara menuju ambowetan/dari rumah     Bpk. H. Birin ke barat sampai perbatasan desa). Untuk daerah/wilayah ini dinamakan Bong Ploso.

4.      Peturen dari kata :
o   Turi adalah jenis tanaman   keras / pohon yang bunganya bernama tronggong.
o   Sehingga kata Peturen mengandung pengertian : suatu daerah yang banyak ditumbuhi oleh tanaman/pohon turi. Lokasi/wilayah ini letaknya dengan batas :
·         Utara         : aliran sungai ke arah desa Ambowetan.
·         Timur         : sekitar rumahnya Bpk. KH. Ahmad ke utara.
·         Selatan      : jalan raya.
·         Barat         : Sungai/desa
Ambowetan.
Untuk daerah/wilayah ini dinamakan Bong Peturen.

5.      Sigebang dari kata gebang (jenis palem seperti pohon jambe/pinang, daunnya lebar dan bulat serta tangkainya berduri, buahya berasa manis jika sudah matang berwarna kehitam-hitaman), daerah tersebut letaknya di belakang KUD (masuk wilayah kedungombo/gedungombo bagian barat). Untuk daerah/wilayah ini dinamakan blok Sigebang/Gebangan.

                V.            Jagalan
Kata Jagalan mengandung 2 (dua) pengertian :
a.       Jagal (bhs. Jawa) adalah tukang menyembelih.
o   Begal (bhs. Jawa) atau begalan artinya perampok/perampokan/ tempat rampokan.
o   Sehingga kata Jagalan mengandung pengertian : tempat untuk menyembelih.

b.      Jagabilawa (keturunan etnis cina) adalah seorang tokoh yang sangat berpengaruh, yang kemudian dikenal sampai sekarang dengan nama mbah Jagalbilowo.
Sehingga daerah/wilayah ini dinamakan Dukuh Jagalan.
Letak/wilayah Dukuh Jagalan berbatasan :
·         Utara         : sekarang jl. Among Jiwo.
·         Timur         : jl sebelah timur balai desa lama
·         Selatan      : benteng/pintu.
·         Barat         : sungai sebelah timur rumah pak Casmo/KUD.

o   Jagalan dibagi menjadi 2 (dua) wilayah, yaitu :
1.      Jagalan Lor, lokasi/wilayah ini letaknya dengan batas :
·         Utara   : jalan among jiwo.
·         Timur   : sungai disebelah timur balai desa lama.
·         Selatan            : jalan raya.
·         Barat   : gang sebelah barat Koramil.
2.      Jagalan Kidul, lokasi/wilayah ini letaknya :
·         Utara   : jalan raya Ulujami
·         Timur   : sungai Sragi
·         Selatan                        : benteng (temiyang)
·         Barat   : sungai (namun sekarang bergeser ke timur sampai di rumah
 makan Kardi).

Dikatakan Jagalan, karena di daerah tersebut dahulu banyak       orang yang melakukan pembegalan/perampokan yang kebanyakan diakhiri dengan pembunuhan/penyembelihan, di mana daerah tersebut adalah daerah sepi yang jalannya (jalan Daendeles/sekarang jalan raya Ulujami) diapit oleh dua lokasi kuburan cina/bong, baik di utara jalan maupun di selatan jalan. Hasil dari rampokkannya biasanya digunakan untuk foya-foya atau untuk main judi dan permainan judi biasanya dilakukan di rumah-rumah warga setempat.
Atau pengertian yang lain adalah     kata Jagalan digunakan untuk mengabadikan nama seorang tokoh yang berpengaruh di daerah tersebut yang bernama Jagalbilowo (mbah Jagalbilowo). Jagalbilowo juga sebagai salah satu orang yang membangun kelenteng yang berada di desa Rowosari.

Jagalan Kidul terbagi menjadi :
1.      Jagalan Kidul itu sendiri (sekarang permukiman warga).
2.      Temiyang dari kata Tan Mei Yang (nama orang etnis cina keturunan/keluarga pendiri Klenteng, yaitu Mpek Tan Giok Hwie, Mpek Tan Giok Koen) adalah nama orang etnis cina yang menguasai / mengelola tanah tersebut, maka daerah/wilayah ini dinamakan blok temiyang,  letaknya :
·         Utara         : benteng
·         Timur         : sungai Sragi
·         Selatan      : desa Botekan
·         Barat         : blok Sigebang
/Gebangan
Di sebagian blok ini (dekat benteng) pernah digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan olah raga sepak bola, sehingga ada yang menyebutnya kalau daerah ini adalah blok  ngebalan.
Blok ngebalan yang merupakan bagian blok Temiyang masuk dalam daerah/wilayah yang dinamakan Kedungombo ada pula yang menyebut Gedungombo.

3.      Kedungombo dari kata :
·         Kedhung (bhs. Jawa : ulekaning kali sing jero) artinya lubuk sungai yang dalam.
·         Amba / ombo (bhs. Jawa) artinya luas/lebar.
Sehingga kata Kedungombo mengandung pengertian tempat berputarnya aliran sungai yang dalam dan luas/pusaran air (lokasi/wilayah ini letaknya pada pertemuan aliran sungai Sragi dan sungai Tumbal). Pada tahun 1970-an masyarakat sekitar menyebutkan kalau  daerah/ wilayah yang dinamakan Kedungombo/ Gedungombo ini letaknya disebelah selatan jalan raya Ulujami, namun sekarang masyarakat menyebut daerah Kedungombo / Gedungombo letaknya di sebelah selatan benteng sampai ke desa Botekan dan Tengeng.
Cerita tentang daerah Kedungombo/Gedungombo merupakan  daerah/wilayah yang cukup “angker”. Dikisahkan dulu pernah ada orang Demak yang bertapa di sekitar jembatan sungai Sragi selama 40 hari, namun orang yang dipesan untuk menjemput orang yang bertapa tersebut ternyata meninggal lebih dahulu, sehinga orang yang bertapa tidak dijemput dan menjadi hilang. Orang yang bertapa tersebut menurut cerita warga Rowosari dan sekitarnya bernama Haji Dul Bandot.
Banyak cerita adanya kejadian-kejadian aneh yang dapat dibuktikan oleh banyak orang, antara lain :
a.       Pada setiap malam Jumat Kliwon di wilayah Kedungombo/ Gedungombo selalu terdengar musik Qosidahan (Terbangan) hingga larut malam, namun sekarang sudah tidak terdengar lagi karen musik Qosidahan (Terbangan) tersebut sudah kalah dengan suara kendaraan  yang semakin banyak berlalu-lanag di jalan raya.
b.      Banyak warga yang mendapat kiriman barang dari toko padahal warga tidak pernah beli/memesan barang tersebut, namun menurut karyawan toko pengantar barang, kalau barang tersebut sudah dibayar lunas.
c.       Pernah ada kiriman semen 1 truk  tronton yang sudah dibayar lunas, namun tidak diketahui siapa pemiliknya dan alamatnya tertulis jembatan sungai Sragi ke selatan, karena jelas alamat tersebut tidak ada secara riil, maka semen tersebut oleh Bapak Abdul Hadi Kepala Desa Rowosari  pada waktu itu untuk dibongkar di Balai Desa Rowosari.
d.      Sering terjadi apabila ada bus pada malam hari yang berhenti di Koplak atau di sekitar pos ojek Bong, seakan ada penumpang yang akan turun, namun setelah bus tersebut pergi ternyata tidak ada orang yang turun dari bus.










BAB III
BENDA HISTORIS DESA ROWOSARI

1.      Peninggalan Sejarah.
1.      Makam Syeh Among Jiwo.
Makam Among Jiwo terletak disebelah utara jalan Among Jiwo  + 50 m tepatnya di belakang rumah Ibu Erna/disekitar belakang rumah penulis. Dahulu di makam tersebut terdapat banyak makam yang merupakan makam keluarga, akan tetapi saat sekarang hanya tersisa 4 makam, yaitu :
1.      Makam Among Jiwo/Mbah Among Jiwo.
2.      Makam Dimas Rokodimerto.
3.      Makam Dimas Ajeng Rokodimerto, (a dan b adalah suami istri sebagai pengawal dari Amog Jiwo).
4.      Makam mbah Mohtar (mbah Bleput/Gleput)/pemilik tanah tersebut orang tua Bpk. Sobirin Candi.

Makam Among Jiwo ini mempunyai peranan penting bagi Desa Rowosari, karena Among Jiwo adalah orang pertama yang membawa ajaran agama Islam dan merupakan orang pertama yang merubah perilaku warga daerah/desa Rowosari dari keterbelakangan menjadi lebih maju, karena Among Jiwo sebagai pemimpin spiritual, sufi, mubalig dan da’i pada zamannya, juga sebagai pemimpin rakyat, selain daripada itu Among Jiwo merupakan orang pertama yang memberi nama daerah tersebut menjadi Desa Rowosari.
Di dalam daerah makam tersebut, dahulu/sampai tahun 1990-an masih ada sisa dari pohon yang tinggi dan besar seperti pohon beringin, namanya adalah pohon Trenggulun, ada pula yang menyebutnya pohon Kethos (kethos adalah bunga/buah dari pohon trenggulun), sekarang pohon tersebut sudah tidak ada, karena tumbang dimakan usia.
Menurut cerita dahulu setiap ada burung yang terbang di atas makam tersebut dapat dipastikan burung itu akan jatuh dengan sendirinya. Selain daripada itu secara ghoib dibagian utara makam Among Jiwo (+ 1-2 meter) terdapat pintu harta karun yang ada boneka emasnya/golek kencono dan disebelah baratnya ada sumur/perigi yang sewaktu-waktu dapat terlihat. Menurut kepercayaan masyarakat (orang-orang tua) sekitar pada waktu itu, jika ada warga yang melihat sumur tersebut dalam keadaan airnya penuh/meluap, maka orang tersebut rejekinya akan banyak, sedangkan jika air sumurnya dalam / dangkal / surut / asat (bhs.jawa), maka orang tersebut rejekinya kurang baik.
Pada waktu dulu makam Among Jiwo banyak dikunjungi oleh masyarakat, khususnya pada hari Kamis Wage - Jumat Kliwon, baik dari daerah sekitar maupun dari daerah-daerah lain, karena makam Among Jiwo sangat dikeramatkan, bahkan menurut cerita bahwa Presiden RI pertama (Bung Karno)-pun pernah berziarah ke makam Among Jiwo.
Tanah lokasi pemakaman Among Jiwo (Tenggulun/Trenggulun) berbentuk bokong Semar. Dikatakan bokong Semar, karena lokasi tanah batas bagian utara benbentuk cembung seperti bokong Semar.  Untuk masuk ke lokasi makam tersebut sebenarnya (menggunakan tata krama) harus melalui sebelah timur dari makam, yang dahulu ada pintu (gapuranya) dan disediakan padhasan / tempat air untuk wudlu (bersuci) sebelum masuk ke lokasi/area  makam tersebut. Di area makam dulu juga tersedia langgar/musholla dan sebuah pesanggrahan yang memang disediakan untuk istirahat bagi tamu yang datang berziarah, namun sekarang semuanya sudah tidak ada lagi, yang tersisa hanya 3 (tiga) makam tua, yaitu makam Among Jiwo dan kedua pengawalnya (Dimas Rokodimerto dan Dimasajeng Rokodimerto) dan 1 (satu) makam lagi, yaitu makam pemilik tanah makam tersebut (mbah Mohtar).
            Meskipun makam-makam tersebut (3 makam kuno) sudah tidak terawat dengan baik, akan tetapi hingga saat ini makam Among Jiwo oleh sebagian masyarakat masih dianggap keramat, sehingga masih banyak orang yang datang untuk berziarah ke makam tersebut, baik warga lokal maupun dari luar daerah.
Dalam Islam, aktivitas ziarah ke makam keramat berkaitan erat dengan konsep kewalian atau kesucian. Para nabi, wali, dan orang-orang suci atau orang-orang yang dikenal memiliki ketakwaan tinggi dipercaya memiliki tempat mulia di sisi Allah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah di dalam Al-Quran surat Al-Hujarat (49) ayat 13, yang artinya, “Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”. Menurut Muhaimin A.G. (dalam Suprianto, 2007: xv), seorang nabi atau wali adalah model tentang orang yang telah menempuh hidup mulia sekaligus model untuk diteladani dan dijadikan panutan bagi orang yang ingin menempuh hidup mulia. Sebagai model, mereka layak dihormati. Penghormatan ini bisa mengambil berbagai bentuk. Salah satunya dengan mengunjungi kuburannya tempat sang teladan diperistirahatkan untuk terakhir kalinya. Di sana, orang berdoa dan mendoakannya. Apabila doa mereka dikabulkan oleh Allah, tambahan pahala dan kemuliaan (karamah) dari orang itu akan mengalir kepada yang didoakan, dan menambah tumpukan pahala dan kemuliaan yang ada padanya yang sesungguhnya sudah penuh karena ketakwaan dirinya. Seakan tidak tertampung, akumulasi kemuliaan itu lalu meluber kepada peziarah yang berdoa. Luberan kemuliaan itulah yang disebut orang sebagai berkah. Berkah itu, bagi yang merasakannya, menggejala dalam berbagai bentuk, seperti kemudahan usaha, perolehan keuntungan, terbebas dari derita, sembuh dari penyakit, hilangnya stres, ketenangan hidup, dan bentuk-bentuk lain.[8]
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa karamah (keramat) bisa terjadi ketika seseorang itu berlabel wali, kiai, ulama, baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal dunia karena berbagai kelebihan yang dimilikinya dan masyarakat mengakui dan merasakannya.
Dari survei dan pengamatan penulis di makam tersebut telah ditemukan batu nisan kuno yang hanya ada di dua makam yang berada di samping makam Among Jiwo, yaitu makam pengawal Among Jiwo, sedangkan di makam Among Jiwo sudah tidak ada batu nisannya, diperkirakan batu nisan milik Among Jiwo tersebut telah diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Dari jenis batu nisan kuno tersebut jelas bukan batu yang berasal dari daerah setempat, akan tetapi menurut penulis jenis batu nisan kuno tersebut berasal atau dibawa dari daerah timur, Solo dan sekitarnya, karena menurut ceritera Among Jiwo asalnya dari keluarga kraton Solo.
Batu nisan kuno terebut berbentuk segi empat dan telah diberi nama dengan tulisan huruf jawa kuno, yang terbaca :
1.      Dimas Rokodimerto dan
2.      Dimas Ajeng Rokodimerto.
Tulisan huruf jawa kuno tersebut ketika itu (tahun 1990-an) dibaca oleh orang tua/ibu penulis (alm. Ibu Hj. Taerah Soegiono) dan penulis abadikan untuk sejarah, akan tetapi tahun meninggalnya dibatu nisan kuno tersebut kedua-duanya tidak tercantum.
2.      Candi.
Bekas bangunan candi tersebut letaknya ditengah persawahan dukuh Candi    + 500 m dari jalan/masjid Baiturrahman Candi ke arah barat. Ditengah sawah tersebut ada gundukan tanah yang tinggi berbentuk segi empat dan di tempat tersebut masih ada bukti banyak batu/batu-bata yang berukuran besar.
Menurut ceritera/mitos, tempat tersebut dahulunya akan dibangun sebuah candi, di mana pembangunannya harus dapat terselesaikan dalam satu malam sebelum ayam berkokok dan sebelum orang bangun dari tidurnya (seperti ceritera Pronocitro dan Rorojonggrang membangun candi Prambanan).
Ketika malam tiba mulailah candi itu untuk dibangun/didirikan, karena sipemohon (perempuan) itu tidak menyukai dengan sipembuat candi (lelaki), maka siperempuan merekayasa dengan tujuan candi tersebut gagal untuk dibangun, dengan cara siperempuan tersebut menyuruh orang agar nanti pada 2/3 malam untuk mengethok-kan/ memukul-mukulkan wakul/cething (tempat untuk mencuci beras/tempat nasi) ketanah, dan orang yang disuruh untuk memukul-mukulkan wakul/cething ketanah tersebut adalah orang-orang dukuh  Ndruwolong/Nderwolong Desa Wiyorowetan.
Memasuki 2/3 malam dilaksanakanlah rekayasa tersebut, maka pembagunan candi yang dipredikasikan pada pagi hari akan menjadi candi yang megah dan indah, seketika itu harus dihentikan dan pembangunan candi menjadi gagal. Kegagalan ini membuat marah sipembuat candi dan seketika itu pula dia mengeluarkan sumpah serapah/mengutuk :  “Siapapun yang telah menggagalkan aku membangun candi ini, maka dia dan keturunannya akan hidup miskin dan jika dia perempuan akan menjadi perawan tua”.
Cerita hal tersebut memang sempat penulis saksikan sendiri (tahun 1970-1980) kehidupan masyarakatnya masyoritas dalam keadaan miskin/tidak mampu, dan gadis-gadis desa Wiyorowetan, khususnya dukuh Ndruwolong/Nderwolong banyak yang menjadi perawan tua, namun cerita tersebut dengan adanya perkembangan dan kemajuan zaman seperti sekarang ini sudah tidak terbukti lagi.
Sampai saat ini penulis belum menemukan bukti tentang siapa nama sebenarnya sipembuat candi tersebut dan siapa nama perempuan yang meminta dibuatkan candi tersebut.

3.      Makam-Makam.
1.      Makam yang masih aktif :
                                                              i.      Makam/Pemakaman Umum Candi, baik yang terletak di sebelah utara siyer/sungai kecil maupun yang di sebelah selatan siyer/sungai kecil.
                                                            ii.      Makam keluarga H. Nachrawi (di sebelah timur makam Candi).
                                                          iii.      Makam / Pemakaman Umum Kacangan.
                                                          iv.      Makam / Pemakaman Umum dukuh Bong.
                                                            v.      Makam keluarga H. Durachman/makam keluarga penulis      (di sebelah selatan makam/pemakaman Bong).

2.      Makam yang tidak aktif :
                                                          i.      Di daerah Wonoroto, Candi. Makam ini sebenarnya dahulu bukanlah makam/kuburan manusia akan tetapi makam/ kuburan tempat mengubur gaman-gaman (senjata) milik warga yang khawatir dirampas oleh Belanda.
                                                            ii.      Makam Among Jiwo.
                                                          iii.      Kuburan seng, di daerah Tegalan Bong.
                                                          iv.      Bong Cino Jagalan (disekitar Kantor Kecamatan/di belakang SD Negeri Rowosari 03 dan di sebelah selatan jalan raya Ulujami).
                                                            v.      Makam di tengah sawah Temiyang/Kedungombo          (2 makam orang Rowosari yang ditembak mati di tempat dan  dimakamkan di tempat itu juga pada jaman Belanda, yaitu makam mbah Said kakek/simbah dari pak Suyitno, bu Khufiyah dan makam mbah Suratman – penulis belum mendapatkan data siapa mbah Suratman tersebut).

3.      Makam yang dihilangkan/sudah tidak ada :
                                                              i.      Disekitar rumah (alm. Hj. Kasridah)/ Bpk. H. Yasir, Bpk.  H. Casuri, dan Ibu Ayu Marlina (batas sungai).
                                                            ii.      Di sekitar rumah Bpk. H. Slamet Rincis – Bpk. Wiluyo/Bpk. Rusyanto (Panggang Jaratan).
                                                          iii.      Disekitar rumah Bpk. Darsono/ Bendono (belakang mushola Panggang)
                                                          iv.      Disekitar rumah Bpk. H. Nasir –     Bpk. H. Mundapar (Bandaran).
                                                            v.      Disekitar TK ABA (Kauman/ Bandaran).
                                                          vi.      Di belakang Puskesmas, ada yang menyebut bekas makam mbah Jagal Bilowo.
                                                        vii.      Disekitar rumah Bpk. Katibun (Jagalan lor).
                                                      viii.      Disekitar SMP/SMK Muhammadiyah (Bong barat).
                                                          ix.      Disekitar rumah Bpk Wito (Bong timur).

4.      Masjid Jami Ulujami.
Masjid Jami Ulujami merupakan pusat masjid untuk tingkat kecamatan Ulujami yang dibangun  oleh Among Jiwo pada tahun 1500-an dan mempunyai nilai sejarah yang sangat tinggi berkaitan dengan berkembangnya agama Islam masuk di wilayah kecamatan Ulujami (Pemalang bagian timur).
Masjid Jami’ Ulujami (sekarang terkenal dengan nama, Masjid As-Salam/Masjid Kidul) yang sekarang ada merupakan masjid bangunan kedua pindahan dari masjid Jami yang pertama berdiri. Dahulu Masjid Jami  Ulujami letaknya di sekitar pasar/depan Kantor Pegadaian (sekarang jadi pertokoan/kios-kios pasar) dan bagian pengimaman (barat) bangunannya sampai dekat ke sungai, dan keadaan jalan pada waktu itu tidak lurus dari jalan raya sampai ke Pegadaian seperti sekarang ini, akan tetapi jalannya belok ke arah timur + 50 m (di depan toko Bpk. H. Nur Rosyid), lalu belok ke utara sampai jalan (depan Pegadaian seperti yang sekarang). Dengan berbagai pertimbangan dan pendapat dari para tokoh agama Islam dan masyarakat pada waktu itu, antara lain karena masjid kurang luas dan terlalu dekat dengan pasar, maka akhirnya masjid Jami yang pertama kali berdiri yang berlokasi di dekat pasar tersebut dipindah ke arah barat + 100 m (tempat masjid sekarang) yang pada waktu itu dalam pembangunannya dipelopori oleh keluarga H. Abdurahman/H. Nukman dan didukung oleh keluarga H. Mashudi serta masyarakat, maka berdirilah Masjid Jami Ulujami yang beberapa kali telah  mengalami renovasi bahkan dipugar menjadi seperti keadaan sekarang ini, masjid tersebut sekarang dikenal dan diberi nama Masjid As-Salam (Masjid Kidul).
Mengapa dinamakan Ulujami ? Kata Ulujami mempunyai makna tersendiri, yaitu terdiri dari kata :
a.       Ulu (bhs. Jawa) berarti Kepala, Pemuka, Pemimpin.
b.      Jami’ dari kata Jama / Jamaah (bhs. Arab-Jawa) berarti rombongan orang banyak yang melakukan ibadah.
Sehingga kataUlujami mengandung pengertian : tempat tinggalnya para pemimpin bagi orang-orang yang mau untuk beribadah/Pimpinan-pemimpin Agama (Islam).

Kata Ulujami, kemudian oleh pemerintah pada waktu itu digunakan untuk nama wilayah kecamatan di kabupaten Pemalang dan nama tersebut adalah Kecamatan Ulujami yang berlangsung hingga sekarang.
Pada sekitar tahun 2000-an, karena ada kepentingan organisasi keagamaan antara Muhammadiyah (MD) dengan Nahdatul Ulama (NU) dalam mengelola kepengurusan Masjid Jami Ulujami, maka pihak Nahdatul Ulama (NU) dengan alasan perkembangan masyarakat dan jumlah penduduk desa yang semakin bertambah, maka perlu dibangun masjid lagi agar dapat memenuhi kebutuhan ibadah bagi umat Islam di Desa Rowosari, di mana masjid Jami Ulujami (Masjid As-Salam/Masjid Kidul) sudah tidak mencukupi lagi untuk menampung sholat berjamaah, baik sholat Jumatan maupun sholat Tarawih, apalagi untuk kepentingan hari raya/sholat Idul Fitri maupun Idul Adha, oleh karena itu dengan semangat bergotong-royong masyarakat Desa Rowosari, dibangunanlah sebuah masjid lagi di dukuh Candi dengan nama Masjid Baiturrahman yang peresmiannya dilaksanakan pada tahun 2003. Yang kemudian masing-masing masjid tersebut mendapat stigma yang berbeda, kalau Masjid Jami As-Salam Ulujami (Masjid Kidul) adalah identik dengan Muhamadiyah (MD), sedangkan Masjid Baiturrrahman (Masjid Lor) adalah identik dengan Nahdatul Ulama (NU). Namun pada kenyataanya warga masyarakat Desa Rowosari dalam melaksanakan ibadah (sholat) bebas menentukan di mana mereka ingin melaksanakannya. Masih banyak warga NU yang melaksanakan ibadah (sholat) di Masjid Kidul dan ada pula warga MD yang melaksanakan ibadah (sholat) di Masjid Lor.

5.      Klenteng.
Klenteng. atau Kelenteng adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia pada umumnya. Dikarenakan di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai penganut agama Konghucu, maka klenteng dengan sendirinya disamakan sebagai tempat ibadah agama Konghucu. Di beberapa daerah, klenteng juga disebut dengan istilah tokong.
Kelenteng yang berada di Desa Rowosari bernama Kelenteng Tjeng Gie Bio, Klenteng tersebut didirikan pada 1738 Masehi oleh tiga saudagar Cina, yaitu Mpek Tan Giok Hwie, Mpek Tan Giok Koen, dan Mbah Jagal Bilowo. Kelenteng Tjeng Gie Bio yang terletak di Desa Rowosari merupakan salah satu kelenteng tertua di wilayah pantai utara (pantura) Jawa Tengah[9].
Keadaan kelenteng yang sekarang ini sudah tidak semegah pada waktu dulu, hal ini terjadi karena sebagian bangunan kelenteng telah terpotong akibat adanya pelebaran jalan. Padahal pada waktu dulu kelenteng tersebut mempunyai halaman yang cukup luas, yang dapat digunakan untuk nanggap wayang pada setiap acara cap go meh (15 hari setelah hari raya/tahun baru Imlek).
6.      Pasar
Rowosari/Ulujami dahulu merupakan wilayah pusat perdagangan dari berbagi daerah. Pasar Ulujami merupakan pasar terbesar di Kecamatan Ulujami dan merupakan pasar ke dua terbesar setelah pasar Comal untuk wilayah kawedanan Comal/Pemalang bagian timur.
Disetiap pusat perdagangan dapat dipastikan ada fasilitas pendukung lainnya seperti terminal/tempat pemberhentian kendaraan (pada waktu itu masih menggunakan alat transportasi gerobak sapi/kerbau, kemudian berkembang  menggunakan delman/andong/dokar yang ditarik kuda), terminalnya disebut Koplak.
Koplak atau terminal delman/ andong/dokar pada waktu itu terletak di halaman depan dari pasar Ulujami di tepi jalan raya (sekarang jadi pertokoan). Kalau melihat pada saat sekarang Koplak dahulu letaknya mulai pada deretan toko bangunan H. Saeron/BMT ke timur merupakan batas toko paling selatan (toko paling depan menghadap ke selatan) dan deretan toko Cong Lim/sebelah timur pertokoan pasar ke utara merupakan batas toko paling timur, sedangkan batas bagian selatan dan bagian barat berbatasan dengan jalan atau dengan kata lain Koplak pada waktu itu menjorok + 50 m ke utara (panjang 50 m X lebar 50 m = + 2.500 m2).
Selain alat transportasi darat tersebut juga ada alat transportasi  air yaitu kapal atau perahu atau sampan yang digunakan masyarakat untuk menjalankan roda perekonomian melalui aliran sungai Sragi, bahkan para pedagang maupun warga masyarakat untuk menuju pasar Ulujami-Sragi atau sebaliknya mereka menggunakan alat trasnportasi air (kapal/perahu/sampan), bahkan sampai ke muara/laut, dengan melalui beberapa desa yang dilalui aliran sungai Sragi, antara lain Srengas (Samong), Seceleng (Tasikrejo), demikian juga untuk wilayah desa-desa di wilayah Kabupaten Pekalongan yang berbatasan dengan Kabupaten Pemalang, seperti Rembun, Tanjung, Sesumur, Blacanan dan sekitarnya.
Menurut Prof. Dr. W.E. Soetomo Siswokartono, M.Pd., dalam buku Rekontruksi Sejarah Kabupaten Pemalang (Sebuah Studi Penelitian Sejarah Daerah), mengatakan bahwa Sungai Sragi-sungai batas Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Pemalang, sungai ini sampai sekarang dapat dilayari sampai jauh ke pedalaman.[10]
Di pusat perdagangan/pasar biasanya dilegkapi pula dengan  tempat ibadah, baik masjid maupun sarana/prasarana yang lainnya, terutama masjid dan klenteng, karena sejak jaman dahulu yang menguasai perdagangan adalah orang-orang etnis cina, maka jelas tempat ibadah bagi mereka tersedia di samping adanya masjid sebagai tempat ibadah bagi orang Islam.
Dilihat dari sudut rasa toleransi beribadah atau saling menghormati antar agama, justru masyarakat pada waktu dulu jauh lebih baik dibanding masyarakat sekarang, terbukti jarak antara masjid dan klentang yang ada pada saat itu hanya berjarak beberapa meter saja dan tidak ada permasalahan atau ketika itu tidak ada rasa keberatan dari salah satu agama untuk membangun tempat ibadah tersebut. (Klenteng dan Masjid jaraknya tidak lebih dari 200 meter), karena Masjid Jami’ Ulujami yang pertama dibangun/didirikan di depan Kantor Pegadaian (sekarang jadi pasar/kios-kios pasar).
Berbeda dengan situasi jaman sekarang, jika ada kaum minoritas akan membangun tempat ibadah di suatu tempat kaum mayoritas, maka dapat dipastikan akan mendapat penolakan keras dari kaum mayoritas. Bentuk penolakan ini jelas merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia dan bentuk pelanggaran hukum kebebasan beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk penolakan ini juga merupakan bentuk “rasa ketakutan dan rasa kekhawatiran” dari kaum mayoritas akan berkurangnya anggota atau umatnya yang akan beralih ke agama lain, padahal hal demikian tidak menjamin kebenarannya. Namun apabila kaum mayoritas sudah yakin dan dapat membuktikan kalau agama yang dianutnya  itu agama yang paling baik dan tokoh agamanya dapat membuktikan dan dapat mensejahterakan umatnya, maka dapat dipastikan meskipun ada aliran/agama lain yang mempengaruhi dan membangun tempat ibadah di wilayah kaum mayoritas, hal demikian  tidak akan menggoyahkan keimanannya dan justru akan semakin menebalkan keimanan dan keyakinannya akan agamanya tersebut yang kemudian di antara mereka  akan dapat saling tolerasnsi dalam hidup beragama, yang pada gilirannya akan menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi dan dapat mempersatukan umat beragama untuk berbangsa dan bernegara.
Namun bagi masyarakat Desa Rowosari rasa toleransi dan saling menghormati antar umat beragama telah dapat terwujud dengan baik, terbukti sejak jaman dulu di Desa Rowosari telah ada tempat ibadah selain masjid dan mushola, yaitu adanya klenteng dan gereja.

7.      Pegadaian
Selain pasar sebagai pusat perdagangan dan perekonomian pada waktu dulu, tidak terlepas pula adanya lembaga perekonomian lainnya yang mendukung kegiatan perekonomian masyarakat yang letaknya tidak jauh dari pasar, yaitu suatu lembaga kridit/gadai yang bernama Pegadaian. Usaha gadai di Indonesia berawal dari berdirinya Bank Van Leening di zaman VOC yang bertugas memberikan pinjaman uang tunai kepada masyarakat dengan harta gerak. Dalam perkembangannya, sebagai bentuk usaha pegadaian banyak mengalami perubahan demikian pula dengan status pengelolaannya telah mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan perubahan peraturan yang berlaku. Berdasarkan Staatblad 1901 No.131 tanggal 12 Maret 1901, maka pada tanggal 1 April 1901 berdirilah Kantor Pegadaian yang berarti menjadi Lembaga Resmi Pemerintah.[11]
Kantor Pegadaian Ulujami letaknya disekitar pasar Ulujami sebagaimana keadaan sekarang, hanya bangunan gedung/kantor Pegadaian yang sekarang sudah dilakukan perubahan dengan bagunan baru/moderen. Pada mulanya bangunan gedung Kantor Pegadaian diseluruh nusantara bentuknya sama seperti foto/gambar di atas, termasuk Kantor Pegadaian yang berada di Desa Rowosari.

8.      Pusat Hiburan
Di Desa Rowosari, selain adanya pusat perdagangan/perekonomian dan tempat-tempat  ibadah, juga ada tempat untuk pusat kegiatan hiburan rakyat, biasanya ditempatkan di sekitar pasar diareal parkir/koplak, di depan balai desa atau lapangan, selain daripada itu ada juga tempat hiburan yang dibuat bangunan permanen, yaitu gedung bisokop yang bernama “Santoso” tetapi ada yang menyebutnya “Sentosa”. Gedung bioskop ini dibangun tahun 1950-an, setelah tahun 1965 gedung bioskop ini sudah tidak digunakan untuk pemutaran film akan tetapi sempat digunakan untuk kegiatan pentas kesenian hiburan rakyat, seperti ludruk dan ketoprak.
Gedung bioskop ini pada tahun 1970-an sudah tidak digunakan lagi, baik untuk pemutaran film maupun untuk kegiatan hiburan kesenian rakyat/tradisional. Baru pada tahun 1980-an bangunan tersebut digunakan lagi untuk usaha bisokop/film, namun usaha tersebut tidak berjalan lama hanya sampai tahun 1985 dan sekarang bangunan tersebut digunakan untuk usaha sarang burung walet/lawet, akan tetapi tidak berhasil justru digunakan sebagai sarang kelelawar.
Bangunan tersebut letaknya di Jl. Raya Ulujami, masuk wilayah dukuh Bandaran, tepatnya di sebelah timur rumah bapak Tonglang dan disebelah barat rumah bapak Purnomo (Yungho) atau 100 meter ke arah barat dari Pasar Ulujami.

9.      Pusat Kegiatan Olah Raga
Selain adanya pusat kegiatan hiburan bagi masyarakat Desa Rowosari, ada juga pusat kegiatan olah raga bagi warganya, yaitu sebuah lapangan olah raga, namun Penulis belum mendapatkan data sumber mengenai pusat kegiatan olah raga masyarakat pada saat Among Jiwo masih hidup, akan tetapi Penulis baru dapat memaparkan mengenai keberadaan pusat kegiatan olah raga bagi masyarakat  jaman menjelang kemerdekaan , yaitu adanya lapangan olah raga yang terletak di Dukuh Jagalan, wilayah blok Temiyang yang dikenal dengan nama ngebalan (artinya tempat untuk bermain sepak bola), kemudian setelah tahun 1960-an lapangan olah raga pindah di Dukuh Bong (sekarang jadi pusat perkantoran kecamatan Ulujami : Kantor Dinas Pendidikan, Kantor Kecamatan, SD Negeri Rowosari 2 dan 3, Kantor Koramil, BRI dan rumah warga).
            Setelah lapangan tersebut dibangun perkantoran, maka atas perjuangan pemuda Desa Rowosari pada waktu itu, maka lapangan olah raga dibuat di Dukuh Candi/Pejaten dengan menggunakan tanah bengkok desa, kemudian pada tahun 1977 lapangan tersebut digunakan untuk kepentingan kegiatan olah raga atau kegiatan lainnya hingga sekarang.

10.  Lumbung Padi
Disetiap desa pada waktu dulu diwajibkan untuk membuat Lumbung Padi, termasuk di Desa Rowosari. Lumbung Padi  adalah tempat atau gudang penyimpanan padi bagi masyarakat desa guna persediaan pangan bagi masyarakat desa setempat dalam menghadapi musim paceklik/krisis pangan.
Bangunan Lumbung Padi pada waktu itu dindingnya masih menggunakan pagar bambu yang namanya gedek, belum menggunakan tembok dan Lumbung Padi dibuat model panggung dengan tiang penyangga menggunakan kayu atau ompak (penyangga dari batu/semen)..
Lokasi Lumbung Padi pada waktu itu terletak + 50 m sebelah barat dari Pasar Ulujami, tepatnya sekarang di sebelah timur Kantor BTM atau di sebelah barat rumah milik Ibu Wan/Cik Wan.
2.      Hipotesa.
1.      Sosial ekonomi.
Berdasarkan nama-nama wilayah di Desa Rowosari dan keadaan geografis, maka masyarakatnya sudah mengenal pertanian, baik jenis padi maupun palawija, masyarakatnya hidup teratur dan hidup menetap. Selain daripada itu masyarakat dukuh Panggang ketika itu sebagian besar adalah produsen ikan olahan (ikan panggang, ikan pindang, ikan asin dll), yang dipasarkan keberbagai daerah, baik menggunakan alat transportasi darat (gerobak sapi/dokar) maupun air (kapal/perahu/sampan).
Desa Rowosari yang letaknya di tepai sungai Sragi yang besar dan memiliki pelabuhan/bandaran serta adanya pasar, maka disamping pertanian masyarakatnya tentu telah mengenal kehidupan bisnis/perdagangan.
Sejalan dengan perkembangan jaman masyarakat Desa Rowosari juga sudah banyak yang berkerja pada instansi pemerintahan maupun swasta sejak jaman penjajahan hingga sekarang.

2.      Kultur.
Dengan ditemukannya batu-batu nisan yang sudah mempunyai hiasan dan bertulsikan huruf  jawa, huruf cina, disamping itu juga adanya batu-bata yang berukuran besar (untuk candi), maka dapat disimpulkan bahawa tingkat kebudayaan masyarakat Desa Rowosari pada waktu itu relatif sudah maju.
Batu nisan kuno yang berada di makam Among Jiwo yang sudah diukir/ditulis dengan huruf jawa, merupakan karya seni budaya yang sudah maju, termasuk pula batu nisan etnis cina yang berada dibelakang SD Negeri Rowosari 03.
Selain hasil budaya tersebut, masyarakat Desa Rowosari juga menguasai seni budaya tradisional lainnya, seperti musik Terbang Genjring, Sintren, Kuntulan, Jaran Eblek, Pencak Silat, Lesbumi, namun seiring dengan perkembangan jaman kesenian tradisional tersebut sudah tidak diminati oleh generasi penerus dan sudah hilang dengan sendirinya karena terkikis jaman.

Sedangkan budaya :
a.       Gotong-royong membangun rumah, yaitu kegiatan masyarakat untuk membantu memugar atau mendirikan rumah dengan tanpa biaya tenaga kerja yang dilakukan secara bergantian dengan penuh tanggung jawab dan keihklasan.

b.      Ngarak damar lilin (pawai lampu lilin), yaitu acara pawai mengiring anak yang dikhitan/disunat dan diiringi pula dengan musik terbang genjring (musik rabana), biasanya ngarak damar lilin dimulai dari masjid dan berakhir di rumah yang mempunyai hajatan.

c.       Ruwatan, adalah satu upacara tradisional  supaya orang terbebas dari segala macam kesialan hidup, nasib jelek dan supaya selanjutnya bisa hidup selamat sejahtera dan bahagia.
Ruwatan yang paling terkenal yang sejak zaman kuno diselenggarakan oleh nenek moyang adalah Ruwatan Murwakala. Dalam ruwatan ini dipergelarkan wayang kulit dengan cerita Murwakala, dimana orang-orang yang termasuk kategori sukerto (antara lain anak tunggal/onthang-anthing) diruwat/ disucikan supaya terbebas dari ancaman Betara Kala, raksasa besar yang kejam dan menakutkan, yang suka memangsa para sukerto.[12]
Di masa sekarang, disebabkan oleh pengaruh perkembangan penalaran masyarakat dan semakin mantab keyakinannya terhadap agama-agama modern, mengakibatkan penyelenggaraan upacara ruwatan dianggap sesuatu yang tidak perlu lagi, mubadzir, pemborosan, tahayul, dan sebagainya.

d.      Tingkepan adalah sebuah acara adat yang dilakukan untuk permohonan bagi seorang perempuan yang baru pertama kali hamil yaitu pada saat usia kehamilan memasuki bulan ke empat (neloni) dan pada masa kehamilan memasuki bulan ke tujuh (mitoni), dengan istilah neloni mitoni atau tingkepan.
Secara eksplisit tidak ada petunjuk yang dapat dijadikan dasar acara tersebut, sehingga ada yang mengatakan acara itu sebagai perbuatan sesat (bid’ah). Sebenarnya pelaksanaan tingkepan berangkat dari memahami hadis nabi yang diriwayatkan Bukhori, yang menjelaskan tentang proses perkembangan janin dalam rahim seorang perempuan. Dalam hadis tersebut dinyatakan bahwa pada saat janin berumur 120 hari (4 bulan) dalam kandungan ditiupkan ruh dan ditentukan 4 perkara, yaitu umur, jodoh, rizki dan nasibnya. Sekalipun dalam hadis tersebut tidak ada perintah untuk melakukan ritual, tetapi melakukan permohon pada saat itu tidak dilarang.
Dengan dasar hadis tersebut, maka kebiasaan orang jawa khususnya Yogya-Solo mengadakan upacara adat untuk melakukan permohonan agar janin yang ada dalam rahim seorang istri lahir selamat dan menjadi anak yang sholeh / sholehah.[13]

e.       Brokohan adalah salah satu adat tradisi Jawa untuk menyambut kelahiran bayi. Upacara adat ini mempunyai makna sebagai ungkapan rasa syukur dan suka cita penuh bahagia, karena bayi itu telah lahir dengan selamat. Kata brokohan merupakan kata yang diambil dari kata (Arab) “barokah” yang artinya mengharapkan keberkahan. Rangkaian acaranya didahului dengan mendhem/mengubur ari-ari yang dilanjutkan dengan membagi-bagi sesaji brokohan kepada saudara dan tetangga.

f.       Sepasaran adalah salah satu adat tradisional Jawa waktu bayi berumur 5 hari. Umumnya diselenggarakan pada sore hari dengan membagi-bagi jajanan pasar yang disebut dengan “juadah pasar” kepada saudara dan tetangga.

g.      Puputan adalah salah satu tradisi acara kelahiran bayi dalam budaya Jawa. Upacara puputan bertujuan memohon keselamatan bagi bayi. Puputan dilaksanakan pada saat tali puser bayi putus atau puput, berupa kenduren, bancakan, dan pemberian nama bayi. Acar ini biasanya dilaksanakan setelah magrib. 

h.      Ngedun-duni atau Tedhak Siten atau upacara Turun Tanah adalah salah satu upacara adat budaya Jawa untuk anak yang berusia 7-8 bulan, di daerah lain di Indonesia juga dikenal upacara adat turun tanah ini dengan istilah yang berbeda. Upacara ini mewujudkan rasa syukur karena pada usia ini si anak akan mulai mengenal alam disekitarnya dan mulai belajar berjalan.
Dalam upacara adat ini ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh si anak, dimana tiap tahap atau proses tersebut memiliki nilai-nilai budaya yang cukup tinggi. upacara Ngedun-duni/Tedhak Siten ini sendiri dalam prosesinya memerlukan uba rampe yang beraneka ragam, sekali lagi dalam setiap uba rampe yang dipergunakan ini juga memiliki makna yang cukup dalam.
Dalam budaya Jawa, upacara ngedun-duni atau tedhak siten adalah ritual yang sama pentingnya dengan selamatan kelahiran, pernikahan atau kematian. Namun tradisi menurunkan bayi untuk menginjakkan kaki ke tanah ini sudah jarang dilakukan sehingga hampir punah.

i.        Sedekah Bumi adalah salah satu adat tradisi budaya Jawa yang diselenggarakan setelah panen padi, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas keberhasilan menanam padi dan mendapat hasil yang baik.

j.        Nutu adalah suatu proses kegiatan menumbuk/memecah kuit padi untuk dijadikan beras.
Alat untuk menumbuk padi namanya Lumpang dan Lesung serta alu.
                                                              i.      Lumpang.
Lumpang, adalah alat atau tempat untuk menumbuk padi yang terbuat dari kayu atau batu dengan lubang berbentuk lingkaran. Lumpang biasanya digunakan nutu untuk satu orang.
Kata lumpang ada yang mengartikan atau singkatan dari kata alu sing temumpang (alu/antan yang menumpang/ diatasnya).
Lumpang selain untuk menumbuk padi juga dapat digunakan untuk menumbuk kopi, jagung, singkong, kacang dan lain-lain.
                                                            ii.            Lesung.
Lesung, adalah alat atau tempat untuk menumbuk padi yang terbuat dari kayu dengan lubang yang panjang / memanjang dan/atau dengan tambahan lubang yang bulat.
Lesung bisanya digunakan nutu untuk lebih dari satu orang.
                                                          iii.      Alu adalah alat penumbuk pada lumpang dan lesung yang terbuat dari kayu bebentuk selinder panjang (antan, bhs. Ind).

k.      Mipis Jamu, adalah suatu proses menghaluskan bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat jamu tradisional, seperti kunyit, kencur dll.
Alat untuk menghaluskan/ menumbuk bahan-bahan jamu namanya pipisan, terbuat dari batu alam. Perlengkapan alat ini terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu alas untuk menumbuk/menggilas bahan jamu dan alat tumbuk/penggilasnya. Alas biasanya berbentuk kotak/segi empat dengan bagian atas lebih lebar dibanding dengan bagian bawahnya, sedangkan alat tumbuk/penggilasnya berbentuk selinder.

l.        Nabuh Bedug
Bedug adalah alat musik tabuh seperti gendang. Bedug merupakan instrumen musik tradisional yang telah digunakan sejak ribuan tahun lalu, yang memiliki fungsi sebagai alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik. Di Indonesia, sebuah bedug biasa dibunyikan untuk pemberitahuan mengenai waktu salat atau sembahyang. Bedug terbuat dari sepotong batang kayu besar atau pohon enau sepanjang kira-kira satu meter atau lebih. Bagian tengah batang dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Ujung batang yang berukuran lebih besar ditutup dengan kulit binatang yang berfungsi sebagai membran atau selaput gendang. Bila ditabuh, bedug menimbulkan suara berat, bernada khas, rendah, tetapi dapat terdengar sampai jarak yang cukup jauh.[14]
Di Desa Rowosari kegiatan Nabuh Bedug masih dilakukan hanya di Masjid Baiturrahman Candi (masjid lor), sedangkan Masjid Jami’ As-Salam (masjid kidul) sudah tidak menggunakan bedug lagi.

m.    Nabuh Kentongan
Kentongan adalah alat bunyi (alat komunikasi tradisional) yang terbuat dari kayu.
Kegunaan kentongan antara lain sebagai tanda alarm, alat komunikasi jarak jauh, penanda azan (waktu sholat), maupun tanda bahaya.
Dahulu di Desa Rowosari kentongan selalu ada di Balai Desa, pos ronda, mushola/langgar/surau, dan di masjid sebagai pendamping bedug. Pada saat  ditabuh (dibunyikan/dipukul) berfungsi sebagai alat komunikasi masyarakat, namun sekarang sudah tidak ada lagi.

n.      Ngobong menyan/dupo, merupakan suatu kegiatan ritual membakar kemenyan atau dupa dengan menggunakan tempat yang namanya anglo.
Biasanya menyan/dupa dibakar pada saat menjelang malam/magrib dengan memanjatkan doa-doa dan dibarengi pula dengan memasang sesaji pada saat setiap malam Jumat kliwon atau pada acara-acara tertentu,

Selain hal tersebut di atas, hasil kebudayaan dibidang kerajinan tradisional, seperti :
a.       membuat lengkong, yaitu sesaji yang ditaruh diatas pelepah pisang yang dibuat/berbentuk segi empat. Lengkong yang diberi tali/tutus cara memasangnya/meletakkannya biasanya digantung, sedangkan yang tanpa diberi tali/tutus diletaknnya ditempat yang datar.
Sesaji tersebut diletakkan di tempat-tempat tertentu, seperti sudut rumah, sudut sawah yang akan dipanen, jembatan, pohon yang besar. Dibuatnya lengkong biasanya ketika akan melaksanakan hajatan, tasyakuran atau panenan,

b.      membuat kiso  yaitu semacam tas yang dibuat dari blarak/daun kepala) yang digunakan untuk tempat nasi dan lauknya ketika ada hajatan sebagai berkat angsul-angsul.

c.       membuat bleketepe ada yang menyebut dlep-pepe, yaitu anyaman daun kelapa.
Daun kelapa yang ketika dianyamnya dengan cara dibuka/lebar, namanya bleketepe, sedangkan anyaman daun kelapa yang daunnya tidak dibuka namanya widik.
Baik bleketepe/dlep-pepe maupun widik biasanya dibuat untuk digunakan pada acara perkawinan adat jawa yang dipasang dipintu utama bagian atas sebagai pagar/penutup, namun kalau diperkampungan/didesa dibuatnya bleketepe biasanya dapat digunakan untuk alas lantai/tikar, penutup/pagar sumur, wc, atau kandang ayam,
d.      membuat rinjing, yaitu semacam tas yang dibuat dari bambu yang digunakan untuk tempat makanan sebagai berkat walimahan.

e.       membuat tutus, yaitu tali kecil yang dibuat dari bambu.

f.       membuat welit (rumbia), yaitu alat pelindung atap rumah dari panas dan hujan.
Welit dibuat dari daun pohon bulung (sagu) ditata/diatur dan pengikatnya memakai tutus.

g.      membuat kloso got, yaitu tikar yang dibuat dari sejenis rumput yang hidupnya dirawa-rawa atau di tepi sungai.
Namun ada pula yang membuat tikar/kloso dari daun pandan.

h.      membuat lampit.
Lampit, adalah alas lantai seperti tikar yang dibuat dari kulit batang daun sagu/bulung,

i.        membuat ani-ani, yaitu alat untuk menuai/memanen padi. Kebanyakan ani-ani digunakan oleh wanita/ibu-ibu.
Alat ini bentuknya kecil namun terbuat dari 3 jenis benda padat, yaitu :
                                                              i.      dereyan merupakan bagian yang tajam/pisau,
                                                            ii.      apan-apan merupakan tempat dipasangnya dereyan. Tempat untuk memasang dereyan  terbuat dari kayu,
                                                          iii.      kulung merupakan tiang tempat dipasangnya apan-apan sebagai pegangan yang dijepit oleh jari. kulung terbuat dari carang / ranting bambu.

k.      membuat jodang, adalah tempat jajan atau makanan yang digunakan dan dibawa dengan cara dipikul pada saat acara sarahan pengantin.
Jodang terbuat dari kayu biasanya berukuran panjang 150 cm, lebar 50 cm, dan tinggi 30-40 cm, cara membawanya dipikul oleh 2 orang,

l.        membuat Lincak, adalah tempat duduk yang terbuat dari bambu. Biasanya di rumah-rumah  akan menempatkan lincak di depan rumah atau beranda rumah.
Fungsinya adalah untuk tempat duduk beberapa orang sambil melakukan aktivitas santai, misalnya, ”leyeh-leyeh”, ngobrol, kadangkala untuk menerima tamu juga. Adakalanya lincak ditempatkan di halaman rumah di bawah pohon yang rindang.

m.    membuat Damar Kurung, yaitu lampu hias/lampion yang terbuat dari bambu dan kertas minyak warna-warni yang didalamnya diberi lampu minyak (cemplik). Damar Kurung biasanya  dipasang di sudut depan rumah-rumah dengan cara digantung pada saat bulan puasa ramadhan menjelang hari raya Idul Fitri sampai lebaran 1 minggu (syawalan),
sekarang semua tradisi budaya jawa itu sudah semakin punah, namun ada sebagaian masyarakat yang masih mempertahankannya.

3.      Agama.
Sampai saat ini penulis belum dapat memastikan agama apa yang dianut oleh masyarakat Rowosari pada waktu sebelum kehadiran  Among Jiwo. Bukti yang ditinggalkan hanya :
1.Batu bata yang berukuran besar (dilokasi candi).
2.Nisan kuno bertuliskan huruf jawa (di lokasi makam Among Jiwo).
3.Nisan kuno etinis cina (lokasi dibelakang SDN 03 Rowosari).
Dengan adanya kenyataan ini, penyusun lebih cenderung menduga bahwa agama yang dianut oleh masyarakat Rowosari pada waktu itu adalah pemujaan kepada nenek moyang dibuktikan dengan adanya batu bata berukuran besar atau diduga sudah mengenal peradaban Hindu-Budha dan atau aliran kebatinan atau  kejawen.
Tradisi kejawen yang mengutamakan hidup berolah batin, menanamkan hal-hal spiritual dalam kehidupan sehari-hari adalah sejak sebelum datangnya bangsa India (Hindu-Budha). Hindu-Budha datang menambah khazanah hidup batin orang Jawa, memperhalus dan mempertinggi peradabannya. Walaupun demikian sifat khas Jawanya tidak hilang, bahkan unsur-unsur mistik Hindu-Budha berhasil dijawakan sehingga merasa benar-benar itu adalah milik asli leluhur Jawa. Tradisi mengagungkan leluhur sudah merupakan kepercayaan yang sangat kokoh dan sakral bagi masyarakat Jawa. Kehidupan msitik animis-dinamis telah diperkaya dengan unsur-unsur mistik mitologis Hindu-Budha, masyarakat Jawa diperkenalkan adanya sang Hyang Wenang (Tuhan)  dan Dewa-dewa dalam agama Hindu.[15]
Barulah setelah Among Jiwo melakukan siar agama Islam secara aktif, maka sebagian masyarakat Rowosari kemudian memeluk agama Islam, dengan metode siar agama yang “njawani”, sehingga mendapatkan pengikut yang cukup banyak, dengan tidak menyerang kepada aliran agama lain, meskipun dalam perjuangannya Among Jiwo banyak mendapat tantangan dan tentangan, yang pada gilirannya mereka dapat menerima dan saling menghormati satu dengan agama/aliran kepercayaan lainnya demi rasa kebersamaan dan kerukunan umat beragama dalam hidup bermasyarakat yang tetap menjunjung tinggi rasa “teposaliro” dan saling menghormati terhadap ajaran/aliran agama/keyakinannya masing-masing, teramsuk hadirnya agama orang etnis cina maupun agama lainnya.
Perkembangan agama Islam semakin pesat dari waktu ke waktu. Dengan dipandegani oleh tokoh-tokoh agama lokal, maka mulai didirikan tempat ibadah berupa langgar (mushola/surau) yang pada waktu dulu masih menggunakan papan (lempeng. bhs.jawa) dan berbentuk langgar  panggung, antara lain yang penulis masih sempat lihat tahun 1970-an adalah langgar/mushola di Dukuh Bong, di tempat Bpk. K. Hari Sontong (orang tua KH. Ubaidillah), dan langgar/mushola di Dukuh Candi, di tempat Bpk. Hirin, dan sekarang mushola tersebut sudah berubah menjadi mushola yang permanen/tembok, sedangkan langgar/mushola panggung yang tadinya masih ada sekarang sudah tidak ada, adalah langgar/mushola yang terletak di Dukuh Jagalan (sekitar rumah Bpk. Mundorin/ust. Mundopar) dan langgar/mushola yang ada di Dukuh Panggang Sumur (sekitar rumah Bpk. Bari), sedangkan langgar/ mushola yang lainnya dibangun sudah seperti keadaan sekarang/tidak panggung.Mushola di Desa Rowosari banyak dibangun mulai tahun 1990-an.
Tempat ibadah bagi umat Islam Desa Rowosari terdiri dari :
1.      Masjid Jami’ As Salam Ulujami, terletak di Kauman Dukuh Jagalan;
2.      Masjid Baiturrahman terletak di Dukuh Candi;
3.      Masjid Al Barokah, terletak di Dukuh Bong. (SMK Muhammadiyah)
Selain dari adanya 2 (dua) masjid besar tersebut di atas, di Desa Rowosari saat ini juga ada mushola-mushola disetiap dukuhnya, yaitu :
Dukuh Candi :
1.      Mushola Al  Amin, terletak di sekitar rumah Bpk. Ust. Ahmadin, Pejaten Baru;
2.      Mushola Al Mubarokah, terletak di sekitar rumah Bpk. Toha, Pejaten;
3.      Mushola …………., terletak disekitar rumah Bpk. Toyib, Pangkah Pejaten.
4.      Mushola H. Abas, terletak di sekitar rumah Bpk. Ahus, yang lebih dikenal dengan Mushola Pak H. Abas/Pak H. Maksum Abas;
5.      Mushola Nurul Huda, terletak di sekitar rumah Bpk Utz. Sodiqon;
6.      Mushola Al Fallah, terletak di sekitar rumah Bpk. Wahid;
7.      Mushola Al Hidayah, terletak disekitar rumah Bpk. Hirin, yang lebih dikenal dengan Mushola Mbah Musta’am;

Dukuh Bong :
1.      Mushola An Nur, terletak di sekitar rumah Bpk. Slamet Mulyono.;
2.      Mushola Al Khanan, terletak di sekitar rumah Bpk. KH. Ahmad, yang lebih dikenal dengan Mushola Pak H. Ahmad;
3.      Mushola Al Ma’arif, terletak di sekitar rumah Bpk. Hambali, yang lebih dikenal dengan Mushola Pak H. Tarjono;
4.      Mushola Al Maidah, terletak di sekitar rumah Bpk. Rohim, yang lebih dikenal dengan nama Mushola Pak Rohim;
5.      Mushola ………., terletak di sekitar rumah KH. Turmudzi;
6.      Mushola Al Mujahidin, terletak di sekitar rumah Bpk. KH. Ubaidillah, yang lebih dikenal Mushola Pak H. Ubaya;
7.      Mushola Al Quba, terletak disekitar rumah Bpk. H. Sapuan;

Dukuh Jagalan :
1.      Mushola An Nur, terletak di sekitar rumah Bpk. Dasuki;
2.      Mushola Riyadul Jannah, terletak di sekitar rumah Bpk. Kayani;


Dukuh Bandaran :
1.      Mushola Al Mutaqin, terletak di sekitar rumah Hj. Saidah;
2.      Mushola Al Manaar, terletak di sekitar rumah Bpk. A. Rozi;
3.      Mushola …………., terletak disekitar rumah Bpk. Maliki, Kacangan.

Dukuh Panggang :
1.      Mushola Bidayatul Hidayah, di sekitar rumah Bpk. Cartam.;
2.      Mushola Al Haan., di sekitar rumah Bpk. Kasmari, Panggang Sumur;
3.      Mushola An Nur, di sekitar rumah Bpk. H. Tohari;
4.      Mushola Al Muthoharoh, terletak di sekitar TK Keweden;
5.      Mushola Baitul Hidayah, terletak di sekitar rumah Bpk.  H. Wargam.’

Sedangkan tempat ibadah bagi agama non muslim, yaitu agama Kong Hu Tju tempat ibadahnya Klenteng terletak di sekitar Pasar Ulujami/Dukuh Bandaran dan bagi agama Nasrani, tempat ibadahnya Gereja terletak di Dukuh Jagalan.
Kegiatan keagamaan (Islam) yang sudah menjadi budaya turun temurun sejak diperkenalkan oleh Among Jiwo pada masyarakat yang hingga sekarang masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat Desa Rowosari adalah kegiatan Tahlilan, Berzanjen, Manakipan,  dan Mitoni,  sedangkan kegiatan Takbir Keliling desa dengan membawa  oncor/obor sekarang sudah punah.
Perkembangan agama Islam di Desa Rowosari dari waktu ke waktu tidak akan terlepas dari adanya campur tangan atau peran serta dari para tokoh besar agama (kiyai atau ulama) yang ada pada jamannya. Among Jiwo sebagai tokoh besar yang pertama kali memperkenalkan ajaran agama Islam ke masyarakat merupakan tokoh agama yang menjadi panutan bagi umatnya.
Mengenai siapa tokoh-tokoh agama Islam yang melakukan kegiatan siar agama di Desa Rowosari dan sekitarnya, hingga sekarang Penulis belum dapat menyajikan secara sempurna. Lalu siapakah nama-nama tokoh agama Islam setelah Among Jiwo?
Berikut nama-nama tokoh agama Islam yang dapat Penulis data sampai April 2012, yaitu :
a.       Tokoh agama Islam yang sudah meninggal dunia :
1.KH. Abdurahman (Bong);
2.Ky. Abdul Kholiq (Bong);
3.KH. Nukman (Candi);
4.KH. Mashudi (Jagalan);
5.KH. Abas (Candi);
6.KH. Muksin (Candi);
7.Ky. Muhidin (Candi);
8.Ky. Junaedi (Candi);
9.Ky. Syikin (Bandaran);
10.  Ky. Musta’am (Bandaran);
11.  Ky. Hari Sonthong (Bong);
12.  KH. Khanan (Bong);
13.  KH. Nachrawi (Jagalan);
14.  KH. Mundakir (Bandaran);
15.  KH. Turmudzi (Bong);
16.  KH. Farochan (Candi);
17.  Ky. Yahya (Candi);
18.  KH. Ubaidillah (Bong);

b.      Tokoh agama Islam yang masih hidup :
19.  KH. Maksun Abas (Candi);
20.  Ky. Mudlofir (Bandaran);
21.  Ky. Banani (Bandaran);
22.  KH. Abu Sahma (Candi);
23.  KH. Ahmad (Bong);
24.  KH. Rachat (Panggang).

Namun hingga sekarang Penulis belum dapat mengkompilasi siapa nama-nama tokoh agama Islam dari kaum hawa yang berkiprah dalam siar agama Islam di Desa Rowosari dan sekitarnya dari masa ke masa.
Dari catatan tersebut di atas tokoh agama Islam terbanyak berada di Dukuh Candi, bahkan pada tahun 1980-an Dukuh Candi sempat terkenal dengan nama Kota Santri-nya Desa Rowosari.






















BAB IV
CERITA RAKYAT
DAN SUMBER SEJARAH

Masuknya agama Islam ke tanah Jawa, yang dibawa oleh kaum Ulama Sufi (mistikus Islam), untuk beberapa abad tidak mampu menembus lingkungan kerajaan atau kraton yang masih dipagari dengan kepercayaan Hindu-Kejawen. Sehingga dakwah Islam yang dibawa oleh para Sufi dari daerah pesisiran pantai, yang secara geografis jauh dari lingkungan kerajaan. Masayarakat pesisir yang cenderung memiliki watak egaliter, tidak mengenal lapisan-lapisan masyarakat, cenderung menerima ajaran Islam yang mengajarkan persamaan hak dan derajat manusia. Berawal dari sinilah, keberhasilan dakwah Islam yang mengajarkan persamaan hak dan derajat manusia disambut dengan gembira oleh rakyat awam, bahkan dianggap sebagai penerang dari kegelapan. Tidak ada perbedaan antara rakyat dengan pejabat, semua manusia sama derajatnya dimata Allah SWT.[16]
Dalam perkembangan dakwahnya, Islam akhirnya berhasil menjadi bagian hidup masyarakat pesisir yang kemudian melahirkan komunitas baru yang berpusat di pesantren di sepanjang pesisir pantai. Puncak keberhasilan dakwah Islam ditandai dengan berdirinya kerajaan Demak dan rajanya yang pertama adalah Raden Patah dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar memegang pemerintahan selama 34 tahun (1475-1518).[17]
 Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalam penyiaran dan penyebaran agama Islam di Jawa pada zaman dahulu dipelopori oleh para mubaligh Islam yang lebih dikenal dengan sebutan “Wali”. Adapun para wali ini jumlahnya ada sembilan yang dianggap merupakan kepala kelompok dari sejumlah besar mubaligh-mubaligh Islam yang bertugas mengadakan operasi di daerah-daerah yang belum memeluk agama Islam.[18]
Kerajaan Demak sebagai pewaris kerajaan Majapahit, peralihan dari kerajaan Jawa-Hindu ke kerajaan Jawa-Islam berkat perjuangan para ulama Sufi yang bergelar Wali Tanah Jawa (Walisongo). Kerajaan Demak-pun mewarisi tradisi kejawen pada umumnya, unsur agama dan pejabat keagamaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kelengkapan kerajaan seperti kerajaan-kerajaan Jawa pada masa-masa seblumnya. Masa kerajaan Demak dakwah dilakukan secara aktif oleh Wali Songo, dalam menghadapi masyarakat yang komplek para wali mengambil kebijakan-kebijakan khusus. Islamisasi dimulai dari kalangan istana dan tradisinya, sampai pada seni, budaya dan sastra. Masa inilah awal pertemuan ajaran Islam dengan tradisi dan budaya Jawa.[19]
Peran kaum sufi dalam penyebaran agama Islam sangatlah menonjol. Peralihan dari kerajaan Jawa-Hindu ke kerajaan Jawa-Islam tidaklah lepas dari peranan ulama sufi yang dikenal sebagai wali tanah Jawa (Walisongo). Melalui media dakwah tasawuf akhirnya nilai-nilai Islam berhasil merasuk bagian dalam, sehingga banyak kearifan, pandangan hidup yang oleh orang Jawa diklaim sebagai khas Jawa.[20]
Penyebaran agama Islam yang dibawa oleh kaum sufi memang tidak mudah, bahkan untuk beberapa abad tidak dapat menembus kerajaan Jawa yang masih dipagari oleh kepercayaan Hindu-Budha. Namun demikian perjuangan atau dakwah Islamiyah tidaklah berhenti begitu saja, para juru dakwah tidak putus asa dan mengambil strategi baru dalam berdakwah. Sasaran dakwah dialihkan ke daerah pesisir yang jauh dari pantauan kerajaan. Bermula dari pindahnya sasaran dakwah inilah maka Islam mulai melangkah setahap demi setahap, berangkat dari golongan bawah (wong cilik) di daerah pesisir yang bergitu welcome menerima kedatangan para juru dakwah dan menyambut baik ajaran-ajaran Islam. Di daerah ini Islam tumbuh subur dan menjadi kekuatan besar (dengan berdirinya pesantren-pesantren), yang akhirnya mampu menandingi wibawa kerajaan.[21]
Sejalan dengan berkembangnya ajaran Islam, maka banyak pula bermunculan kaum santri/para juru dakwah yang menjadi penyebar ajaran Islam salah satunya adalah Among Jiwo yang nama aslinya adalah Raden Mas Merto Truno. Oleh beliaulah ajaran agama Islam pertama kali diperkenalkan di Rowosari khusunya, dan daerah-daerah lain yang ada disekitar Desa Rowosari pada umumnya.
Rowosari adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, yang terletak di jalur pantai utara (pantura) / jalan Daendeles. Desa Rowosari merupakan desa yang letaknya paling ujung timur dari wilayah Kabupaten Pemalang dan berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan/Desa Rembun, di mana pembatasnya ditandai oleh aliran sungai Sragi. Jarak antara Desa Rowosari ke kota Pemalang sejauh + 20 Km, sedangkan jarak dari Desa Rowosari ke Kota Pekalongan jaraknya sejauh + 13 Km.
Di Desa Rowosari ada sebuah daerah/tempat/wilayah yang sebagian besar orang tidak mengetahuinya kalau daerah tersebut masuk wilayah Desa Rowosari, akan tetapi banyak orang yang mengira kalau daerah tersebut masuk wilayah Desa Rembun Pekalongan, hal ini dapat terjadi karena letak daerah tersebut berada di sebelah timur aliran sungai Sragi, sehingga daerah tersebut tampak seperti masuk wilayah Kabupaten Pekalongan.
Daerah / wilayah tersebut terkesan terisolir dari induknya, yaitu Desa Rowosari dan masyarakatnya lebih dekat bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat Desa Rembun Kabupaten Pekalongan dibanding dengan masyarakat Desa Rowosarinya sendiri. Daerah tersebut bernama Kacangan/Pekacangan masuk wilayah dukuh Bandaran. Hal tersebut dapat terjadi karena aliran sungai Sragi yang pada awalnya melalui wilayah Rembun Suci ke arah barat (sekitar belakang Masjid Rembun), namun aliran sungai tersebut berpindah/dipindah disebelah barat (seperti keadaan sekarang) yang justru membelah dukuh Kacangan dari Desa Rowosari.
Selain Dukuh Kacangan ada juga daerah Desa Rowosari yang terisolir dan penduduknya lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat desa lain dibanding dengan masyarakat Desa Rowosari itu sendiri, yaitu suatu daerah/wilayah yang masuk Dukuh Candi akan tetapi justru lebih dekat dengan Desa Samong, yang sekarang dinamakan daerah Candi Baru/Pejaten Baru.
Dikisahkan pada jaman Kesultanan Demak, ada seorang tokoh spiritual dari kasultanan Surakarta/kraton Solo yang bernama R.M. MERTO TRUNO untuk beberapa waktu  belajar dan memperdalam ajaran agama Islam di Kerajaan/Kesultanan  Demak Bintoro pada masa kepemimpinan Raden Patah yang mendapat dukungan dari Walisongo. Setelah R.M. Merto Truno dianggap mampu dan menguasai agama Islam, maka R.M. Merto Truno mendapat amanat/tugas untuk pergi ke Kerajaan/Kesultanan Banten guna menyebarkan ajaran agama Islam, (Kesultanan Demak Bintoro pada  waktu itu melakukan ekspansi ke wilayah barat sampai ke Banten untuk menyebarkan agama Islam).
Alat transportasi pada waktu itu yang paling baik untuk jarak jauh adalah alat transportasi melalui laut, yaitu kapal/perahu/sampan dengan menyusuri tepian pantai. Setelah alat transportasi dan akomodasi/perbekalan untuk selama perjalanan telah siap, maka R.M. Merto Truno berangkat dari Demak menuju Banten bersama istrinya dan beberapa orang santrinya/pengawalnya. Dalam perjalanannya R.M. Merto Truno mendapat rintangan yang sangat dasyat, yaitu adanya badai dan gelombang besar yang menghantam perahu yang ditumpanginya, diman peristiwa itu terjadi disekitar laut antara Pekalongan dan Pemalang, yang mengakibatkan perahu rusak/pecah dan terdampar  ke tepi pantai.
Dengan bersusah-payah R.M. Merto Truno dan pengawalnya/para santrinya dibantu oleh masyarakat sekitar pantai berusaha untuk memperbaiki perahu yang terdampar dan rusak tersebut, di mana posisi perahu yang terdampar itu terhempas sampai masuk di dekat muara aliran sungai. Dalam masa perbaikan perahu, R.M. Merto Truno untuk sementara waktu tinggal di rumah warga desa tersebut, dengan tidak menyia-nyiakan waktu beliau mencoba untuk memperkenalkan ajaran agama Islam meskipun dengan cara yang sangat bijaksana (njawani) dan tidak menyinggung warga setempat yang masih belum mengenal mengenai agama (Islam) dan masih menganut agama Hindu Budha atau aliran kejawen.
Masyarakat di daerah itu selama hidupnya belum pernah melihat benda asing yang bernama perahu dan di daerah tempat terdamparnya perahu tersebut belum mempunyai nama, mereka baru mengenalnya dengan nama daerah moro/muara, oleh karena itu atas ide R.M. Merto Truno dan kesepakatan warga setempat serta untuk mengabadikan nama daerah itu, maka daerah tersebut dinamakan Kaliprau, dimana kata Kaliprau merupakan gabungan kata kali dan prau, yang mengandung pengertian bahwa kali adalah sungai, yang diambil dari suatu tempat ditemukannya perahu yang terdampar (dekat dengan muara sungai) dan prau adalah perahu/sampan, yang diambil dari nama suatu benda yang digunakan oleh R.M. Merto Truno, sehingga jadilah kata Kaliprau, yang kemudian kata-kata tersebut digunakan untuk nama tempat/daerah tersebut dan kemudian menjadi nama sebuah desa yaitu desa Kaliprau.
Namun ada legenda/cerita lain tentang asal mula nama Kaliprau, yaitu legenda/cerita tentanag Tan Kwie Djan, yang menceritakan bahwa sebenarnya Tan Kwie Djan adalah seorang pimpinan nakhoda dari Ujung Pandang (nama Ujungpandang jaman Mataram sudah ada), dan ia kemudian mengadakan pelayaran dan menelusuri Pantai Utara Jawa. Tatkala singgah di daerah Ulujami, tiba-tiba perahu itu pecah. Dan disinilah Tan Kwie Djan mendarat dan tempat pecahnya perahu itu kini dinamakan desa Kaliprahu Kecamatan Ulujami Kabupaten Pemalang. Sementara orang lain lagi menjelaskan bahwa mendaratnya di Kecamatan Keling Jepara.[22]
Setelah perahu R.M. Merto Truno selesai diperbaiki, maka dengan berbagai pertimbangan diputuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan melalui laut, akan tetapi memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke arah selatan dengan menyusuri sungai yang airnya sangat jernih. Ketika perjalanan baru mencapai 5 km, R.M. Merto Truno meminta untuk menghentikan perahunya dan menepi untuk singgah di daerah yang tempatnya ternyata masih penuh dengan rawa/berawa-rawa, meskipun sudah ada penduduknya.
Untuk beberapa hari R.M. Merto Truno berada di daerah tersebut dengan berkomunikasi dan bermasyarakat dengan warga setempat dengan tidak lupa selalu menyisipkan ajaran-ajaran agama Islam meskipun dengan cara terselubung. Kehidupan masyarakatnya masih belum baik, masih sangat tertinggal dan terbelakang, serta masih banyak masyarakat yang belum mengenal agama, karena mereka masih banyak menganut ajaran para leluhurnya atau menganut ajaran agama Hindu-Budha atau aliran kejawen, demikian juga terhadap perekonomian dan perdagangan, pertanian, budaya  dan lain sebagainya belum tertata rapi, maka dengan secara perlahan R.M. Merto Truno mencoba melakukan pendekatan kepada masyarakat untuk memberikan ilmunya kepada warga setempat. Di sini telah terjadilah hubungan antar R.M. Merto Truno dengan masyarakat atau sebaliknya.
Secara sosiologis, di dalam sistem kemasyarakatan terjadi hubungan antar pribadi, antar kelompok maupun antar pribadi dengan kelompok (dan sebaliknya). Hubungan demikian disebut interaksi sosial, yang menyangkut proses saling mempengaruhi antara fihak-fihak yang berinteraksi. Apabila terjadi interaksi sosial yang berulangkali sehingga menumbuhkan pola tertentu, maka akan timbul  kelompok sosial. Kelompok sosial merupakan himpunan atau kesatuan orang-orang yang mempunyai kepentingan bersama yang sedemikian eratnya, sehingga masing-masing anggota merasa menjadi bagian dari kelompok sebagai satu kesatuan yang utuh.[23]
Dengan berbekal dan keadaan seadanya R.M. Merto Truno dan istrinya serta pengawalnya/santrinya masuk di daerah itu dan menjadi warga setempat. Secara perlahan-lahan R.M. MertoTruno mencoba mengamalkan ilmunya yang disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan warga setempat terutama bidang pertanian dan perdagangan serta bidang seni budaya, sedangkan untuk bidang agama dilakukan dengan sangat hati-hati, karena masyarakatnya masih banyak yang belum mengenal agama, apalagi agama Islam, sehingga dalam mensiarkan ajaran agama Islam menggunakan pendekatan sosial, seni dan budaya agar  dapat dengan mudah untuk dimengerti dan dipahami  oleh masyarakat, dengan harapan masyarakat dapat menerimanya akan tetapi tidak tersinggung dan tujuan siar agama (Islam) dapat tercapai.
R.M. Merto Truno yang cerdas dan mumpuni dibidang agama dan ilmu pengetahuan, menciptakan sistem pendidikan yang lebih teratur, khusunya agama, maka perjalanan hidupnya dari hari ke hari menjadi semakin berpengaruh dan pengikutnya semakin banyak dan berkembang, maka untuk kepentingan siar dan pembelajaran agama Islam dibangunlah padepokan/pondok pesantren di daerah Tenggulun/Trenggulun (sekarang disekitar rumah penulis),  akan tetapi perjuangan Among Jiwo tersebut  pastilah mendapat tantangan dan rintangan serta tentangan yang tidak sedikit dari sebagaian masyarakat yang tidak menghendakinya, namun semuanya dapat diatasi oleh Among Jiwo dalam menciptakan dunia yang baru dibidang spiritual bagi masyarakat sekitar.
Dalam dunia yang baru ini pula para ulama menciptakan sistem pendidikan yang lebih teratur dan jauh berada dengan sistem pendidikan di istana. Ulama sufi sebagai pemimpin pesatren-pesantren mendapat penghormatan dan dikeramatkan oleh santri-santrinya, diyakini mempunyai kekuatan ghaib dan keistimewaan-keistimewaan luar biasa, sebagai wali Allah.[24]
 Untuk meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat disekitarnya, maka Among Jiwo selain mengajarkan agama (Islam) juga mengajarkan bagaimana caranya manusia untuk bisa hidup dan mengembangkan kehidupan ini dengan tidak melupakan ibadah kepada Tuhannya.
Among Jiwo berada di Pemalang (Desa Rowosari Ulujami atau Pemalang bagia timur) semasa dengan Patih Sampun (Djiwonegoro) sekitar tahun 1500-an, beliau berdua mendapat tugas yang berbeda, Patih Sampun mendapat tugas untuk membuat sungai-sungai dari Pekalongan sampai ke Cirebon, sementara Among Jiwo mendapat tugas untuk menyebarkan ajaran (siar) agama Islam.[25]
Terkisah di suatu malam Jiwonegoro yang dalam legenda dikenal dengan julukan Patih Sampun, mendapat wisik dari Gusti Kang Murbeng Dumadi berupa tengara hadirnya sebilah keris pusaka luk tigabelas. Ternyata dikemudian hari wisik itu menjadi kenyataan, Pangeran Benowo yang notabene pewaris pusaka keris luk tigabelas bernama Kyai Tapak, benar-benar datang untuk menjadi raja di Pemalang.
Kehadiran Pangeran Benowo bersama guru spiritualnya Ki Julung Wangi dan resi pengasuh Ki Buyut Jamur Apu disambut oleh Syeh Talabudin, ulama asal Cirebon yang mengasuh padepokan santri di Warung Asem dan Padurungan Taman.
Syeh Talabudin dan Ki Julung Wangi merupakan sahabat seperguruan ketika menimba ilmu pada seorang wali di Demak Bintoro. Oleh Syeh Talabudin, Pangeran Benowo yang kemudian menjadi muridnya disarankan tetirah untuk menenangkan diri sekaligus memimpin Kadipaten Pemalang yang telah komplang karena dua petingginya, yaitu Adipati Anom Windugalbo dan Patih Gede Murti, telah meninggal.
Pangeran Benowo memenuhi harapan ulama tersebut, kemudian ditabalkan menjadi Adipati Pemalang di pendopo kadipaten. Penobatan tersebut berlangsung malam hari pada 1 Syawal bertepatan pada tanggal 24 Januari 1575 yang dikemudian hari ditetapkan menjadi Hari Jadi Kabupaten Pemalang. (Ruslan Nolowijoyo)[26]
Sejalan dengan perjalanan waktu Among Jiwo merupakan tokoh besar yang disegani, dihormati dan dikeramatkan serta mampu menuntun, mengayomi kehidupan masyarakat dan menjadikan masyarakat semakin maju dan sejahtera, menjadikan masyarakat lebih dekat dengan Tuhannya, maka Among Jiwo dianggap sebagai tokoh yang mampu memelihara kehidupan jiwa orang lain. Atas jasa-jasanya, maka Among Jiwo yang bernama asli R.M. Merto Truno mendapat penghargaan tidak tertulis dari masyarakat, dengan sebutan : Syeh Among Jiwo. Pengertian kata Syeh adalah orang yang cerdas dalam bidang agama (Islam), kata Among mengandung pengertian memerihara/merawat( bhs. jawa : momong), sedangkan kata Jiwo mengandung pengertian Jiwa.
Diberi gelar demikian karena Among Jiwo adalah tokoh besar dalam agama (Islam) dan Among Jiwo adalah orang yang bersedia memelihara jiwa rakyatnya, baik dihadapan Tuhan maupun sesamanya.
Among Jiwo termasuk orang yang keramat/karamah. Pengertian keramat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah (1) suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan (tentang orang yang bertakwa); (2) suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psokologis kepada pihak lain (tentang barang atau tempat suci).
Keramat (karamah) identik dengan orang yang dikenal sebagai wali (Wali Songo) dan kiai (ulama). Tipikal kedua orang ini diyakini memiliki karamah tersendiri. Sebagaimana dalam perjalanan sejarah Wali Songo dan berbagai cerita kiai dari pesantren ke pesantren.
Sejalan dengan pengertian karamah di atas, para sufi mengartikan karamah sebagai karunia Allah yang diberikan kepada para wali berkat kesungguhan mereka dalam beribadah, mendekatkan diri kepada Allah, dan membersihkan dirinya dari perbuatan dosa, berbagai penyakit hati, dan sifat-sifat tercela sehingga pada diri mereka muncul khawariqal-adah, sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam, sebagai penghormatan dan penghargaan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang berprestasi. Dengan demikian, masalah karamah merupakan kewenangan mutlak Allah. Allah berhak memberikan karamah kepada siapa saja yang senantiasa dekat dengan-Nya, taat, dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya, serta membersihkan dirinya lahir batin.[27]
Among Jiwo pernah menyampaikan kepada pengikutnya/santrinya, kalau daerah yang berawa-rawa ini masyarakatnya bersedia dan mau mengelola dengan baik, maka akan banyak menemukan dan mendapatkan manfaatnya atau inti sarinya yang dapat  membuat masyarakat di daerah ini akan lebih sejahtera, aman dan sentosa. Oleh karena daerah tersebut awalnya berawa-rawa, akan tetapi setelah dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, maka daerah yang semula berawa-rawa tanpa manfaat kemudian secara bertahap berubah menjadi daerah/wilayah yang bermanfaat bagi masyarakatnya, sehingga daerah yang berawa-rawa ini oleh Among Jiwo dinamakan Rowosari.
·         Rowosari dari kata Rowo dan Sari :
o   Rowo/rawa artinya : tanah rendah yang digenangi air.
o   Sari artinya : tepung halus/inti.
Dikatakan rowo/rawa, karena dahulu sebagian besar dari daerah ini adalah rawa-rawa yang banyak ditumbuhi dengan tanaman air dan sebagian besar masyarakatnya belum dapat berbuat banyak untuk mengelola daerah yang berawa-rawa. Beberapa bukti adanya rawa-awa : pada sekitar tahun 1970-an di sekitar belakang rumah Bpk. H. Tasiman - Panggang masih berupa rawa-rawa yang banyak ikannya, demikian pula di sebelah barat rumah Bpk. Ust. Sodikon - Candi, di belakang Kantor Urusan Agama; dan bukti lain adalah adanya potongan-potongan kayu (tatal) yang berada dikedalaman + 35 meter ketika Bpk. H. Rasyidi - Bong membuat sumur bor pada tahun 2000-an.[28] Dengan demikian dapat diprediksikan bahwa masyarakat pada waktu itu membuang sampah ke rawa-rawa yang berfungsi juga untuk menimbun (mengurug)  agar rawa-rawa tersebut dapat dimanfaatkan, baik untuk kebun atau untuk rumah. Sedangkan kata sari mengandung pengertian inti yang bermanfaat.
o   Sehingga kata Rowosari mengandung pengertian jika daerah ini digali potensinya, maka akan mendapatkan inti manfaat yang berguna bagi warganya dan dapat memakmurkan serta mensejahterakan masyarakat dikemudian hari.

1.      Terjadinya Nama Dukuh Bong.
Pada awal Among Jiwo (R.M. Merto Truno) masuk Desa Rowosari, beliau membangun rumah yang sekaligus digunakan untuk tempat kegiatan kemasyarakatan dan mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, termasuk ilmu agama (Islam), di mana rumah tersebut dibuat dan dibangun di daerah Tenggulun/Trenggulun (sekarang disekitar rumah Penulis).
Kata Tenggulun sebenarnya berasal dari kata theng-kulon, yaitu theng mengandung arti di dan kata kulon yang mengandung pengertian barat. Mengapa kata teng (theng) kulon menjadi teng gulun ? menurut sejarahnya, karena dialek/logat orang Rowosari untuk mengatakan kata kulon/kilen (bhs. Jawa) tidak bisa fasih, akan tetapi justru dialekknya agak “medhok”, sehingga kata kulon terucap dan terdengarnya menjadi ghulon. Oleh karena itu pengertian kata tenggulun (teng-gu-lon) mengandung pengertian berada di barat.
Ada yang berpendapat lain kalau daerah Tenggulun tersebut bernama daerah Trenggulun. Pendapat ini didasarkan adanya sebuah pohon yang besar yang oleh masyarakat pada waktu itu dinamakan pohon Trenggulun. Trenggulun adalah nama sebuah pohon yang tinggi, besar dan rimbun seperti pohon beringin yang bunga atau buahnya bernama kethos, namun adapula yang menyebut kalau pohon Trenggulun adalah pohon kethos. Dinamakan Trenggulun karena di daerah itu dahulu pernah tumbuh pohon tersebut, di mana pohon Trenggulun tersebut dahulu ditanam oleh Among Jiwo.
Namun pemahaman tentang  pohon Trenggulun dan buahnya juga termuat dalam  Serat Darmo Gandhul, yaitu ketika Sunan Bonang berkelahi dengan Buta Locaya, dan pada saat itu Sunan Bonang bersabda “Buah pohon Trenggulun ini mulai sekarang aku beri nama KENTHOS, agar bisa dijadikan pengingat, bahwasanya aku pernah bertengkar dengan seorang makhluk halus KEMENTHUS (yang sok) tentang sebuah arca!”.[29] Oleh karena itu hingga hari ini, buah pohon Trenggulun di Jawa namanya kenthos/kethos.
Trenggulun (Protium javanicum Burm) merupakan tumbuhan khas dipulau jawa. Pohon trenggulun tergolong tumbuhan langka. Pohon trenggulun mempunyai batang yang kokoh dan kuat namun berduri. Pohon ini juga memiliki buah kecil - kecil seperti anggur dan berwarna merah. Rasa buahnya manis masam kalau buahnya berwarna merah cerah. dan berasa manis kalau buahnya berwarna merah kehitam-hitaman. Pohon Trenggulun tumbuh didataran rendah sekitar 35 meter dpl sampai 251 meter dpl. Disamping itu buah trenggulun berkhasiat untuk mencegah seriawan namun bagi yang belum mencicipi sama sekali akan terkena efek samping dari buah trenggulun yaitu tenggorokan terasa gatal. namun efek samping ini hanya bersifat sementara.[30]
Lain halnya dengan masyarakat yang  hidup di daerah sebelah barat dari Tenggulun/Trenggulun, pekerjaan sehari-hari adalah bertani dengan bercocok tanam khususnya palawija dan lahannya tidak ditanami padi, karena tanah disekitar pemukiman warga letaknya agak tinggi dibanding tanah tanah di tempat lainnya, sehingga tanah pertaniannya lebih tepat ditanami tanaman palawija atau tanah tersebut lebih dikenal dengan tanah tegalan. Oleh karena itu daerah dibagian tengah tersebut tanahnya sebagai besar merupakan tanah tegalan, maka oleh Among Jiwo daerah/wilayah sekitar itu dinamakan dukuh Tegalan.
Tegalan berasal dari kata tegal atau tegil adalah tanah yang luas dan rata yang ditanami palawija dengan tidak mempergunakan pengairan dan bergantung pada hujan.
Daerah disebelah selatan dari Tegalan oleh Among Jiwo dinamakan daerah Ploso, karena daerah itu masih sangat jarang penduduknya dan jauh dari pusat keramaian/pasar, akan tetapi kehidupan masyarakat di daerah itu tidak jauh beda dengan masyarakat disekitarnya, yaitu masyarakat Tegalan maupun masyarakat Peturen.
Pengertian Ploso atau plosok/mlosok adalah pedalaman atau suatu tempat yang letaknya jauh dari keramaian. Dikatakan demikian karena daerah tersebut memang letaknya jauh dari pusat keramaian (pasar) dan daaerah tersebut juga masih berupa rawa-rawa serta masih jarang penduduknya.
Masyarakat dibagian barat (dari Dukuh Bong) kehidupannya lebih keras untuk menghadapi hidup, mereka lebih banyak merupakan masyarakat pedagang dan pekerja yang bergerak dibidang pertanian, disamping itu para petaninya sangat kreatif dan mereka tidak hanya menanam padi saja, akan tetapi setiap jengkal tanahnya dimanfaatkan untuk ditanami pohon-pohon keras yang berguna untuk tambahan penghasilan keluarga, sehingga setiap jengkal tanah tidak ada masyarakat yang menyianyiakannya, hampir seluruh tanah-tanah yang kosong ditanami dengan tanaman pohon turi, yang dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar untuk dijual atau untuk dipakai sendiri (memasak), sedangkan bunganya (tronggong) dapat dibuat kluban (kuluban/sayur), dan daunnya dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak/kambing. Oleh karena diseluruh hamparan tanah yang ada  oleh masyarakat ditanamai pohon turi, maka oleh Among Jiwo untuk memudahkan penyebutan nama daerah/wilayah tersebut, maka daerah/wilayah itu dinamakan dukuh Peturen (banyak ditanami pohon turi/kebun pohon turi).
Peturen dari kata Turi, yaitu  sejenis tanaman / pohon untuk kayu bakar yang bunganya bernama tronggong. Sehingga kata Peturen mengandung pengertian : suatu daerah yang banyak ditumbuhi oleh tanaman/pohon turi.
Lain halnya dengan wilayah yang letaknya di sebelah selatan jalan raya Ulujami (jalan Daendeles), oleh Among Jiwo dinamakan daerah Sigebang atau Gebangan, karena daerah tersebut dahulunya banyak tumbuhan sejenis pohon palem yang bernama pohon gebang. Kata Sigebang atau Gebangan berasal dari kata gebang yaitu sejenis pohon palem seperti pohon jambe/pinang daunnya lebar dan berbentuk lingkaran/bulat lebar serta tangkainya berduri, buahya berasa manis jika sudah matang berwarna kehitam-hitaman.
Seiring dengan berjalannya waktu dan adanya perkembangan jaman, maka munculah nama dukuh Bong. Mengapa dinamakan dukuh Bong? Hal ini terjadi karena adanya etnis cina yang masuk desa Rowosari dan menguasai perekonomian (tahun 1700-an), sehingga mereka leluasa untuk membeli tanah, baik yang digunakan untuk rumah pribadi, tempat ibadah maupun untuk kuburan. Mereka dapat leluasa menguasai segalanya (bidang ekonomi) pada waktu itu karena sebagian besar dari etnis cina ini lebih berpihak/lebih dekat pada penguasa (Belanda) dibanding dengan masyarakat biasa/pribumi.
Bong adalah sebutan untuk nama kuburan orang etnis cina. Oleh karena di daerah itu baru pertama kali ada kuburan cina dan yang semakin hari semakin bertambah (letaknya adalah daerah disebelah selatan dari daerah Trenggulun dan Tegalan atau sekarang SD Negeri Rowosari 02-03, Kantor Kecamatan Ulujami, Kantor BRI, Kantor Koramil dan sekitarnya), maka dinamakanlah dukuh Bong (pergantian nama menjadi Bong digunakan setelah Among Jiwo sudah meninggal dunia, hal ini dilakukan  pemerintah desa untuk memudahkan  penyebutan nama wilayah (Tenggulun, Tegalan, Peturen, Ploso dan Sigebang/Gebangan) menjadi satu dukuh, yaitu Dukuh Bong.
Diwilayah Dukuh Bong pada waktu dulu  juga merupakan daerah wirausaha industri kerajinan pembuatan alat-alat pertanian. seperti cangkul, garpu, sabit, golok, pisau dan lail-lain, di mana pembuatnya dinamakan “Empu pande besi”.
Pakar  “Empu pande besi” dan tempat usahanya yang dapat penulis data :
a.       Mbah Drai, lokasinya di wilayah Trenggulun, sekarang rumah Bpk. Nuryanto;
b.      Mbah Simik, lokasinya di wilayah Tegalan, sekarang rumah Bpk. Sardai/Fachrozi.
c.       Mbah Mas’an, lokasinya di wilayah Bong, sekarang rumah mbah Mas’an/Ibu Aropah.
d.      Mbah Ra’an, lokasinya di wilayah Ploso, sekarang menjadi warungnya Bu Siti;
e.       Mbah Rayis, lokasinya di wilayah Ploso, sekarang menjadi garasi mobil milik H. Nurdin- Hj. Ulla;
f.       Mbah Ajun/Arjun, lokasinya di wilayah Peturen, sekarang rumah Bpk. Supre;
g.      Mbah Tohan, lokasinya di wilayah Ploso, sekarang rumah  Ibu Rahati - Bpk. Kisbantaro/ sebelah utara mushola;
h.      Mbah Arjen, lokasinya di wilayah Ploso, sekarang rumah Bpk. Basari.
Namun sayang kerajinan “pande besi” sejak  awal tahun 1990-an sudah punah/tidak ada lagi, hal ini disebabkan karena generasi penerus tidak ada yang mau menekuni untuk melanjutkannya dan keranjinan tersebut  tersingkir oleh berkembangnya  wirausaha / usaha home industry (industri rumah tangga) dibidang konveksi yang dipandang lebih menguntungkan.

2.      Terjadinya Nama Dukuh Bandaran.
Dengan berkembangnya jaman dan kemajuan masyarakat desa Rowosari dibidang pertanian, perdagangan, maka warga masyarakat desa Rowosari membuat pusat perbelanjaan (pasar) yang letaknya tidak jauh dari aliran sungai Sragi, di mana dengan semakin berkembangnya pusat perbelanjaan (pasar) tersebut dari waktu ke waktu,  maka aliran sunga Sragi menjadi jalur transportasi dari berbagai daerah/desa disekitar desa Rowosari yang dilalui jalur aliran sungai Sragi, sehingga lokasi pemberhentian kapal/perahu/sampan yang menurut bahasa jawa diartikan/disebut dengan istilah bandar/bandaran (pelabuhan), maka untuk memudahkan penyebutan nama daerah disekitar itu oleh Among Jiwo dinamakan Bandaran.
    Kata Bandaran berasal dari kata Bandar yang mengandung 2 (dua) pengertian :
1.      Bandaran adalah suatu tempat bagi bersandarnya sampan/perahu/kapal atau disebut juga dengan pelabuhan/dermaga bagi alat transportasi air.
2.      Bandar adalah orang yang menjadi sentral judi dari musuh/lawan penjudi lainnya atau orang yang menguasai permainan judi (bandar judi).

Dari kedua kata tersebut Penulis lebih cenderung menyepakati daerah tersebut masuk  pada pengertian yang pertama (yang digunakan oleh Among Jiwo), yaitu pelabuhan/dermaga atau terminal bagi alat transportasi air. Hal tersebut dapat terbukti kalau dahulu di dukuh Bandaran ada bandar/pelabuhan/dermaga kapal/prahu/sampan adalah dengan adanya pasar, adanya bangunan gudang garam (sekarang Puskesmas), adanya bangunan Kelenteng (karena setiap kelenteng dibangun dipusat perdagangan yang berada disekitar aliran sungai), contoh lain adalah Klenteng Comal dibangun disekitar aliran sungai Comal dan dekat Pasar Comal, Klenteng Pekalongan dibangunan disekitar aliran sungai Loji dan dekat pasar Banjarsari/Senteling, demikian pula di daerah-daerah lainnya.
Bandaran/pelabuhan untuk perahu/kapal dagang bersandar tersebut lokasinya terletak disebelah utara jembatan sungai Sragi memanjang ke utara sampai dipertigaan jalan konveksi (sekarang di sebelah timur rumah Bpk. Zaenal Kembu), yang kemudian barang-barang dagangan yang dimuat dari kapal/perahu/sampan diturunkan untuk dijual di pasar atau ke luar daerah Rowosari, di mana aliran sungai Sragi ini dapat dilalui kapal/perahu/sampan dari laut hingga ke daerah Sragi atau sebaliknya.

3.      Terjadinya Nama Dukuh Pekacangan.
Masyarakat di daerah ini kehidupan sehari-harinya adalah bertani, akan tetapi karena wilayah ini struktur tanahnya rendah dibanding dengan daerah-daerah lainnya, maka jika musim penghujan, lahan pertaniannya tidak dapat ditanami padi karena banjir dan jika musim kemarau, lahan pertaniannya kering, sehingga dengan sendirinya masyarakat di daerah ini lebih suka bercocok tanam-tanaman palawija dibandingkan dengan menanam padi.
Berbagai tanaman palawija yang ditanam di daerah ini, hanya palawija jenis tanaman kacang-kacangan yang paling baik dan menghasilkan dibandingkan dengan jenis tanaman palawija lainnya. Oleh karena daerah ini merupakan daerah penghasil kacang-kacangan terbesar di daerah sekitarnya, maka untuk memudahkan penyebutan nama daerah ini oleh Among Jiwo diberi nama dukuh Kacangan/Pekacangan.
Dukuh Pekacangan/Kacangan sebenarnya tidak hanya seluas seperti keadaan yang sekarang ini, akan tetapi dahulu menyatu dengan daerah yang berada di sebelah barat aliran sungai Sragi atau sampai dengan sungai kecil (blok Temiyang). Oleh karena aliran sungai Sragi bergeser/pindah ke sebelah barat, maka daerah yang terpotong oleh aliran sungai Sragi yang baru, sebagian wilayah Kacangan sekarang masuk wilayah dukuh Jagalan Kidul (blok Temiyang).
Seiring dengan perkembangan jaman dan pemerintahan, karena dukuh Pekacangan/ Kacangan wilayahnya tidak luas dan penduduknya tidak banyak dan secara geografis lebih dekat dengan dukuh Bandaran , maka wilayah ini sekarang masuk menjadi wilayah dukuh Bandaran.

4.      Terjadinya Nama Dukuh Panggang.
 Setelah masyarakat desa Rowosari mendapat “sinar terang” dari Among Jiwo, maka masyarakatnya mempunyai kegiatan/pekerjaan untuk penghidupan yang berbeda-beda, ada yang bertani ada juga yang berdagang. Masyarakat/penduduk yang bermukim di dukuh Bandaran dan disebelah utaranya karakter jiwanya lebih cenderung ke jiwa bisnis/dagang meskipun ada pula yang berjiwa petani atau kedua-duanya, namun lebih kuat ke jiwa bisnis/dagang dibanding dengan jiwa bertani atau jiwa kaum priyayi (pegawai), dan pada umumnya mereka lebih cenderung berbisnis/berdagang ke dunia hasil perikanan.
Dengan penuh kesabaran Among Jiwo memberi penyuluhan/pelatihan di samping ilmu agama, juga ilmu bagaimana caranya menglola ikan agar dapat menghasilkan uang dan keuntungan, apakah dengan cara direbus (pindang), apakah digoreng dan apakah dipanggang? Sebagaian besar masyarakatnya telah mencoba mengelola ikan sebagaimana yang diajarkan oleh Among Jiwo atau para santrinya, akan tetapi yang paling banyak disukai oleh masyarakat sekitar adalah mengelola ikan dengan cara dipanggang (dibakar/ diasapkan), selain yang digoreng atau direbus (pindang) atau dibuat ikan asin, semuanya jika dijual sangat menguntungkan. Oleh karena sebagian besar masyarakatnya kaum pedagang ikan panggang, maka untuk memudahkan penyebutan nama daerah itu oleh Among Jiwo diberi nama Dukuh Panggang. 
Pengertian kata Panggang adalah cara memasak sesuatu yang dimasakkan dengan cara dikeringkan diatas api, terutama ikan, sehingga pengertian dukuh Panggang adalah suatu tempat atau daerah atau wilayah dimana mayoritas warganya berbisnis/berdagang ikan panggang, sehingga daerah tersbut dinamakan daerah dukuh Panggang.
Dukuh Panggang terbagi dari beberapa tempat, yaitu :
a.       Jaratan artinya kuburan/ makam/kramatan, dahulu didaerah tersebut terdapat/ada kuburan.
b.      Pleseran dari kata plisir artinya pinggiran atau mleser artinya  tempat yang tanahnya miring/menikung/belok secara perlahan, sehingga kata pleseran mengandung pengertian tempat atau daerah pinggiran yang tanahnya miring dan berbelok secara perlahan.
c.       Sumur artinya perigi, dahulu di daerah tersebut ada sebuah sumur/perigi yang terkenal dan airnya tidak pernah habis meskipun dimanfaatkan oleh masyarakat.
d.      Wonoroto artinya hutan yang rata/datar, yaitu sebidang tanah yang ditumbuhi oleh pepohonan yang sangat banyak dan lebat, dimana permukaan tanahnya datar atau rata/tidak berbukit-bukit.
e.       Gatak artinya tanah darat yang agak tinggi ditepi sawah (tanah benteng yang lebar) yang tidak ditanami padi, bisanya ditanami palawija.
f.       Ngideran :
asal  kata ider artinya keliling, diideri artinya dilingkari,  dinamakan ngideran, karena di daerah tersebut merupakan persawahan yang mengeliling / melingkarai perkampungan.
g.      Keweden dari kata :
o   Wedi atau weden artinya takut.
o   Sehingga kata Keweden mengandung pengertian : ketakutan.



5.      Terjadinya Nama Dukuh Candi
Sebagian besar masyarakatnya kehidupannya bercocok tanam/tani. Sebagaimana masyarakat di sekitar Rowosari pada waktu itu (sebelum Among Jiwo datang) agama atau kepercayaan yang mereka anut masih mengikuti nenek moyangnya atau agama Hindu-Budha atau aliran kejawen. Seperti telah diuraikan di depan, bahwa  menurut ceritera/mitos, tempat tersebut dahulunya akan dibangun sebuah candi, dimana pembangunannya harus dapat terselesaikan dalam satu malam sebelum ayam berkokok dan sebelum orang bangun dari tidurnya (seperti ceritera kisah  Pronocitro dan Rorojonggrang/kisah pembangunan Candi Prambanan), namun memasuki 2/3 malam pembagunan candi yang diprediksikan pada pagi hari akan menjadi candi yang megah dan indah, seketika itu harus dihentikan dan pembangunan candi menjadi gagal.
Dengan hadirnya Among Jiwo di daerah Tenggulun (sekarang jl. Among Jiwo) yang menyebarkan ajaran agama Islam diberbagai kawasan di sekitarnya, maka dengan penuh kesabaran dan saling menghormati antar warga masyarakat, Among Jiwo banyak mendapat simpatik dari warga di daerah ini dan banyak pula yang akhirnya mengikuti jejak Among Jiwo untuk memeluk agama Islam.
Untuk memudahkan pemberian nama wilayah dengan nama wilayah lainnya, atas kesepakatan berasama antara Among Jiwo dan masyarakat sekitarnya, maka  wilayah ini dinamakan Dukuh Candi.
Candi artinya batu yang disusun yang digunakan untuk tempat ibadah/kuburan.

6.      Terjadinya Nama Dukuh Keweden
Perjalanan Among Jiwo dan para santrinya dalam mengembangkan/siar agama Islam banyak mengalami tantangan dan rintangan dari orang-orang yang ketika itu belum mengenal agama, sehingga kehadiran Among Jiwo yang memperoleh banyak dukungan masyarakat memeluk agama Islam menjadikan mereka marah dan memberontak Among Jiwo dan pengikutnya, mereka melakukan penyerangan ke padepokan/pondok pesantren milik Among Jiwo.
Karena merasa tidak nyaman dan tidak aman dengan adanya penyerangan tersebut, maka Among Jiwo dan para santrinya ketakutan dan menyelamatkan diri ke arah timur dengan berjalan mengikuti aliran sungai, lalu ke arah utara, dan berdiam diri di suatu tempat yang dianggapnya lebih aman dan lebih nyaman.
Setelah beberapa waktu berada di tempat ini, maka di daerah ini mulai dibuatlah beberapa rumah tempat tinggal. Oleh karena ketika itu Among Jiwo dan pengikutnya merasa ketakutan, maka dengan santai Among Jiwo menyatakan untuk memudahkan dan mengenal nama daerah tersebut dinamakan Dukuh Keweden. Keweden yang dalam bahasa Indonesia artinya ketakutan.

7.      Terjadinya Nama Dukuh Pejaten
Masih merasa belum aman, Among Jiwo dan para santrinya untuk mengamankan/ menyelamatkan diri. Mereka hidupnya selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, namun demikian Among Jiwo tetap menyebarkan ajaran agama Islam.
 Untuk mengamankan diri dan menyebarkan ajaran agama Islam inilah Among Jiwo dan para santrinya bersembunyi di hutan jati. Oleh karena daerah ini adalah wilayah yang banyak tumbuhan/pepohan jati, maka oleh Among Jiwo daerah ini dinamakan Pejaten yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah hutan jati.
Menurut ceritera daerah ini dahulu pernah ada pohon jati yang sangat besar dan setelah ditebang, bagian bogolan-nya digunakan oleh masyarakat sekitar untuk “panggung arena sabung ayam”.
Namun setelah kehadiran Among Jiwo diwilayah ini, permainan sabung ayam secara bertahap dapat dihilangkan, dengan tidak mencederai perasaan hati masyarakat diwilayah ini.

8.      Terjadinya Nama Dukuh Pangkah
Belum selesai perjalanan Among Jiwo dalam menyebarkan agama Islam, demikian pula orang-orang yang tidak pro dengan Among Jiwo masih selalu mengejar untuk menghentikan perjuangan Among Jiwo. Oleh karena itu Among Jiwo dan para santrinya melanjutkan perjuangannya bergeser lagi ke arah utara dan memerintahkan kepada para santrinya untuk dipecah menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu :
a.       Kelompok pertama yang terdiri dari istri Among Jiwo (Among Sari) dan santriwati/santri peermpuannya,
b.      Kelompok kedua Among Jiwo dan santri laki-laki.
Di daerah ini Among Jiwo membuat strategi dengan  membuat dua arah jalan, yaitu kelompok pertama berjalan menuju ke timur (sekarang Desa Samong) dan yang kelompok kedua berjalan menuju ke arah barat (untuk kembali ke Tenggulun/Trenggulun).
Langkah inilah yang dikenal sekarang dengan nama : Pangkah dari kata :
a.       Pang artinya : cabang.
b.      Kah dari singkatan kata : langkah.
Sehingga kata Pangkah mengandung pengertian ngepange langkah atau membuat langkah menjadi bercabang/berpisah. (letaknya di desa Samong atau sekitar Candi Baru).

9.      Terjadinya Nama Desa Samong
Karena di Tenggulun/Trenggulun merasa belum aman, maka Among Jiwo beserta keluarga dan para santrinya bertempat tinggal tetap di daerah ini sembari menyebarkan ajaran agama Islam.
Sebagaimana kisah di atas, bahwa Among Jiwo adalah orang yang diutus untuk pergi belajar ilmu agama (Islam) di Kesultanan Banten/ekspansi ke Banten, akan tetapi ternyata tidak sampai di tujuan dan terdampar di Kaliprau lalu menetap di Rowosari, maka dicarilah Among Jiwo oleh utusan dari Kesultanan Demak yang dari Banten. Ketika utusan tersebut sampai di Rowosari, beliau menanyakan tentang keberadaan Among Jiwo atau keluarganya kepada masyarakar/warga yang ditemuinya, terjadilah suatu dialog :
Utusan             : apakah bapak tahu tempat tinggal Syeh Among ?
Warga              : saya tahu, beliau ada di sana di desa sebelah, bapak mau kesana?
Utusan             : Ya, saya mau ke Syeh Among.
(lalu utusan tersebut diantar oleh warga setempat ke rumah keluarga Among Jiwo).
Namun utusan tersebut hanya bertemu dengan Among Sari (istri Among Jiwo) dan tidak berjumpa dengan  Among Jiwo karena sudah meninggal dunia. Lalu utusan tersebut menanyakan kepada Among Sari :
Utusan             : theng pundi Among Jiwo dipun sareaken? (di mana Among Jiwo dimakamkan?)
Among Sari     : theng kulon (=di barat;  maksudnya  Among  Jiwo  telah     dimakamkan di sekitar padepokan/pondok pesantrennya di   Desa Rowosari).
Penyebutan Syeh Among inilah yang kemudian oleh warga masyarakat pada waktu itu menjadi kata Samong, dan hingga sekarang nama tersebut telah diabadikan dan dijadikan salah satu nama sebuah desa di Kecamatan Ulujami, yaitu Desa Samong dan kata Theng Kulon inilah kemudian menjadi Thenggulon/Tenggulun atau Trenggulun.
Bukti sejarah kalau Among Jiwo pernah bertempat tinggal di Desa Samong adalah adanya makam istri Among Jiwo yang bernama Among Sari yang dimakamkan di desa tersebut (sekarang letaknya dipinggir jalan arah masuk desa Samong).
Kapan hari kelahiran dan hari wafat Among Jiwo, sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti, kecuali bahwa beliau dimakamkan dipemakaman Tenggulun/Trenggulun yang terletak di RT.06/RW.01 Dukuh Bong Desa Rowosari, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang.
















BAB V
PEMERINTAH DAN PENGUASA

A.    Periodesasi Pemerintah Dan Penguasa
Berdasarkan data-data yang telah berhasil penulis kumpulkan dan disajikan pada bab-bab terdahulu, maka di daerah/Desa Rowosari terdapat lebih dari satu masa pemerintahan dan satu masa jabatan penguasa. Oleh karena itu penulis mencoba menyajikan periodesasi sejarah Desa Rowosari sebagai berikut :
a.      Babakan Masa Kuno.
Babakan masa ini relatif sangat sulit untuk ditentukan kapan masa tahun pemerintahannya. Berdasarkan benda-benda arkeologi yang ditemukan, maka dapat dipastikan masa pada waktu itu adalah masa sebelum kerajaan Islam pertama (kerajaan Demak) berdiri tahun 1475-1518.

b.      Babakan Masa Tengah.
Babakan pada masa ini penulis mencoba memulai dari hadirnya Among Jiwo di Rowosari dengan membawa ajaran agama Islam, mulai abad ke XVI, tepatnya antara tahun 1475-1518 atau setelah tahun tersebut, yaitu zaman kerjaan Demak yang diteruskan oleh kerajaan-kerajaan Jawa-Islam berikutnya, Pajang Mataram, Surakarta dan Kartasura yang masih mempertahankan tatanan tradisi kejawen yang sudah disesuaikan dengan ajaran agama Islam.
Babakan masa tengah ini, antara pemerintahan yang dijabat oleh Among Jiwo selaku pemimpin rakyat/Lurah ketika itu dengan kepemimpinan berikutnya terdapat satu gaps/jarak yang sangat jauh dan Penulis belum menemukan data-data maupun cerita untuk itu.
Namun sebelum jabatan Lurah/Kepala Desa yang dijabat oleh Mashudi, di Desa Rowosari pernah terbagi menjadi 2 (dua) wilayah desa, yaitu :
1.      Meliputi dukuh Bong, Jagalan dan Bandaran, menjadi satu desa dengan seorang Lurah/Kepala Desa.
2.      Meliputi dukuh Candi, Pejaten dan Panggang, Keweden menjadi satu desa dengan seorang Lurah/Kepala Desa.
Namun hingga sekarang penulis belum mendapatkan/menemukan siapa sebenarnya nama ke 2 (dua) Lurah/Kepala Desa Rowosari tersebut.
Berdasarkan data yang penulis peroleh baru terbatas pada masa  Luarah/Kepala Desa Rowosari :
1.      Mashudi, memerintah/menjabat dari tahun 1918 sampai dengan 1933 (jaman Belanda), yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang adalah : Kanjeng Raden Tumenggung Sundoro Suro Adi Kusumo, memerintah tahun 1907-1938 (disebut juga Kanjeng Sepuh).

2.      Mochadi, memerintah/menjabat dari tahun 1934 sampai dengan 1945 (jaman Jepang), yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang adalah :
a.       Kanjeng Raden Tumenggung Raharjo Suro Adi Kusumo, memerintah tahun 1938-1944.
b.      Pangat, tokoh pemberontak tiga daerah, memerintah tahun 1945-1946 (tidak ada satu tahun).
Pada periode ini :
Kepada Desa/Lurah    : Mochadi.
Sekretaris Desa/Carik  : Musta’am.
Pada masa babakan ini pesta demokrasinya masih sangat unik dan demokratis, karena hak pilih/pemilih dalam memberikan hak suaranya hanya menggunakan bithing (lidi) yang dimasukkan ke dalam bumbung (bambu yang dipotong dan diberi lubang kecil/seperti kentongan) sesuai dengan pilihannya.
Pusat pemerintahan/kantor balai desanya pada saat ini selalu mengalami perpindahan dari satu tempat ketempat lainnya, yaitu tergantung siapa yang menjadi Lurah/Kepala Desa, karena balai desa pada waktu itu selalu berada di rumah atau di tempat tinggal Lurah/Kepala Desa yang terpilih/jadi.
Adapun tempat/kantor balai desa ketika itu adalah di rumah :
1.    Mashudi, balai desanya di daerah Kauman/sekarang rumah Bpk. Abdul Hakim,
2.    Mochadi, balai desanya di daerah Trenggulun/sekarang rumah penulis.

c.       Babakan Masa Baru.
Masa ini Penulis sebut masa babakan baru, karena jabatan Lurah/Kepala Desa pada masa ini dimulai setelah kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Adapun penguasa pada masa ini adalah :
1.      Mustaam, memerintah menjabat dari tahun 1945 sampai dengan 1949, yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang adalah :
a.       Pangat, tokoh pemberontak tiga daerah, memerintah tahun 1945-1946 (tidak ada satu tahun).
b.      Kyai Makmur, tokoh Hisbullah, karena berhasil menumpas pemberontak ditiga daerah di Pemalang, diangkat atau dipilih oleh rakyat menjadi bupati tahun 1946-1947 (kurang dari satu tahun).
c.       Mochtar, memerintah tanggal 1 Desember 1949 sampai tanggal 1 Mei 1952.

2.      Karnadi, memerintah/menjabat dari tahun 1949 sampai dengan 1951 (jaman Recomba = Regeerings-Comissaris voor Bestuursaangelegen Heden / Aksi Militer Belanda ke-2), yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang adalah  Mochtar, memerintah tanggal 1 Desember 1949 sampai tanggal 1 Desember 1952.

3.      Musta’am, memerintah/menjabat dari tahun 1952 sampai dengan 1961, yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang adalah :
a.       Raden Sumardi Tirto Soedirjo, 1952 - 1960.
b.      R. Soemartojo, 1960-1967.
Pada periode Must’am, Karnadi dan Musta’am, penulis belum mendapat data siapa sekdes/cariknya.

4.      Durahman, memerintah/menjabat dari tahun 1962 sampai dengan 1965, yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang adalah :
R. Soemartojo, 1960-1967.
Pada periode ini :
Kepala Desa/Lurah     : Durahman.
Sekretaris Desa/Carik  : Darto.           

5.      Abdul Hadi, memerintah/menjabat dari tahun 1967-1984, yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang adalah :
a.       Drs. Rifai Yoesoef, 1967-1972.
b.      Drs. Soewarto, 1972-1974.
c.       Drs. Soedarmo, 1974-1975.
d.      Slamet Haryanto, BA, 1980-1991.
Pada periode ini :
Kepala Desa/Lurah     : Abdul Hadi.
Sekretaris Desa/Carik  : Ta’ali.
Kaur Pem        : Wasian.
Kaur umum     : Tarekat.
Lebe                            : H. Anwar.
Kadus Bong                : Warnadi.
Kadus Bandaran         : Wastari.
Kadus  Candi              : Sumaryo.
Kadus Jagalan             : Mulyo.
Kadus Panggang         : Tarjani.

Periode masa jabatan Lurah/Kepala Desa pada waktu itu belum dibatasi seperti saat sekarang ini, pemilihan Lurah/Kepala Desa dilaksanakan apabila Lurah/Kepala Desa meninggal dunia atau mengundurkan diri atau adanya pergantian pemerintahan (politik), bentuk pemilihannya sudah berubah dengan menggunakan kartu suara dan sudah tidak seperti pemilihan Lurah/Kepala Desa sebelumnya, yaitu masih menggunakan bithing/lidi sebagai kartu/hak suara dan bumbung sebagai kotak suara.
Baru pada tahun 1979 terbit  UU No. 5 Tahun 1979 yang mengatur mengenai masa jabatan Kepala Desa/Lurah selama 8 (delapan) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya sebagai Kepala Desa, namun usia pendaftaran calon Kepala Desa dibatasi yaitu maksimum 60 tahun.
Berikut Kepala Desa yang masa jabatannya selama 8 (delapan) tahun, dan dapat mencalonkan diri lagi sebagai Kepala Desa, adalah :
6.      Goenadi, memerintah/menjabat dari tahun 1985 sampai dengan 1993, yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang adalah :
a.       Slamet Haryanto, BA, 1980-1991.
b.      Drs. Soewartono, 1991-1996.
Pada periode ini :
Kepala Desa    : Goenadi.
Sekdes             : Bambang Sugeng
Kaur Pem        : Wasian.
Kaur Umum    : Tarekat.
Lebe                : Abul Ghofur.
Kadus Bong    : Warnadi.
Kadus Bandaran         : Wastari.
Kadus Candi               : Sumaryo.
Kadus Jagalan             : Mulyo.
Kadus Panggang         : Tarjani.

7.      Abdul Ghofur, memerintah/menjabat dari tahun 1993 sampai dengan 2001, yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang adalah :
a.       Drs. Soewartono, 1991-1996.
b.      Drs. H. Munir, 1996-2001.
c.       HM. Machrus, SH., 2001-2006.
Pada periode ini :
Kepala Desa    : Abdul Ghofur.
Sekdes             : Bambang Sugeng.
Kaur Pem        : Wasian.
Kaur Pemb      : Kisnoyo.
Kaur Umum    : Amat Aidin.
Kaur Kesra      : Mustofa.
Kadus Bong                : Priyono.
Kadus Bandaran         : Wastari.
Kadus Candi               : Jaeri.
Kadus Jagalan             : Heru.
Kadus Panggang         : Sa’ban.                                             
Pada tahun 2001 terbit Peraturan Daerah Kabupaten Pemalang yang mengatur mengenai masa jabatan Kepala Desa selama 10 (sepuluh) tahun, namun Kepala Desa terpilih/yang jadi tidak dapat mencalonkan diri lagi sebagai Kepala Desa pada periode berikutnya dan usia calon Kepala Desa maksimum 57 tahun.
      Kepala Desa yang masa jabatannya 10 (sepuluh) tahun dan tidak dapat mencalonkan diri lagi sebagai Kepala Desa, adalah :
8.      H.M. Edi Sutanto,
memerintah/menjabat dari tahun 2002 sampai dengan 2012, yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang adalah :
a.       HM. Machroes, SH., 2001-2011 (dua periode).
b.      HM. Junaedi, SH, MM., 2011 – sekarang.
Pada periode ini :
Kepala Desa    : Edi Sutanto.
Sekdes             : Bambang Sugeng.
Kaur Pem        : Agus Subekti.
Kaur Pemb      : Kisnoyo.
Kaur Umum    : Amat Aidin.
Lebe                : Mustofa (meninggal)
                          Slamet Nur Salim
Polisi Desa      : Ismail.
Kadus  Bong               : Priyono.
Kadus Bandaran         : Maliki.
Kadus Candi               : Jaeri.
Kadus Jagalan             : Heru.
Kadus Panggang         : Sa’ban.

Pada tahun 2006 terbit Peraturan Daerah Kabupaten Pemalang Nomor 18 Tahun 2006  yang mengatur mengenai masa jabatan Kepala Desa selama 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya  untuk waktu satu kali masa jabatan berikutnya.

Berikut penulis sampaikan  mengenai keberadaan tempat Kantor Balai Kelurahan/Balai Desa Rowosari. Pada masa ini pusat pemerintahan awal masih Kantor Balai Kelurahan/Balai Desa masih berada di rumah Lurah/Kepala Desa, yaitu :
1.      Mustaam, di Candi/sekarang rumah Bpk. H. Miftah Candi.
2.      Karnadi, di Bong Ploso/sekarang rumah Bpk. Tanto H. Rasidi,
3.      Musta’am, pernah di candi/sekarang rumah Bpk. H. Maskuri, kemudian pindah di Bandaran/sekarang rumah orang tua Bpk. Lebe Slamet Nursalim,
4.      Durahman, di Bandaran/sekarang rumah Bpk. Mustofa/sebelah barat sungai Sragi. 
5.      Abdul Hadi, awal menjabat balai desanya di sekitar pasar Ulujami (1966-1970-an), kemudian kantor balai desa pindah di Panggang/sekarang rumah Ibu Hj. Minati /sebelah selatan Muholla Panggang, baru pada sekitar tahun 1979-1980an pusat pemerintahan/balai desanya menetap/ pindah di jalan raya Daendeles/jalan raya Ulujami (sekarang balai desa lama).
6.      Goenadi, menggunakan balai desa di  jalan raya Ulujami (balai desa lama).
7.      Abdul Ghofur, menggunakan balai desa di jalan raya Ulujami (balai desa lama).
8.      Edi Sutanto, di balai desa lama (di jalan raya Ulujami), kemudian oleh Edi Sutanto, pada bulan Januari 2010 balai desa dipindah ke dukuh Pejaten (balai desa baru) hingga sekarang.

Dari pengamatan penulis selama ini Lurah/Kepala Desa yang terpilih/jadi adalah orang yang memilik rumah/tempat tinggal menghadap ke Selatan atau menghadap ke Utara :
1.      Mashudi, rumahnya menghadap ke utara jalan (sekarang ditempati oleh Bpk. Abdul Hakim/prapatan kauman, dukuh Jagalan Lor),
2.      Mochadi, rumahnya menghadap ke selatan jalan (sekarang rumah keluarga penulis, Jl. Among Jiwo dukuh Bong),
3.      Musta’am, rumahnya menghadap ke selatan jalan (sekarang rumah  Bpk. H. Maskuri, dukuh Candi) dan ke uatara jalan (sekarang di tempati orang tua Bpk. Lebe Slamet Nur Salim, dukuh Bandaran),
4.      Karnadi, rumahnya menghadap ke selatan (sekarang rumah Bpk. Tanto    H. Rasidi, dukuh Bong),
5.      Durahman, rumahnya menghadap ke selatan jalan (sekarang rumah Bpk. Mustofa Bandaran/sebelah barat sungai Sragi),
6.      Abdul Hadi, rumahnya menghadap ke utara jalan (sekarang jadi pasar Ulujami,  rumah Ibu Hj. Minati/sebelah selatan Mushola Panggang), kemudian pindah/ membangun rumah menghadap ke selatan jalan (sekarang rumah Wiluyo Jagalan Lor/jalan raya Ulujami),
7.      Goenadi, rumahnya menghadap ke selatan (sekarang ditempati istrinya/dibelakang BTM dukuh Bandaran),
8.      Abdul Ghofur, rumahnya menghadap ke utara (sekarang ditempati anak-anaknya, dukuh Candi)
9.      H.M. Edi Sutanto, rumahnya menghadap ke utara jalan (Panggang Sumur/jalan candi-keweden).

Demikianlah para penguasa daerah Desa Rowosari dan kantor balai desanya yang baru berhasil penulis sajikan, baik dengan data sandaran dongeng/cerita, arkeologis maupun data historis dan arsip-arsip yang berhasil dikompilasi.

B.     Lembaga Desa
1.      LSD adalah singkatan dari Lembaga Sosial Desa, suatu organisasi kemasyarakatan, yang didirikan dari, oleh dan untuk masyarakat yang bergerak dalam bidang kesejahteraan sosial. Status LSD bersifat non governmental dan non politik. LSD bukan organisasi pemerintah tetapi sepenuhnya milik masyarakat yang mendapat perlindungan, bimbingan dan pembinaan dari pemerintah. LSD lahir sebagai pengejawantahan dari rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial (output / produk bimbingan sosial) dari masyarakat yang telah merindukan adanya kesejahteraan sosial bagi mereka.[31]
Keberadaan LSD di Desa Rowosari dibentuk setelah diresmikannya lembaga tersebut oleh Bupati Pemalang pada tanggal 5 Mei 1952, namun penulis hingga sekarang belum mendapatkan data tentang siapa nama ketua atau pengurus LSD pada waktu itu.

2.      Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dibentuk bedasarkan UU No.28 Tahun 1980, yang berfungsi sebagai koordinator pelaksanaan proyek pembangunan desa. Sebelum bernama LKMD  lembaga ini bernama Lembaga Sosial Desa (LSD).
Di Desa Rowosari LKMD pada waktu itu yang penulis ketahui sebagai pengurus atau ketua adalah  Bapak Nuchat, BA., yang menjabat cukup lama. Setelah era reformasi (1998) dengan berdasar pada UU No. 22 Tahun 1999, LKMD berubah menjadi LPMD, yang diketuai oleh Bpk. Djamzuri hingga sekarang.

3.      Lembaga Musyawarah Desa (LMD) adalah lembaga permusyawaratan/ permufakatan yang keanggotaannya terdiri dari Kepala-kepala Dusun, Pimpinan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan dan Pemuka-pemuka Masyarakat di desa yang bersangkutan. Karena jabatannya Kepala Desa sebagai ketua, sedangkan Sekdes sebagai sekretarisnya.
Lembaga ini dibentuk berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa.
Dengan berlakunya UU No.22 Tahun 1999, maka Lembaga Musyawarah Desa (LMD) ditiadakan dan diganti dengan lembaga yang bernama Badan Perwakilan Desa (BPD).

4.      Badan Perwakilan Desa (BPD) dibentuk berdasarkan UU No.22 Tahun 1999. Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Masa kerja Badan Perwakilan Desa (BPD) Desa Rowosari selama 5 (lima) tahun, sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2006, dengan susunan pengurus sebagai berikut :
Ketua              : Aji Sudarmaji, SH.
Wakil Ketua    : KH. Turmudzi, Ama.
Wakil Ketua    : Mustakim.
Anggota :
a.       Minarsih, Ama.Pd.
b.      Farina.
c.       Erna Murniati.
d.      Nuchat, BA.
e.       Ruyadi, S.Pd.
f.       A. Saefulloh, S.Ag.
g.      Masudin.
h.      Khaerudin.
i.        Fachrozi.
j.        M. Toha.
Sekretaris        : Doni Kumayas.
Bendahara       : Sukamto.
Antar waktu    : Khaerudin, S.Ag. menggantikan Nuchat, BA.

5.      Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dibentuk berdarkan UU No32 Tahun 2004. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Angaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa. Di desa di bentuk lembaga ke masyarakatan yang berkedudukan sebagai mitra kerja Pemerintah Desa dalam memberdayakan masyarakat desa.
Masa kerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Rowosari selama 5 (lima) tahun, sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2012, dengan susunan pengurus sebagai berikut :
Ketua              : Drs. H. Nur Hanif.
Wakil Ketua    : Kisbantoro.
Sekretaris        : Heri A. Riyanto, S.Pd
Bendahara       : A. Kholik, SE.
Anggota :
a.       Rofiq Edy.
b.      Edi Mulyono, S.HI.
c.       A. Saefulloh, S.Ag.
d.      Nasori, S.Ag.
e.       Khahar Muzakar.
f.       Eko Apriyono.
g.      Murito.

6.      PKK
PKK pada awalnya merupakan singkatan dari Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (1961). Gerakan PKK di masyarakat berawal dari kepedulian Isteri Gubernur Jawa Tengah pada tahun 1967, Ibu ISRIATI MOENADI, setelah melihat keadaan masyarakat yang menderita busung lapar. Pada awalnya program PKK adalah 10 segi pokok PKK. Kemudian pada tanggal 27 Desember 1972 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Kawat Nomor Sus 3/6/12 kepada Gubernur KDH Tk.I Jawa Tengah dengan tembusan Gubernur KDH seluruh Indonesia , agar mengubah nama Pendidikan Kesejahteraan Keluarga menjadi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga. Sejak itu Gerakan PKK dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan nama Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan tanggal 27 Desember ditetapkan sebagai “Hari Kesatuan Gerakan PKK” yang diperingati setiap tahun.[32]
Pada perkembangan selanjutnya sesuai dengan Era Reformasi dan GBHN 1999 adanya paradigma baru pembangunan serta Otonomi Daerah berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999, maka Tim Penggerak PKK Pusat telah menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional Luar Biasa PKK pada tanggal 31 Oktober sampai dengan 02 Nopember 2000 di Bandung, yang menghasilkan pokok-pokok kesepakatan antara lain : Pembinaan Kesejahteraan Keluarga menjadi Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga, disingkat PKK.[33]
PKK adalah suatu gerakan pembangunan yang tumbuh dari bawah, dikelola oleh, dari dan untuk masyarakat menuju terwujudnya keluarga yang sejahtera.
PKK adalah lembaga sosial kemasyarakatan yang independen non profit dan tidak berafiliasi kepada suatu partai politik tertentu.
Kepengurusan PKK untuk jabatan ketua dan sekretaris secara otomatis melekat pada istri kepala desa dan istri sekretaris desa.
Di Desa Rowosari untuk ketua dan sekretrais PKK yang penulis ketahui adalah :
a.       periode 1967-1984
Ketua        : Ibu Abdul Hadi.
Sekretaris  : Ibu Ta’ali.
b.      Periode 1985-1993
Ketua        : Ibu Goenadi.
Sekretaris  : Ibu Bambang Sugeng.
c.       Periode 1993-2001
Ketua        : Ibu Abdul Ghofur.
Sekretaris  : Ibu Bambang Sugeng.
d.      Periode 2002-2012
Ketua        : Ibu Edi Sutanto.
Sekretaris  : YusiSlamet Nur Salim.
e.       Periode 2012-2018
Ketua        :
Sekretaris  :

7.      Karang Taruna
Cikal bakal Karang Taruna di Desa Rowosari pertama kali penulis bentuk pada tahun 1985 dengan nama PKK Remaja, dengan jumlah awal anggota sebanyak 23 orang remaja putra-putri yang terdiri dari remaja 5 (lima) pedukuhan (Bong, Jagalan, Bandaran, Candi dan Panggang), yang kemudian dalam perjalannya jumlah anggota mencapai 150 orang remaja. Kegiatan PKK Remaja pada waktu itu, meliputi : rapat pertemuan rutin tiap 15 hari (1/2 bulan) sekali yang dilaksanakan pada hari Sabtu atau Minggu sore; bidang olah raga : volley, sepak takraw, bulu tangkis; bidang kesenian : musik, drama, puisi, teater dan selalu mengadakan lomba-lomba serta pentas seni pada setiap acara 17-an, selain daripada itu adanya bakti sosial ke masyarakat setiap hari Jumat kliwon.
Susunan pengurus PKK Remaja pada waktu itu :
Ketua              : Aji Sudarmaji
Wakil Ketua    : Nurmawati.
Sekretaris        : Nuning Isnaeni.
Bendahara       : Mursih.
Kemudian pada tahun 1987 penulis mundur dari kepengurusan, yang ketika itu dijabat oleh :
Ketua              : Sukardi.
Sekretaris        : Sumarto.
Bendahara       : Sumedi.
Kepengurusan ini ternyata gagal dan bubar tidak lebih dari 3 bulan.
Kemudian pada awal tahun 1990, Kepala Desa pada waktu itu (Bpk. Goenadi) meminta kepada penulis untuk membentuk Karang Taruna lagi, dan terbentuk dengan kepengurusan :
Ketua              : Aji Sudarmaji.
Wakil Ketua    : Furqoni.
Sekertaris        : Sri Suhartati.
Bendahara       : Nur Wijayanti.
Karang Taruna Desa Rowosari pada waktu itu penulis beri nama “Mudha Sembadha”. Perjalanan karang taruna dibawah kepemimpinan penulis kegiatannya tidak jauh berbeda dengan masa tahun 1985-1987.
Dalam kurun waktu tahun 1990 sampai dengan tahun 1994, di bawah kepengurusan Karang Taruna tingkat desa, maka  dibentuk kepengurusan karang taruna di tingkat dukuh, yaitu :
1.      Dukuh Bong, dengan nama Tunas Remaja, yang diketuai oleh Priyono.
2.      Dukuh Bandaran, dengan nama Pakar Mudha, yang diketuai oleh Amat Aidin
3.      Dukuh Candi, dengan nama Tunas Karya, yang diketuai oleh Wakif.
Sedangkan Dukuh Jagalan dan Dukuh Panggang belum sempat penulis bentuk, hal ini disebabkan pada tahun 1994 penulis mengundurkan diri karena sudah berkeluarga dan menurut penulis pada waktu itu perlu adanya regenerasi kepengurusan Karang Taruna “Mudha Sembadha”.
Untuk regenerasi, maka dibentuk kepengurusan karang taruna yang baru, dengan Ketua Furqoni dan Sekretaris Ali Soli, namun kepengurusan ini hanya berjalan 1 (satu) tahun sampai tahun 1995.
Setelah adanya Kepala Desa Rowosari yang baru (Edi Sutanto), penulis meminta agar dibentuk karang taruna di Desa Rowosari, maka pada tahun 2003 dibentuklah kepengurusan karang taruna :
Ketua              : Edi Mulyono.
Sekretaris        : Amir Cholis
Bendahara       : Nur Kholifah.
Namun pada tahun 2004/2005 kegiatan karang taruna tersebut sudah tidak aktif lagi hingga sekarang.

8.      Organisasi Keagamaan
Organisasi keagamaan yang tertua dan terbesar di Desa Rowosari adalah organisasi keagamaan Nahdatul Ulama (NU) yang mempunyai organisasi yang bernaung dibawahnya (underbow) seperti Fatayat, Muslimat, GP.Ansor, IPNU, IPPNU, dengan jumlah anggotanya hampir 2/3 penduduk Desa Rowosari.
Selain organisasi keagamaan NU, organisasi keagamaan yang lain adalah Muhammadiyah (MD) yang mempunyai organisasi yang bernaung dibawahnya (underbow) seperti Pemuda Muhammadiyah, Naisyatul Aisiyah (NA), Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM),   dengan jumlah anggotanya hampir 1/3 penduduk Desa Rowosari.
Sedangkan organisasi keagamaan yang non muslim (kristen dan yang lainnya) di Desa Rowosari tidak tampak.

9.      Organisasi Politik
Masyarakat Desa Rowosari sebagaimana masyarakat lainnya tidak terlepas dari hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam menjalankan demokrasi hak politiknya.
Partai politik pada jaman sebelum kemerdekaan pada umumnya sebagai partai yang bersifat idiologis, yang mempunyai tujuan utama mewujudkan kemerdekaan.
Pada tahun 1939 di Hindia Belanda telah terdapat beberapa fraksi dalam volksraad yaitu Fraksi Nasional, Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi-Putera, dan Indonesische Nationale Groep. Sedangkan di luar volksraad ada usaha untuk mengadakan gabungan dari Partai-Partai Politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan nasional yang disebut Komite Rakyat Indonesia (K.R.I). Di dalam K.R.I terdapat Gabungan Politik Indonesia (GAPI), Majelisul Islami A'laa Indonesia (MIAI) dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI). Fraksi-fraksi tersebut di atas adalah merupakan partai politik - partai politik yang pertama kali terbentuk di Indonesia.
Selama Jepang berkuasa di Indonesia, kegiatan Partai Politik dilarang, kecuali untuk golongan Islam yang membentuk Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI).[34]
Penulis belum dapat mengungkapkan tentang kegiatan politik di Desa Rowosari sebelum kemerdekaan.
Dalam buku Kepartaian Indonesia yang diterbitkan oleh Kementrian Penerangan tahun 1951, dibuat klasifikasi partai politik dengan :
1.      Dasar Ketuhanan :
a.       Partai Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi).
b.      Partai Serikat Islam Indonesia (PSII).
c.       Pergerakan Tarbiyah Islam (Perti).
d.      Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
e.       Partai Katholik.

2.      Dasar Kebangsaan :
a.       Partai Nasional Indonesia (PNI).
b.      Persatuan Indonesia Raya (PIR).
c.       Partai Indonesia Raya (Parindra).
d.      Partai Rakyat Indonesia (PRI).
e.       Partai Demokrasi Rakyat (Banteng).
f.       Partai Rakyat Nasional (PRN).
g.      Partai Wanita Rakyat (PWR).
h.      Partai Kebangsaan Indonesia (Parki).
i.        Partai Kedaulatan Rakyat (PKR).
j.        Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI).
k.      Ikatan Nasional Indonesia (INI).
l.        Partai Rakyat Jelata (PRJ).
m.    Partai Tani Indonesia (PTI).
n.      Wanita Demokrat Indonesia.

3.      Dasar Marxisme :
a.       Partai Komunis Indonesia (PKI).
b.      Partai Sosialis Indonesia (PSI).
c.       Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak).
d.      Partai Buruh.
e.       Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai).

4.      Partai politik lain-lain :
a.       Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI).
b.      Partai Indo Nasional (PIN).
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
·         Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
·         Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.[35]
Di Desa Rowosari pada periode ini masyarkatanya banyak yang menjadi pengurus dan anggota partai politik. partai politik yang ada pada waktu itu adalah :
a.       Partai Nasional Indonesia,
b.      Partai Masyumi,
c.       Partai Nahdlatul Ulama,
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat.
Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia dan satu Golongan Karya.
Di Desa Rowosari pada periode pemilu tahun 1977, 1982, 1987 yang menjadi pemenang pemilu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan periode tahun 1992 dan 1997 yang menjadi pemenang adalah Golkar.
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Di Desa Rowosari pada periode ini yang menjadi pemenang pemilu adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Di Desa Rowosari Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.

C.    Pemerintahan Tingkat Kecamatan
Desa Rowosari merupakan desa-kota. Dikatakan desa-kota, karena Desa Rowosari merupakan sebuah desa yang terletak dipusat kota pemerintahan tingkat kecamatan. Keberadaan pusat kota pemerintahan tingkat kecamatan yang sekarang tentunya tidak sama dengan keberadaan pusat kota pemerintahan tingkat kecamatan pada waktu dulu, terutama mengenai letak kantor pemerintahannya.
Perlu kiranya penulis sampaikan dalam buku ini mengenai letak perkantoran tingkat kecamatan Ulujami pada waktu dulu, agar generasi mendatang dapat mengetahui secara jelas di mana letak  perkantoran tersebut sebelum seperti keadaan yang sekarang ini :
1.      Kantor Kecamatan pada jaman Belanda letaknya di KUD sekarang (sebelah selatan jalan raya Ulujami/dukuh Bong), setelah tahun 1965 atau sebelum tahun 1973 letaknya pindah di depan balai desa Rowosari lama  atau di sebelah selatan jalan raya Ulujami (sekarang Dealer Yamaha/Dukuh Jagalan Kidul), sedangkan Kantor Kecamatan yang sekarang, dibangun di atas tanah yang dulunya bekas kuburan orang cina/bong. Kantor Kecamatan pada waktu sebelum orde baru namanya bukan Kantor Kecamatan akan tetapi bernama Kantor Asistenan dan pejabatnya disebut Asisten Wedana (sekarang Camat);

2.      Kantor Koramil (Komando Rayon Militer) sebelum tahun 1980-an, letaknya di sebelah timur Toko Prayogo (sekarang Kantor BTM masuk dukuh Bandaran), sedangkan Kantor Koramil yang sekarang, dibangun di atas tanah bekas kuburan orang cina/bong. Kantor Koramil pada tahun 1950-an bernama Kantor Bintara Onder Distrik Militer (BODM), kemudian pada tahun    1960-an bernama PUTERPRA/BUTERPRA (Perwira/Bintara Urusan Teritorial dan Perlawanan Rakyat)[36];

3.      Markas/Kantor Polsek (Polisi Sektor) sebelum tahun 1990-an letaknya di sebelah barat Kantor Polsek sekarang (bangunan Klenteng baru).
Kantor Polsek sebelum tahun 1980-an bernama Markas/Kantor Komando Sektor (Komsek), pejabatnya disebut Dansek  (sekarang Kapolsek); Kantor Polsek pada waktu dulu menggunakan rumah/bangunan kuno milik orang etnis cina.

4.      Kantor Puskesmas sebelum tahun 1960-an namanya Klinik letaknya di lokasi Puskesmas seperti sekarang, namun bangunannya masih menggunakan rumah warga (milik orang etnis cina), kemudian setelah tahun 1960 pindah di sebelah barat Kantor Kecamatan/sekitar pos ojek, bangunan tersebut didirikan di atas tanah bekas kuburan orang cina/bong. Kemudian pada sekitar tahun 1980-an Kantor Puskesmas pindah lagi ke tempat/lokasi bangunan awal dengan mendirikan bangunan Puskesmas seperti yang sekarang dan banguannya diperluas. Lokasi Puskesmas yang sekarang dulunya tanah bekas bangunan gudang garam. Kantor Puskemas pada waktu dulu namanya Klinik, namun sebagian masyarakat menyebutnya krinit (maksudnya  Klinik), pimpinan/kepala kantornya pada tahun 1960-1970-an masih dijabat oleh seorang mantri kesehatan (Bpk. Haryono ayah dari Ibu Oktin).

5.      Kantor Urusan Agama (KUA) pada jaman Belanda disebut VOOR Islamistische Saken, kemudian pada jaman Jepang bernama Shumubu.[37]
Masyarakat Desa Rowosari pada waktu itu mengalami kesulitan untuk menyebut nama Kantor Urusan Agama dengan nama-nama asing tersebut, maka untuk memudahkanya masyarakat menyebut Kantor Urusan Agana (KUA) dengan nama Kopel (arti : rumah berpasangan; bergandengan/ saling berhubungan[38]), karena letaknya tepat di sebelah utara (bergandengan dengan) Masjid Jami Ulujami (sekarang rumah praktek bidan Hj. Rumaedah/dr. H. Abdurrahman), dan untuk pelaksanaan akad nikah dilakukan di Masjid Jami Ulujami. Orang yang telah melakukan akad nikah di Masjid  Jami’ pada waktu dulu selalu menyebut dirinya dengan istilah bahwa dirinya :  wis munggah batur duwur (sudah naik lantai teras yang tinggi artinya sudah menikah), karena Masjid Jami’ pada waktu dulu memang lantainya cukup tinggi. Kemudian tahun 1970-an pindah di rumah H. Nahrawi, karena beliau selaku Kepala KUA/Penghulu/Pengulu pada waktu itu (sekarang rumah Bpk. Abdul Hakim/ prapatan kauman). Baru setelah tahun 1974/1975  Kantor Urusan Agama (KUA) yang oleh masyarakat pada waktu itu menyebutnya dengan nama Kantor Penghulu/Pengulu pindah di Jl. Among Jiwo/dukuh Bong seperti yang sekarang  ini.



6.      Sekolah Dasar
Sekolah Dasar pada jaman Belanda ada beberapa macam :[39]
1.      ELS (Eurospeesch Lagere School) atau disebut juga HIS (Hollandsch Inlandsch School) sekolah dasar dengan lama studi sekitar 7 tahun. Sekolah ini menggunakan sistem dan metode seperti sekolah di negeri belanda.
2.      Sekolah Bumi Putera (Inlandsch School) dengan bahasa pengantar belajarnya adalah bahasa daerah dan lama study selama 5 tahun.
3.      Sekolah Desa (Volksch School) dengan bahasa pengantar belajar bahasa daerah sekitar dan lama belajar adalah 3 tahun.
4.      Sekolah lanjutan untuk sekolah desa (Vervolksch School) belajar dengan bahasa pengantarnya bahasa daerah dan masa belajar selama 2 tahun.
5.      Sekolah Peralihan (Schakel School) yaitu sekolah lanjutan untuk sekolah desa dengan lama belajar 5 tahun dan berbahasa belanda dalam kegiatan belajar mengajar.

Kemudian pada jaman Jepang Sekolah Dasar bernama Kokumin Gakko atau Sekolah Rakyat (SR). Kokumin Gakko berlangsung sepanjang pendudukan Jepang dari Maret 1942 sampai Agustus 1945, hanya tiga setengah tahun, namun dampaknya bagi dunia pendidikan sungguh luar biasa.[40]
Nama Sekolah Rakyat (SR) berlangsung sampai akhir jaman  orde baru, kemudian pada jaman orde baru (1970-an) Sekolah Rakyat (SR) berubah namanya menjadi Sekolah Dasar (SD) seperti sekarang ini.
Sekolah Dasar yang berada di Desa Rowosari pada jaman Belanda-Jepang merupakan satu-satunya sekolah dasar ditingkat kecamatan Ulujami. Sedangkan Sekolah Rakyat (SR) atau Sekolah Dasar (SD) di luar Desa Rowosari pada jaman Belanda-Jepang, waktu tempuh pendidikan hanya sampai kelas 5 saja, kemudian untuk kelas 6 dan kelas 7 atau untuk mendapatkan ijasah/tanda kelulusan harus menempuh pendidikan lagi selama 2 tahun di Sekolah Rakyat (SR) yang berada  di Sekolah Rakyat Rowosari (sekarang SD Negeri Rowosari 01).
Untuk melanjutkan pendidikan di tingkat SMP atau SMA pada jaman Belanda-Jepang harus ke Pekalongan. MULO Sekolah lanjutan tingkat pertama singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs dengan tingkatan yang sama dengan SMP/SLTP pada saat jika dibandingkan dengan masa kini. HBS (Hogere Burger School) yang merupakan sekolah lanjutan tinggi pertama untuk warga negara pribumi dengan lama belajar 5 tahun. AMS (Algemeen Metddelbare School) mirip HBS, namun setingkat SLTA/SMA.
Stovia (School Tot Opleiding Van Inlansche Artsen) yang sering disebut juga sebagai Sekolah Dokter Jawa dengan masa belajar selama 7 tahun sebagai lanjutan MULO.[41]

C.    Perkembangan Masyarakat
Salah satu ciri dari masyarakat adalah berkembang. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perkembangan dan perubahan sosial, misalnya datangnya penjajah/kolonialis dengan berbagai ciri kebudayaannya, sistem ekonomi, pola pendidikan, pola pemerintahan dan banyak hal lain yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari faktor-faktor indvidual yang berpengaruh dengan secara tanpa disadari mampu mempengaruhi individu lainnya.
Perkembangan masyarakat Desa Rowosari secara umum sudah mengalami perubahan dan peningkatan ke arah yang lebih baik, dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya, baik dalam bidang usaha, pendidikan, agama, politik, sosial budaya maupun dalam bidang pembangunan.
Jumlah penduduk Desa Rowosari tahun 2012 berjumlah 7.095 jiwa, dengan rincian sebagai berikut :
a.       Laki-laki          : 3.532 jiwa.
b.      Perempuan      : 3.563 jiwa

Dalam bidang usaha atau pekerjaan, masyarakat Desa Rowosari sebagian besar berwira usaha (home industry) konveksi, baik sebagai pengusaha, maupun sebagai buruh/karyawan, selain dari itu sebagian warga juga ada yang berkerja sebagai petani, pedagang, PNS, TNI, Polri, dan swasta lainnya.

Dalam bidang pendidikan, masyarakat Desa Rowosari dengan adanya program wajib belajar 9 tahun, maka tingkat pendidikan sudah semakin baik bahkan tidak sedikit yang menempuh pendidikan S1, S2 dan S3.
a.       Tamat SD        : 2.362.
b.      Tamat SLTP    : 1.100.
c.       Tamat SLTA   : 600.
d.      Diploma          : 68.
e.       Sarjana S1       : 52.
f.       Sarjana S2       : 4.
g.      Sarjana S3       : -
h.      Prof                 : -

Dalam bidang agama, sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya, masyarakat Desa Rowosari mayoritas adalah sebagai warga Nahdatul Ulama (NU) dengan jumlah anggotanya hampir 2/3 penduduk Desa Rowosari.
Selain sebagai warga NU, sebagian masyarakat juga sebagai warga  Muhammadiyah (MD) dengan jumlah anggotanya hampir 1/3 penduduk Desa Rowosari.
Sedangkan warga non muslim (kristen dan yang lainnya) di Desa Rowosari hanya sebagian kecil.





















BAB VI
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Bahwa sebelum datangnya Among Jiwo di Desa Rowosari, desa ini sudah ada kehidupan masyarakat, namun masih sangat tradisional dan belum banyak mengenal tentang agama. Agama yang dianut oleh masyarakat Rowosari pada waktu itu adalah pemujaan kepada nenek moyang dibuktikan dengan adanya batu bata berukuran besar/adanya bekas bangunan candi atau dapat diduga sudah mengenal peradaban Hindu-Budha dan atau aliran kejawen.
Tradisi kejawen yang mengutamakan hidup berolah batin, menanamkan hal-hal spiritual dalam kehidupan sehari-hari adalah sejak sebelum datangnya bangsa India (Hindu-Budha). Hindu-Budha datang menambah khazanah hidup batin orang Jawa, memperhalus dan mempertinggi peradabannya. Walaupun demikian sifat khas Jawanya tidak hilang, bahkan unsur-unsur mistik Hindu-Budha berhasil dijawakan sehingga merasa benar-benar itu adalah milik asli leluhur Jawa. Tradisi mengagungkan leluhur sudah merupakan kepercayaan yang sangat kokoh dan sakral bagi masyarakat Jawa. Kehidupan msitik animis-dinamis telah diperkaya dengan unsur-unsur mistik mitologis Hindu-Budha, masyarakat Jawa diperkenalkan adanya sang Hyang Wenang (Tuhan)  dan Dewa-dewa dalam agama Hindu.

2.      Pada jaman Kesultanan Demak, ada seorang tokoh bangsawan dari kasultanan Surakarta/kraton Solo yang bernama R.M. MERTO TRUNO untuk beberapa waktu  belajar dan memperdalam ajaran agama Islam di Kerajaan/Kesultanan  Demak Bintoro pada masa kepemimpinan Raden Patah yang mendapat dukungan dari Walisongo. Setelah R.M. Merto Truno dianggap mampu dan menguasai agama Islam, maka R.M. Merto Truno mendapat amanat/tugas untuk pergi ke Kerajaan/Kesultanan Banten guna menyebarkan ajaran agama Islam lagi di sana, (Kesultanan Demak Bintoro pada waktu itu melakukan ekspansi ke Banten untuk menyebarkan agama Islam). R.M. Merto Truno tidak dapat melanjutkan perjalanan dan akhirnya menetap di sebuah desa dan melakukan babad  desa dengan mengislamkan masyarakatnya yang kemudian desa tersebut diberi nama Desa Rowosari.
Sejalan dengan perjalanan waktu Among Jiwo merupakan tokoh besar yang disegani, dihormati dan dikeramatkan serta mampu menuntun, mengayomi kehidupan masyarakat dan menjadikan masyarakat semakin maju dan sejahtera, menjadikan masyarakat lebih dekat dengan Tuhannya, maka Among Jiwo dianggap sebagai tokoh yang mampu memelihara kehidupan jiwa orang lain. Atas jasa-jasanya, maka Among Jiwo yang bernama asli R.M. Merto Truno dan merupakan orang pertama yang menyebarkan/siar agama Islam, maka R.M. Merto Truno mendapat penghargaan tidak tertulis dari masyarakat, dengan sebutan : Syeh Among Jiwo.

B.     Saran
Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada ahli sejarah atau tokoh lokal yang menulis tentang sejarah/babad Desa Rowosari, sehingga penulis perlu dan berharap semoga usaha ini akan menggugah para sejarawan atau tokoh lokal untuk memperhatikan, melakukan penelitian dan mengembangkan masalah yang berkaitan dengan sejarah atau babad Desa Rowosari, yang pada gilirannya dapat bermanfaat bagi generasi selanjutnya.

---masajieshaemha-2012---




SENARAI PUSTAKA
Arsip Pemerintah Kabupaten Pemalang, Nama-Nama Dan Masa Jabatan Bupati Pemalang.

Bappeda Kota Pekalongan, 2006, Kajian Dalam Rangka Penelusuran Hari Jadi Kota Pekalongan.

Dedi Supriyadi, 2010, Pengantar Filsafat Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung.

Mangunsuwito, 2007, Kamus Lengkap Bahasa Jawa, CV.Yrama Widya, Bandung.

Mohamad Sobary, 1996, Kebudayaan Rakyat, Dimensi Agama dan Politik, Benteng Budaya, Yogyakarta.

Oesman Raliby, 1953, Documenta Historica, Bulan Bintang, Jakarta.

Purwadi dan Kazunori Toyoda, Babad Tanah Jawa, Gelombang Pasang, Yogyakarta.

Samidi Khalim, 2008, Islam & Spiritualitas Jawa, RaSAIL Media Group, Semarang.

Soerjono Soekanto, 1999, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. RajaGrafindo Persada, Bandung.

Soetomo Siswokartono, 2006, Rekonstruksi Sejarah Kabupaten Pemalang (Sebuah Studi Penelitian Sejarah Daerah).

Wadji Saksono, 1995, Mengislamkan Tanah Jawa, Mizan, Bandung.

Yan Pradnya Puspa, 1977, Kamus Hukum, CV. Aneka, Semarang.

Solichin Salam, 1960, Sekitar Walisanga, Menara, Kudus.

Internet.


Wawancara Penulis dengan :
  1. Mbah Rasiyah (istri mantan Lurah/Kepala Desa Mochadi).
  2. Mbah Ismail (Keponakan mbah Rasiyah).
  3. Mbah Durmad (Dukuh Panggang Pleseran).
  4. Mbah Soot (Dukuh Bong/Among Jiwo).
  5. Mbah Mad Dasir (Dukuh Bong/Tegalan).
  6. Mbah Misro, Desa Bojongkoneng, Kecamatan Kandangserang, Kabupaten Pekalongan.
  7. Bpk. H. Mustakim (cucu mantan Lurah/Kepala Desa Mashudi).
  8. Bpk. Slamet Nursalim (cucu mantan Lurah/Kepala Desa Musta’am).
  9. Bpk. Sachari (Dukuh Jagalan).
  10. Bpk. Sukamto (Dukuh Bandaran).
  11. Beberapa narasumber yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.






















SEKILAS TENTANG PENULIS

AJI SUDARMAJI, (cucu  dari mbah Mochadi, Lurah/Kepala Desa pada zaman Belanda-Jepang) dilahirkan di Bogor pada tanggal 6 Mei 1964. Pendidikan dari TK (1969-1970) di Kota Manokwari Papua Barat (dulu Irian Jaya), SD Negeri (1971-1976) di Rowosari Ulujami Pemalang, SMP Negeri 1 (1977-1981) di Kota Manokwari sampai SMA kelas 1 pertengahan, kemudian pindah di SMA Negeri 1/SMA Kartini Pekalongan (1981-1984). Setamat dari SMA melanjutkan studinya di UNTAG Semarang pada Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana (1984-1988), kemudian melanjutkan pada Program Pascasarjana S2 Ilmu Hukum Jurusan Hukum Pidana di UNISSULA Semarang (April 2010 - Oktober 2011); Pekerjaan sehari-hari sebagai Advokat/Pengacara.
Bidang organisasi : Ketua Karang Taruna Desa Rowosari (1985-1992);    Ketua Ikatan Remaja Bumi Wana Mukti Semarang (1986-1989);                          Ketua ARMUSHADA/Aktivitas Remaja Muslim Shabilil Huda Semarang Timur (1986-1989); Ketua Panitia Pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD) Desa Rowosari (2001); Ketua Badan Perwakilan (BPD) Desa Rowosari (2001-2006); Ketua Panitia Pemilihan Kepala Desa Rowosari (2001); Ketua Panitia Pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD) Desa Rowosari (2006); Ketua I Forum Komunikasi Badan Perwakilan Desa (BPD) Kabupaten Pemalang (2003-2006); Wakil Ketua DPC Pemuda Demokrat Kabupaten Pemalang (1994-1999);  Wakil Ketua DPD II KNPI Kabupaten Pemalang (1995-2000); Wakil Ketua DPC PDI Kabupaten Pemalang (1995-2000); Sekertaris Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Kabupaten Pemalang (1998-2002); Wakil Ketua Panitia Pemilihan Daerah (PPD II/sekarang KPU) Kabupaten Pemalang (1999); Ketua Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKP Indonesia) Kabupaten Pemalang (2002-2009); Tim Ahli pada Pengurus Jaringan Pelayanan Terpadu Korban Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Kabupaten Pemalang (2005); Panitia Pelaksana Rencana Aksi Hak Asasi Manusia (RANHAM) Kabupaten Pemalang (2004-2009); Ketua Ikatan Penasihat Hukum Indonesia Kabupaten Pemalang (1992-sekarang); Dewan Penasihat Forum Advokat Pemalang (2002-sekarang).












[1] Soetomo Siswokartono, 2006, Rekonstruksi Sejarah Kabupaten Pemalang (Sebuah Studi Penelitian Sejarah Daerah), h. 17.
[2] Ibid., h. 17.
[3] Oesman Raliby, 1953, Documenta Historica, Bulan Bintang, Jakarta, h. 9.
[4] Soetomo Siswokartono, op.cit., h.13.
[5]carapedia.com/pengertian_definisi_sejarah_menurut_para_
[6] chuzblog.blogspot.com
[7] Soetomo Siswokartono, op.cit., h.15.
[8] Dedi Supriyadi, 2010, Pengantar Filsafat Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung, h. 256-257.
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Ulujami,_Pemalang
[10] Ibid., h. 21.
[11] http://gadai1901.blogspot.com/2008/03/sejarah-pegadaian.html
[12] http://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/ruwatan
[13] http://posyandu.org/tradisional/70-upacara-tradisional/306-tingkepan.html
[14] http://id.wikipedia.org/wiki/Bedug
[15] Samidi Khalim, , 2008, Islam & Spiritualitas Jawa, RaSAIL Media Group, Semarang, h. 63-64.
[16] Samidi Khalim, op.cit., h.7.
[17] Ibid, h.7.
[18] Solichin Salam, 1960, Sekitar Walisanga, Menara, Kudus, h. 23
[19] Samidi Khalim, op.cit., h. 7-8.
[20] Mohamad Sobary, 1996, Kebudayaan Rakyat, Dimensi Agama dan Politik, Benteng Budaya, Yogyakarta,  h. 109.
[21] Samidi Khalim, op.cit., h. 48.
[22] Bappeda Kota Pekalongan, 2006, Kajian Dalam Rangka Penelusuran Hari Jadi Kota Pekalongan, h. 29.
[23] Soerjono Soekanto, 1999, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 478-479.
[24] Samidi Khalim, op.cit, h. 62.
[25] Mbah Misro, Ds. Bojongkoneng, Kec. Kandangserang, Kab. Pekalongan.
[26] http://ruhulawil.blog.com/?p=275
[27] Dedi Supriyadi, op.cit., h. 251.
[28] Bpk. Sachari yang menginformasikan kepada penulis.
[29] http://puramedangkamulan.wordpress.com/pelangi/serat-darmo-gandhul/
[30] http://id.wikipedia.org/wiki/Protium_javanicum_Burm
[31] http://bambang-rustanto.blogspot.com/2010/01/asal-usul-lembaga-swadaya-masyarakat-di.html
[32] http://www.kelurahankalianyar.com/sejarah-pkk/
[33]  http://pkk.banyuwangikab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2&Itemid=4
[34] http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_politik_di_Indonesia
[35] http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia
[36] http://id.wikipedia.org/wiki/Komando_rayon_militer
[38] http://id.wiktionary.org/wiki/kopel
[39]http://organisasi.org/jenis-macam-sekolah-pada-zaman-kolonialisme-belanda-di-indonesia-sejarah-jaman-dulu-jadul
[40]http://bloggerpurworejo.com/2009/08/mengenang-%E2%80%9Ckokumin-gakko%E2%80%9D-sekolah-rakyat-jaman-jepang/
[41]http://organisasi.org/jenis-macam-sekolah-pada-zaman-kolonialisme-belanda-di-indonesia-sejarah-jaman-dulu-jadul