Babad Desa Rowosari (Mengislamkan Tanah Rowosari) Dan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa.
Oleh ; H.Aji Sudarmaji,SH.MH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Desa
Rowosari merupakan sebuah desa yang masuk di wilayah Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, terletak di daerah pantai utara (pantura) wilayah paling timur
dari Kabupaten Pemalang, berbatasan dengan
Kabupaten Pekalongan yang dipisahkan oleh aliran sungai
Sragi.
Keberadaan Rowosari
dapat dibuktikan berdasarkan berbagai temuan arkeologis. Temuan itu berupa
punden berundak/candi, kuburan dan batu nisan di dukuh Jagalan (nisan etnis
cina). Selain itu bukti arkeologis yang menunjukkan adanya unsur-unsur
kebudayaan Islam juga dapat dihubungkan seperti adanya makam/kuburan Among Jiwo
di pemakaman Tenggulun/ Trenggulun,
yang juga memiliki misi untuk mengislamkan penduduk setempat.
Dewasa ini masih banyak masyarakat yang belum mengetahui
asal-usul tentang Desa Rowosari, baik dari sejarah maupun cerita rakyat, mitos,
legenda yang membahas tentang Desa Rowosari, termasuk nama-nama dan pengertian arti kata dari masing-masing dukuh/dusun yang ada didalamnya, bahkan arti nama atau asal-usul nama desa disekitar Desa Rowosari, perkembangan kehidupan masyarakatnya, baik sosial ekonomi, budaya,
agama dan nama-nama tokoh agama Islam yang ada, juga nama-nama Lurah/Kepala Desa Rowosari dari masa ke
masa.
Apabila masyarakat
tidak mengenal dan tidak mengetahui sejarah daerahnya sendiri, maka dapat
dipastikan 50 tahun kedepan masyarakat akan tenggelam ditelan sejarah kelam
masuknya sejarah dan budaya asing, dan masyarakat akan kehilangan jati dirinya
serta tidak akan pernah tahu bagaimana yang sebenarnya tentang sejarah
daerahnya sendiri.
Penulis
akan mencoba untuk menyajikan tulisan ini tentang terbentukanya/babad Desa Rowosari yang
dikemas secara sederhana agar
dapat dengan mudah untuk dipahami dan dimengerti oleh
pembaca dengan harapan dapat membuka tabir rahasia dari daerah/Desa Rowosari tersebut yang kemudian dapat
disumbangkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan
tidak dilupakan oleh generasi mendatang.
Sehingga sangat
tepat apa yang dikatakan oleh Bung Karno sang Proklamator yang sekaligus
sebagai Presiden R.I. pertama tentang Jasmerah
(Jangan sekali-kali melupakan sejarah).
Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada ahli
sejarah atau tokoh lokal yang menulis tentang sejarah Desa Rowosari, sehingga ketika timbul suatu pertanyaan tentang bagaimana sejarah/babad Desa
Rowosari belum dapat terjawabkan. Oleh karena itu penulis perlu dan berharap semoga usaha penulis
membuat buku ini akan menggugah para
sejarawan atau tokoh lokal untuk memperhatikan masalah yang
berkaitan dengan sejarah atau babad Desa Rowosari, yang pada gilirannya dapat bermanfaat bagi generasi selanjutnya.
Sejarah daerah
sebagai hasil budaya manusia yang bersahaja, lebih banyak berupa cerita dari
mulut ke mulut, berupa legenda, dongeng dan mitos yang oleh orang Barat dikatakan tidak riil, penuh dengan kegaiban,
fantasi dan spekulasi. Kesukaran yang lain, pada umumnya sifat cerita adalah
suci atau sakral dan tabu, sehingga diperlukan analisis yang cermat dalam usaha
penelitian.
Dengan adanya
kesukaran-kesukaran tersebut di atas, maka yang perlu dilakukan adalah dengan
menggunakan approach multidimensional,
agar dapat memungkinkan penulisan/penelitian sejarah daerah ini dapat tercpai,
serta mendapatkan data historis.
Sesuai dengan
pendapat Dr. Sartono Kartodirdjo, maka approach yang multidimensional ini, akan
diperoleh data-data yang obyektif dan terhindar dari data-data yang subyektif.
Penulis
berkeyakinan, bahwa di Desa Rowosari masih banyak
menyimpan bahan-bahan sejarah
berpotensi dan ilmu pengetahuan yang
belum banyak diungkap, sehingga tulisan ini diharapkan menggugah masyarakat,
khususnya bagi masyarakat daerah/Desa Rowosari untuk mengenal sejarahnya sendiri.
Ahli
Romawi yang bernama Cirero (106-43 SM)
menyatakan :
“History is the witnees of time, the torch of truth, the life of memory,
the teacher of life and the messenger of antiquity”. (Sejarah itu
adalah saksi dari waktu, obor dari kebenaran
, kenang-kenangan dari hidup, guru dari kehidupan
dan pesuruh dari zaman kuno
).
Dari
pernyataan tersebut, jelaslah bahwa sejarah daerah Desa Rowosari juga merupakan
saksi dari waktu, obor dari kebenaran, kenang-kenangan hidup bagi yang
berkepentingan, guru bagi yang mau meneladani serta jelas merupakan pesuruh
dari zaman kuno. Dengan berdasar pada pernyataan tersebut, penulis akan
berusaha mengungkap apa yang sebenarnya pernah terjadi di daerah Desa Rowosari.
Berdasarkan
uraian di atas cukuplah bagi penulis untuk menyusun buku ini dengan judul : Babad
Desa Rowosari (Mengislamkan Tanah Rowosari) Dan Perkembangannya Dari
Masa Ke Masa.
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian di atas dapat penulis
kemukakan, permasalahan yang hendak penulis bahas, yaitu :
a.
Sejauh mana eksistensi sejarah Desa Rowosari sejak babad hingga sekarang?
b.
Siapakah
orang yang pertama kali yang mengislamkan tanah Rowosari?
C.
Tujuan Penulisan/Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan/penelitian ini
adalah :
1.
Ingin mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas tentang sejarah babad Desa Rowosari dan perkembangannya dari masa ke
masa?
2.
Ingin
mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas tentang siapakan orang pertama
kali yang mengislamkan tanah Rowosari?
D.
Manfaat Penulisan/Penelitian
Adapun manfaat atau kegunaan yang diharapkan dari penulisan/penelitian
ini adalah :
1. Teoritis
Dengan adanya penulisan/penelitian ini maka:
a.
Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi akademisi tentang sejarah
atau babad Desa Rowosari.
b.
Diharapkan dapat jadi bahan pemikiran bagi
masyarakat, khususnya para sejarawan dalam mempelajari sejarah Desa Rowosari.
2. Praktis
Penulisan/penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penelitian yang berkaitan dengan
sejarah Desa Rowosari.
E.
Sistimatika
Penulisan
Penyusunan dan
pembahasan buku ini dibagi dalam 5 (lima) bab. Sedangkan tiap-tiap bab terbagi
lagi dalam sub-sub bab. Adapun uraian bab demi bab secara singkat dapat
diuraikan seperti di bawah ini.
Bab I merupakan
Pendahuluan, yang memuat Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan
Penulisan/Penelitian, Manfaat Penulisan/Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Selanjutnya Bab II berisi
mengenai Sejarah Daerah Dan Permasalahannya, yang terbagi dalam sub bab,
Pengertian Sejarah, Rowosari Merupakan Daerah Rawa-Rawa, Letak Desa Rowosari,
Arti Dari Beberapa Nama Dukuh.
Bab III berisi
mengenai Benda Historis Desa Rowosari, yang terbagi dalam sub bab, yaitu Peninggalan Sejarah, Makam Among Jiwo, Candi,
Makam-Makam, Masjid Jami, Kelenteng, Pasar, Pegadaian, Pusat Hiburan, Pusat
Kegiatan Olah Raga, Lumbung Padi dan sub bab mengenai Hipotesa, yang berisi
tentang Sosial Ekonomi, Kultur, Agama.
Kemudian pada Bab IV
merupakan Cerita Rakyat Dan Sumber Sejarah, yang berisi mengenai Terjadinya
Nama Dukuh Bong, Terjadinya Nama Dukuh Bandaran, Terjadinya Nama Dukuh
Pekacangan, Terjadinya Nama Dukuh Panggang, Terjadinya Nama Dukuh Candi,
Terjadinya Nama Dukuh Keweden, Terjadinya Nama Dukuh Pejaten, Terjadinya Nama
Dukuh Pangkah, dan Terjadinya Nama Desa Samong.
Dilanjutkan Bab V
berisi mengenai Pemerintah Dan Penguasa yang terbagi dalam Periodesasi
Pemerintah Dan Penguasa, Babakan Masa Kuno, Babakan Masa Tengah, Babakan Masa
Baru, Pemerintahan Tingkat Kecamatan. Akhirnya Bab VI merupakan bab Penutup, yang
berisi Simpulan dan Saran.
BAB II
SEJARAH DAERAH DAN PERMASALAHANNYA
A.
Pengertian Sejarah
Pe
ngertian mengenai sejarah
daerah masih mengandung persoalan-persoalan yang harus memerlukan penelitian,
baik dari aspek teori maupun materinya. Oleh karena itu banyak uraian yang
tersedia untuk diolah dan sangat menarik untuk membicarakannya,
dan jika perlu untuk diseminarkan, baik
oleh para ahli sejarah, tokoh agama, tokoh masyarakat maupun warga masyarakat, agar
didapat suatu kesimpulan yang benar atau minimal mendekati kebenaran tentang
sejarah Desa Rowosari.
Pada dasarnya, sejarah dapat diartikan menjadi beberapa identifikasi
sebagai berikut :
1.
Kata
sejarah yang berasal dari bahasa Arab "SYAJARATUN"
yang berarti pohon kehidupan walaupun dalam bahasa Arab sendiri mengartikan
ilmu yang mempelajari kisah tentang masa lalu dinamakan TARIKH.
2.
Kata
sejarah dari bahasa Inggris "HISTORY"
yang sebenarnya kata HISTORY itu
sendiri berasal dari bahasa Yunani ISTORIA
yang berarti orang pandai.
3.
Kata
sejarah dalam bahasa Jerman dan Belanda.
Dalam bahasa Jerman, kata sejarah berasal dari kata GESCHICHTE dan dalam bahasa Belanda berasal dari kata GESCHIDENIS. Dalam bahasa Jerman dan
Belanda mempunyai arti yang sama, yaitu "kejadian yang dibuat oleh
manusia".
Pengertian dan
definisi sejarah menurut beberapa ahli :
1. Menurut W.J.S Poerwodarminta dalam
kamus umum bahasa Indonesia :
Sejarah
mengandung 3 pengertian, yaitu :
*
Kesusasteraan lama, sislsilah, dan asal usul.
*
Kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau.
*
Ilmu pengetahuan.
2. Menurut Abramowitz (Burher, 1970:42)
"history
as a chronology of events" yang berarti bahwa sejarah merupakan
sebuah kronologi atas suatu kejadian.
3. Menurut Sunnal dan Haas (1993: 278)
"history
is a chronological study that interprets and gives meaning to events and
applies systematic methods to discover the truth" yang berarti:
sejarah merupakan studi kronologis yang menafsirkan dan memberikan arti
peristiwa dan berlaku metode sistematis untuk menemukan kebenaran.
4. Menurut Costa (Burger, 1970: 44)
sejarah
dapat didefinisikan sebagai "record
of the whole human experience". Dimana pada hakikatnya sejarah
merupakan catatan seluruh pengalaman, baik secara individu maupun kolektif
bangsa/nationdimasa lalu tentang kehidupan umat manusia.
5. Menurut Cleveland (Burger, 1970; 46)
"history
is viewed as a mean by which to understand human life" yang berarti
bahwa sejarah itu dipandang sebagai maksud untuk memahami kehidupan manusia.
6. Menurut Sartono Kartodirdjo
sejarah
dapat didefinisikan sebagai berbagai bentuk penggambaran pengalaman kolektif di
masa lampau. Setiap pengungkapannya dapat dipandang sebagai suatu aktualisasi
atau pementasan pengalaman masa lampau. Menceritakan suatu kejadian ialah cara
membuat hadir kembali (dalam kesadaran) peristiwa tersebut dengan pengungkapan
verbal.
7. Menurut Carr (1982: 30)
Menyebutkan
bahwa "history is a continuous process of interaction between the
historian and his facts, and undending dialogue between the present and the
past" yang berarti bahwa sejarah merupakan proses berkesinambungan
dari interaksi antara sejarawan dan fakta-fakta serta dialog antara masa kini
dan masa lalu.
Selain pengertian sejarah
menurut para ahli tersebut di atas, masih ada pendapat pakar lainnya, antara
lain :
a.
Pengertian Sejarah Menurut Aristotle,
History is a system that examines the incidence
of early and arranged in chronological form.
At the same time,
according to his history is also the past
events that have a record, the records
or concrete evidence.
Sejarah merupakan satu sistem yang meneliti suatu kejadian sejak awal
dan tersusun dalam bentuk kronologi. Pada masa yang sama, menurut beliau juga
Sejarah adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan,
rekod-rekod atau bukti-bukti yang konkrit.
b.
Pengertian Sejarah Menurut R. G.
Collingwood,
History is a form of inquiry about the
things that have been done
by humans in the past.
Sejarah ialah sebuah bentuk penyelidikan tentang hal-hal yang telah
dilakukan oleh manusia pada masa lampau.
c.
Pengertian Sejarah Menurut Drs. Sidi
Gazalba
sejarah sebagai masa lalu manusia dan seputarnya yang disusun secara
ilmiah dan lengkap meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan
penjelasan yang memberi pengertian dan kefahaman tentang apa yang berlaku.
d.
Pengertian Sejarah Menurut E.H. Carr
dalam buku teksnya What is History,
History
is a never-ending dialogue between the
present and the past, a process of continuous interaction between the historian and the facts he had.
Sejarah adalah dialog yang tak pernah selesai antara masa sekarang dan
lampau, suatu proses interaksi yang berkesinambungan antara sejarawan dan
fakta-fakta yang dimilikinya.
e.
Pengertian Sejarah Menurut
Muthahhari,
ada tiga cara mendefinisikan sejarah dan ada tiga disiplin kesejarahan
yang saling berkaitan, yaitu:
a. sejarah tradisional (tarikh naqli) adalah
pengetahuan tentang
kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan kemanusiaan di masa
lampau dalam kaitannya dengan keadaan-keadaan masa kini.
b.sejarah ilmiah (tarikh ilmy), yaitu pengetahuan tentang hukum-hukum
yang tampak menguasai kehidupan masa lampau yang diperoleh melaluipendekatan
dan analisis atas peristiwa-peristiwa masa lampau.
c. filsafat sejarah (tarikh falsafi), yaitu
pengetahuan tentang perubahan-perubahan bertahap yang membawa masyarakat dari
satu tahap ke tahap lain, ia membahas hukum-hukum yang menguasai
perubahan-perubahan ini. Dengan kata lain, ia adalah ilmu tentang menjadi
masyarakat, bukan tentang mewujudnya saja.
Sedangkan menurut
Prof. Dr. W.E. Soetomo Siswokartono, M.Pd., dalam bukunya yang berjudul
Rekontruksi Sejarah Kabupaten Pemalang (Sebuah Studi Penelitian Sejarah Daerah)
menyatakan bahwa sejarah daerah adalah segala cerita tentang peristiwa di
daerah pada masa lampau, baik berupa lisan atau tulisan, tentang segala
kegiatan manusia yang menyangkut berbagai aspek kehidupan.
Diberbagai
daerah banyak terdapat cerita-cerita, baik yang berupa dongeng, legenda, mitos
maupun yang lainnya yang sampai sekarang masih belum ada kata sepakat dari para
ahli sejarah untuk dapat disebut sebagai sejarah daerah. Sebagian ahli sejarah
berpendapat bahwa cerita daerah, baik yang berupa dongeng, legenda maupun mitos
mengandung nilai historis atau latar belakang yang mungkin pernah terjadi pada
masa lalu.
Babad adalah cerita rekaan (fiksi) yang didasarkan
pada peristiwa sejarah, di mana penulisannya biasanya dalam bentuk macapat
(tembang/puisi/syair). Salah satu babad yang sangat terkenal adalah Babad Tanah
Jawa, di mana babad ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal-hal
yang terjadi di tanah Jawa.
Meskipun sarat dengan peristiwa sejarah, sifatnya
yang fiksi menempatkan babad sebagai referensi sejarah-imajinatif. Babad
memiliki sifat religio-magis dan pekat dengan imajinasi. Sifat itu membuat ahli
sejarah berada dalam ragu untuk memakai babad sebagai sumber sejarah yang
sahih, dan penggunaannya dalam menggali sejarah menuai pro dan kontra. S.
Margana dalam buku Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial (2004)
mengungkapkan babad merupakan problematik dalam historiografi modern. Para
sejarawan kerap memahami babad sebagai tulisan atau sumber sejarah dalam
tendensi subjektif. Para sejarawan yang menolak peran babad sebagai sumber
sejarah memiliki argumen bahwa babad rentan dengan bias dalam menggambarkan
fakta-fakta sejarah. Babad cenderung menjadi percampuran dari fakta dan
mitologi. Para sejarawan yang akomodatif justru menerapkan metode dan metodologi
tertentu untuk menjadikan babad sebagai sumber informasi mumpuni ketimbang
sumber-sumber kolonial.
Terlepas dari pro-kontra tersebut, Babad Tanah
Jawi merupakan jejak besar dalam membaca (sejarah) Jawa, salah satu diantaranya
adalah babad (sejarah) Desa Rowosari.
B.
Rowosari Merupakan
Daerah Rawa-Rawa.
1.
Arti Kata Rowosari.
Apa sebab dinamakan Rowosari ? baiklah untuk
awalnya akan penulis sajikan hasil interview/wawancara antara penulis dengan
beberapa tokoh sepuh (tua) yang
ketika itu masih hidup, dalam memberikan keterangan mengenai kata Rowosari
masing-masing tidak jauh berbeda dan mengandung maksud yang sama.
Dalam keterangnya dengan penulis tentang asal usul
nama Rowoasri adalah sebagai berikut :
·
Rowosari dari kata Rowo dan Sari :
a.
Rowo/rawa artinya : tanah
rendah yang digenangi air.
b.
Sari artinya : inti.
Dikatakan rowo/rawa,
karena dahulu sebagian besar dari daerah ini (Rowosari) adalah rawa-rawa yang
banyak ditumbuhi dengan tanaman air dan sebagian besar masyarakatnya belum
dapat berbuat banyak untuk mengelola daerah yang berawa-rawa. Sedangkan kata sari
mengandung pengertian inti yang bermanfaat.
o
Sehingga kata Rowosari mengandung pengertian daerah yang berawa-rawa apabila
daerah ini digali dan dikelola segala potensi yang ada didalamnya, maka akan didapatkan
inti manfaat yang berguna bagi warganya, atau dengan kata lain Rowosari merupakan
suatu desa yang dapat menjadikan warganya hidup sejahtera apabila mereka mau
bekerja keras.
C.
Letaknya
Desa Rowosari
Rowosari
adalah nama sebuah desa di Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, dengan luas
wilayah + 300 Hektar, yang letaknya paling timur dari wilayah Kabupaten
Pemalang dan berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan yang dipisahkan oleh aliran sungai Sragi. Rowosari berada di daerah pantai utara (pantura), jaraknya +
20 km dari kota Kabupaten Pemalang dan + 13 km dari kota Pekalongan, dengan batas-batas wilayah :
·
Utara : desa Samong, desa Wiyorowetan.
·
Timur : sungai Sragi, Kabupaten
Pekalongan.
·
Selatan : desa Tengeng, desa Botekan,
desa Ambokulon, desa Lowa.
·
Barat : desa Ambowetan, desa Pagergunung.
D.
Arti Dari Beberapa Nama
Dukuh.
I. Bandaran mengandung pengertian :
a.
Arti
pertama dari kata Bandaran adalah suatu tempat bagi bersandarnya perahu/kapal atau suatu tempat yang dinamakan pelabuhan/dermaga.
o
Sehingga daerah tersebut dinamakan daerah Bandaran, batas daerahnya :
·
Utara : jalan panggang (sekarang jl. konveksi)
·
Timur : sungai Sragi
·
Selatan : jalan raya
·
Barat : gang/sungai di sebelah timur balai desa lama.
Bandaran atau pelabuhan
untuk perahu/ kapal bersandar, dimana sungai Sragi merupakan jalur transportasi
yang dapat dilalui oleh kapal/perahu dari hilir/laut (Desa Tasikrejo/Kaliprau)
sampai ke hulu (Desa Sragi).
Lokasi Bandaran / pelabuhan
adalah disepanjang aliran sungai disebelah utara jembatan sungai Sragi sampai ke utara / pertigaan jalan panggang
(sekarang jalan konveksi / sebelah timur rumah Bpk. Zaenal Kembu), yang
kemudian hasil-hasil dagangan yang dimuat dari kapal diturunkan untuk dijual di
pasar atau ke luar daerah Rowosari, di mana di daerah ini adalah pusat perdagangan
yang sebagian besar usaha perdagangan dikuasai oleh etnis cina, hal tersebut
dapat dibuktikan dengan adanya bangunan yang bersejarah yaitu didirikan/bangunan
klenteng, selain daripada itu juga dahulu ada tempat penyimpanan garam / gudang
garam yang letaknya di sebelah selatan jalan raya (sekarang menjadi Puskesmas),
serta adanya bangunan-bangunan rumah orang-orang etnis cina yang berada di
sekitar pasar yang dimanfaatkan juga sebagai toko/kios, dan adanya bangunan
rumah lainnya di sepanjang jalan raya Ulujami (jalan Daendeles), sehingga
daerah ini disebut dengan nama daerah Pecinan.
b.
Arti kedua
dari kata Bandaran, asalnya dari kata
Bandar yang artinya orang yang menjadi sentral judi dari musuh penjudi
lainnya (Bandar judi).
Dari kedua
pengertian mengenai kata (Bandar/Bandaran)
tersebut di atas penulis lebih cenderung pada pengertian yang pertama, yaitu Bandar/ Bandaran sebagai suatu tempat untuk bersandarnya kapal/
perahu/sampan atau dengan kata lain tempat itu (Bandar/Bandaran) adalah pelabuhan/dermaga bagi bersandarnya
kapal/ perahu/sampan.
Bandaran terbagi dari beberapa tempat/wilayah, yaitu :
a.
Ngrowo dari kata rowo (bhs.
Jawa) artinya rawa, di mana tempat tersebut banyak digenangi air dan ditumbuhi
tanaman kangkung (lokasi di sebelah selatan tugu selamat datang Pemalang sampai
ke belakang Puskesmas).
b.
Percil dari kata :
o
Precil atau mrecil (bhs Jawa)
artinya kodok/katak kecil,
o
Perceel (bhs Belanda) artinya
sebidang tanah atau tanah kavleeng (bhs. Belanda)/ Kapling atau tanah yang dipetak-petak, dimana
ditempat tersebut dahulu banyak ditanami pohon kelapa dan jika musim hujan
banyak digenangi oleh air (lokasi/wilayah ini terletak di belakang kantor
Polsek dan disebelah barat pasar/rumah H. Sali ke utara sampai sungai/kali lalu
kebarat sampai rumah Bpk. Wasdani/ gang/sungai).
o
Pengertian Percil, penulis lebih cenderung
dalam arti yang kedua, yaitu percil sebagai tempat atau sebidang tanah/tanah
kapling, maka daerah/wilayah ini dinamakan blok Percil.
c.
Pecinan
Kata
Pecinan mengandung pengertian : suatu
tempat/daerah yang mayoritas penduduknya adalah etnis cina, lokasi/wilayah ini terletak
di sebelah barat jalan pasar ke barat ( sekarang Family Mart, Toko Sumbing
Jaya) dan disepanjang jalan raya Ulujami (sebagian masuk dukuh Jagalan), baik sebelah
utara (dukuh jagalan lor) maupun selatan jalan raya (dukuh Jagalan kidul),
batas selatan paling barat sekarang rumahnya Bpk. Tresno, sedangkan utara jalan
adalah gang di sebelah barat ruko milik Bpk. H. Sodik (Kantor Pos), maka daerah/wilayah ini dinamakan Pecinan. Sedangkan daerah/wilayah selebihnya kebarat adalah kuburan orang etnis cina/Bong, yang sekarang sudah menjadi
bangunan Kantor BRI, Kantor Koramil, Kantor Kecamatan, SD, dan rumah penduduk.
d.
Kauman
Kata Kauman, asal kata kaum dan man. Kaum artinya kelompok orang, sedangkan man dari kata iman (beriman), sehingga kata Kauman mengandung pengertian : suatu
tempat/wilayah bagi orang-orang yang beriman (taat agama), maka daerah/wilayah
ini dinamakan Kauman. Daerah/wilayah ini letaknya disekitar masjid Jami
As-salam, dengan batas :
o
Utara : jalan konveksi sampai
pegadaian, jalan among jiwo sampai sungai.
o
Timur : sungai sebelah barat
pegadaian.
o
Selatan : sungai dan
beberapa rumah di selatan sungai.
o
Barat : sungai (daerah jagalan).
d.
Kacangan
Kata Kacangan mengandung pengertian : suatu daerah/tempat yang banyak ditanami tumbuhan kacang-kacangan, maka daerah/ wilayah ini dinamakan Dukuh Kacangan/Pekacangan, dengan batas :
·
Utara : desa rembun, dahulu jalan
raya sebelah barat jembatan sungai Sragi.
·
Timur : desa rembun/ dahulu
disebelah barat sungai Sragi.
·
Selatan : desa Rembun/Tengeng.
·
Barat : sungai Sragi, dahulu sungai kecil .
Kata Panggang (bhs. Jawa) mengandung pengertian : mengeringkan atau memasak
sesuatu (ikan) dengan cara dipanaskan di
atas api/diasapkan.
Suatu tempat
di mana pada waktu itu mayoritas
warganya berbisnis ikan panggang, sehingga daerah tersbut dinamakan Dukuh Panggang, dengan batas :
o
Utara : jalan menuju Keweden.
o
Timur : sungai Sragi.
o
Selatan : sekarang jalan
konveksi.
o
Barat : gang
di sebelah timur H. Slamet ke utara.
Dukuh Panggang terbagi dari beberapa tempat/wilayah, yaitu :
1.
Jaratan (bhs.
Jawa) artinya
kuburan/ makam/kramatan,
dahulu di daerah
tersebut terdapat/ada kuburan. (lokasi/wilayah ini letaknya disebelah barat sungai Sragi sekitar
rumahnya Bpk. H. Slamet Rincis - Bpk. Wiluyo/ Rusyanto), maka daerah/ wilayah tersebut dinamakan Panggang Jaratan.
2.
Pleseran (bhs. Jawa) dari kata plisir artinya pinggiran atau mleser
artinya tempat yang tanahnya miring
dan/atau berbelok secara perlahan, sehingga kata pleseran mengandung
pengertian tempat atau daerah pinggiran yang tanahnya miring dan berbelok
secara perlahan (lokasi/wilayah ini letaknya dari pabrik milik Bpk. H. Casuri
sampai rumah milik Ibu Piyah/ pertigaan menuju Keweden), maka daerah / wilayah
tersebut dinamakan Panggang Pleseran.
3.
Sumur (bhs. Jawa) artinya perigi, dahulu di daerah
tersebut ada sebuah sumur/perigi yang terkenal dan dimanfaatkan oleh
masyarakat, lokasi/wilayah ini letaknya disekitar rumah Bpk. Karyo Tasmani sampai ke utara/jalan candi-keweden, maka daerah/wilayah tersebut
dinamakan Panggang Sumur.
4.
Wonoroto (bhs. Jawa) terdiri dari 2 kata, yaitu wono
dan roto wono artinya hutan dan roto artinya rata/datar, sehingga Wonoroto mengandung penegertian hutan yang
datar atau hutan yang rata, lokasi/wilayah ini letaknya sebagian masuk dukuh
Panggang dan sebagian masuk dukuh Candi/sebalah barat dari Panggang Sumur.
Untuk daerah/wilayah tersebut
tidak ada penyebutan Panggang Wonoroto atau Candi Wonoroto, akan tetapi
meyebutannya tetap daerah/ wilayah Wonoroto.
5.
Gatak (bhs. Jawa) artinya tanah darat ditepi sawah yang tidak
ditanami padi, bisanya ditanami palawija. (lokasi/wilayah
ini letaknya
disepanjang jalan menuju Keweden/sekitar TK Keweden).
Untuk daerah/wilayah tersebut tidak ada penyebutan Panggang Gatak, akan tetapi
meyebutannya justru menjadi daerah/ wilayah Gatak Keweden.
6.
Ngideran
·
asal kata ider (bhs. Jawa) artinya keliling, diideri artinya dilingkari/dikelilingi. Dinamakan ngideran, karena di daerah tersebut merupakan persawahan yang mengeliling / melingkari dukuh Keweden. Untuk daerah/ wilayah
tersebut tidak ada penyebutan Panggang Ngideran, akan tetapi lebih cenderung
menyebutnya daerah/ wilayah Ngideran atau Ngideran Keweden.
Ada yang berpendapat :
·
Tertelak disebelah utara Gatak Keweden sampai ke sungai Sragi.
·
Terletak
di sebelah selatan Gatak Keweden (sekarang Mushola ke selatan).
7.
Keweden dari kata :
·
Wedi (bhs. Jawa) atau weden
artinya takut.
·
Sehingga kata Keweden mengandung pengertian : ketakutan
(lokasi/ wilayah ini letaknya dari sebelah timur TK. Keweden / permukiman warga sampai ke sungai Sragi).
Untuk
daerah/wilayah ini tidak ada penyebutan Panggang Keweden, akan tetapi lebih
cenderung menggunakan kata daerah/ wilayah Keweden, meskupun daerah/ wilayah
tersebut masuk pada Dukuh Panggang.
III.
Candi
Kata Candi mengandung pengertian : batu yang disusun rapi dan digunakan untuk tempat
ibadah/kuburan, maka daerah/ wilayah ini dinamakan Dukuh Candi, dengan batas :
o
Utara : desa Wiyoro, desa Samong
o
Timur : gang Bpk. H. Slamet ke utara.
o
Selatan : dukuh Bandaran (sekarang jl. Konveksi), dukuh
Jagalan
(sekarang bagian timur jl. Among Jiwo sampai sungai sebelah timur Bpk. H.
Rohman), benteng Tegalan dukuh Bong.
o
Barat : sawah berbatasan
dengan Tegalan (Dukuh Bong), Desa Wiyoro.
Wilayah Dukuh Candi
terbagi dalam beberapa wilayah, yaitu :
a.
Pejaten dari kata jaten (bhs. Jawa), artinya pepohon
jati.
Sehingga kata
Pejaten mengandung pengertian hutan jati. Lokasi/wilayah
ini letaknya dengan batas :
o
Utara : jalan menuju samong.
o
Timur : sawah/jalan baru.
o
Selatan : jalan/sungai.
o
Barat : jalan kuburan Candi.
Untuk daerah/wilayah ini penyebutannya
hanya Pejaten saja, meski ada pula yang menyebutnya daerah/wilayah Candi
Pejaten atau Pejaten Candi.
b.
Jembangan (bhs. Jawa) artinya jambangan besar/tempat air, mengandung pengertian di daerah tersebut merupakan lahan/tanah sawah yang
pengairannya sangat baik dan tanahnya sangat subur dibandingkan tanah sawah di
tempat yang lainnya. (lokasi/ wilayah ini terletak
disebelah utara dukuh Pejaten/sekarang tanah sawah bengkok desa), maka daerah/ wilayah
tersebut dinamakan blok Jembangan.
c.
Pangkah dari kata :
o
Pang artinya : cabang.
o
Kah dari pemenggalan kata :
langkah.
§ Sehingga kata Pangkah
mengandung pengertian ngepange langkah atau membuat langkah menjadi
bercabang/berpisah. (lokasi/ wilayah ini letaknya di bagian barat desa Samong dan daerah yang sekarang menjadi Candi Baru/Pejaten Baru).
Untuk daerah/wilayah
ini penyebutannya tidak berubah tetap
daerah/wilayah Pangkah, dan blok Pangkah masuk wilayah desa Samong.
IV.
Bong
Kata
Bong mengandung pengertian :
kuburan orang cina.
Dinamakan
bong, karena disekitar tempat tersebut (di sebelah utara jalan raya Ulujami sekarang
untuk perkantoran tingkat kecamatan dan SD, sedangkan di sebelah selatan jalan
raya Ulujami sekarang sudah menjadi permukiman warga) adalah kuburan orang
cina, sehingga untuk memudahkan nama daerah tersebut, maka digunakan nama Dukuh
Bong. Letak/wilayah Dukuh Bong, berbatasan :
·
Utara : benteng.
·
Timur : sungai sebelah timur rumah H. Rohman (sekarang).
·
Selatan : desa Botekan.
·
Barat : desa Ambo -
wetan.
Dukuh Bong terbagi dalam beberapa tempat/wilayah, yaitu :
1.
Tenggulun dari kata :
o
Teng artinya : di.
o
Gulun asal kata Gulon
atau kulon/kilen artinya Barat.
Sehingga kata Tenggulun
mengandung pengertian di-barat/dibagian barat/disebelah
barat.
atau
Trenggulun adalah nama sebuah pohon yang tinggi, besar dan
rimbun seperti pohon beringin yang bunganya/buahnya bernama kethos. Namun pohon tersebut ada
yang menyebutnya pohon kethos.
o
Lokasi/wilayah
ini letaknya dengan batas :
·
Utara : sungai.
·
Timur : sungai (antara rumah.Bpk. H.Rohman dan rumah Ibu Ayu Marlina)
·
Selatan : jalan among jiwo.
·
Barat : sungai (sebelah barat rumah Bpk. KH. Ubaidillah).
Untuk daerah/wilayah ini penyebutannya tidak
menggunakan daerah/wilayah Bong
Tenggulun/ Trenggulun, akan tetapi sekarang menyebutnya daerah/wilayah Among
Jiwo/jalan Among Jiwo.
2.
Tegalan dari kata :
o
Tegal atau tegil (bhs. Jawa) adalah tanah
yang luas dan rata yang ditanami palawija dengan tidak mempergunakan pengairan
dan bergantung pada hujan. (lokasi/wilayah ini letaknya mulai dari rumah Bpk.
Anas ke barat dan ke utara, sedangkan ke selatannya sampai jembatan ke arah
jalan menuju desa Ambowetan/rumah Bpk. H. Pa’an/ Salon Lady). Untuk daerah/ wilayah ini dinamakan Bong Tegalan.
3.
Ploso atau plosok adalah pedalaman atau suatu tempat yang letaknya jauh
dari keramaian. (lokasi/wilayah ini letaknya disepanjang jalan bagian utara menuju
ambowetan/dari rumah
Bpk. H. Birin ke barat sampai
perbatasan desa). Untuk daerah/wilayah ini dinamakan
Bong Ploso.
4.
Peturen dari kata :
o
Turi adalah jenis tanaman keras / pohon yang bunganya bernama tronggong.
o
Sehingga kata Peturen mengandung pengertian : suatu daerah yang
banyak ditumbuhi oleh tanaman/pohon turi. Lokasi/wilayah
ini letaknya dengan batas :
·
Utara : aliran sungai ke arah desa Ambowetan.
·
Timur : sekitar rumahnya Bpk. KH. Ahmad ke utara.
·
Selatan : jalan raya.
·
Barat : Sungai/desa
Ambowetan.
Untuk daerah/wilayah ini dinamakan Bong
Peturen.
5.
Sigebang dari kata gebang (jenis palem seperti pohon jambe/pinang, daunnya lebar dan
bulat serta tangkainya berduri, buahya berasa manis jika sudah matang berwarna
kehitam-hitaman), daerah tersebut letaknya di belakang KUD (masuk wilayah
kedungombo/gedungombo bagian barat). Untuk daerah/wilayah
ini dinamakan blok Sigebang/Gebangan.
V.
Jagalan
Kata Jagalan mengandung 2 (dua) pengertian :
a.
Jagal (bhs. Jawa) adalah tukang
menyembelih.
o
Begal (bhs. Jawa) atau begalan
artinya perampok/perampokan/ tempat
rampokan.
o
Sehingga kata Jagalan mengandung pengertian : tempat untuk
menyembelih.
b.
Jagabilawa (keturunan
etnis cina) adalah seorang tokoh yang sangat berpengaruh, yang kemudian dikenal
sampai sekarang dengan nama mbah Jagalbilowo.
Sehingga daerah/wilayah ini dinamakan
Dukuh Jagalan.
Letak/wilayah Dukuh Jagalan berbatasan
:
·
Utara : sekarang jl. Among Jiwo.
·
Timur : jl sebelah timur balai desa lama
·
Selatan : benteng/pintu.
·
Barat : sungai sebelah timur rumah pak
Casmo/KUD.
o
Jagalan dibagi menjadi 2
(dua) wilayah, yaitu :
1.
Jagalan Lor, lokasi/wilayah
ini letaknya dengan batas :
·
Utara : jalan among jiwo.
·
Timur : sungai disebelah timur balai
desa lama.
·
Selatan : jalan raya.
·
Barat : gang
sebelah barat Koramil.
2.
Jagalan Kidul,
lokasi/wilayah ini letaknya :
·
Utara : jalan raya Ulujami
·
Timur : sungai Sragi
·
Selatan :
benteng (temiyang)
·
Barat : sungai (namun sekarang bergeser ke timur sampai
di rumah
makan
Kardi).
Dikatakan
Jagalan, karena di daerah tersebut dahulu banyak orang yang melakukan pembegalan/perampokan yang kebanyakan diakhiri dengan
pembunuhan/penyembelihan, di mana
daerah tersebut adalah daerah sepi yang jalannya (jalan
Daendeles/sekarang jalan raya Ulujami) diapit oleh dua lokasi kuburan cina/bong, baik di utara jalan
maupun di selatan jalan. Hasil dari
rampokkannya biasanya digunakan untuk foya-foya atau untuk main judi dan
permainan judi biasanya dilakukan di rumah-rumah warga setempat.
Atau pengertian yang
lain adalah kata Jagalan digunakan untuk mengabadikan nama seorang tokoh yang
berpengaruh di daerah tersebut yang bernama Jagalbilowo (mbah Jagalbilowo). Jagalbilowo juga sebagai salah satu orang yang membangun kelenteng
yang berada di desa Rowosari.
Jagalan Kidul
terbagi menjadi :
1.
Jagalan
Kidul itu sendiri (sekarang permukiman warga).
2.
Temiyang dari kata Tan Mei Yang (nama orang etnis cina keturunan/keluarga pendiri Klenteng, yaitu
Mpek Tan Giok Hwie, Mpek Tan Giok Koen) adalah nama orang etnis cina yang menguasai / mengelola tanah tersebut, maka
daerah/wilayah ini dinamakan blok temiyang, letaknya :
·
Utara : benteng
·
Timur : sungai Sragi
·
Selatan : desa Botekan
·
Barat : blok Sigebang
/Gebangan
Di
sebagian blok ini (dekat benteng) pernah digunakan oleh masyarakat untuk
kegiatan olah raga sepak bola, sehingga ada yang menyebutnya kalau daerah ini
adalah blok ngebalan.
Blok ngebalan yang merupakan bagian blok Temiyang
masuk dalam daerah/wilayah yang dinamakan Kedungombo ada pula yang menyebut Gedungombo.
3.
Kedungombo dari kata :
·
Kedhung (bhs. Jawa : ulekaning
kali sing jero) artinya lubuk sungai yang dalam.
·
Amba / ombo (bhs. Jawa) artinya
luas/lebar.
Sehingga
kata Kedungombo mengandung pengertian tempat berputarnya aliran sungai yang
dalam dan luas/pusaran air (lokasi/wilayah ini letaknya pada pertemuan aliran sungai Sragi dan sungai Tumbal). Pada tahun 1970-an masyarakat sekitar menyebutkan kalau daerah/ wilayah yang dinamakan Kedungombo/ Gedungombo
ini letaknya disebelah selatan jalan raya Ulujami, namun sekarang masyarakat
menyebut daerah Kedungombo / Gedungombo letaknya di sebelah selatan benteng
sampai ke desa Botekan dan Tengeng.
Cerita tentang
daerah Kedungombo/Gedungombo merupakan
daerah/wilayah yang cukup “angker”.
Dikisahkan dulu pernah ada orang Demak yang bertapa di sekitar jembatan sungai
Sragi selama 40 hari, namun orang yang dipesan untuk menjemput orang yang bertapa
tersebut ternyata meninggal lebih dahulu, sehinga orang yang bertapa tidak
dijemput dan menjadi hilang. Orang yang bertapa tersebut menurut cerita warga
Rowosari dan sekitarnya bernama Haji Dul Bandot.
Banyak cerita adanya
kejadian-kejadian aneh yang dapat dibuktikan oleh banyak orang, antara lain :
a.
Pada
setiap malam Jumat Kliwon di wilayah Kedungombo/ Gedungombo selalu terdengar
musik Qosidahan (Terbangan) hingga
larut malam, namun sekarang sudah tidak terdengar lagi karen musik Qosidahan (Terbangan) tersebut sudah kalah dengan
suara kendaraan yang semakin banyak
berlalu-lanag di jalan raya.
b.
Banyak
warga yang mendapat kiriman barang dari toko padahal warga tidak pernah
beli/memesan barang tersebut, namun menurut karyawan toko pengantar barang,
kalau barang tersebut sudah dibayar lunas.
c.
Pernah ada
kiriman semen 1 truk tronton yang sudah
dibayar lunas, namun tidak diketahui siapa pemiliknya dan alamatnya tertulis
jembatan sungai Sragi ke selatan, karena jelas alamat tersebut tidak ada secara
riil, maka semen tersebut oleh Bapak Abdul Hadi Kepala Desa Rowosari pada waktu itu untuk dibongkar di Balai Desa
Rowosari.
d.
Sering
terjadi apabila ada bus pada malam hari yang berhenti di Koplak atau di sekitar pos ojek Bong, seakan ada penumpang yang akan
turun, namun setelah bus tersebut pergi ternyata tidak ada orang yang turun
dari bus.
BAB III
BENDA HISTORIS DESA
ROWOSARI
1.
Peninggalan Sejarah.
1.
Makam Syeh Among Jiwo.
Makam Among Jiwo terletak disebelah utara jalan
Among Jiwo + 50 m tepatnya di
belakang rumah Ibu Erna/disekitar belakang rumah
penulis. Dahulu di makam tersebut terdapat banyak makam yang
merupakan makam keluarga, akan tetapi saat sekarang hanya tersisa 4 makam,
yaitu :
1.
Makam Among Jiwo/Mbah Among Jiwo.
2.
Makam Dimas Rokodimerto.
3.
Makam Dimas Ajeng Rokodimerto, (a dan b adalah suami istri sebagai pengawal
dari Amog Jiwo).
4.
Makam mbah Mohtar (mbah Bleput/Gleput)/pemilik tanah tersebut orang tua Bpk. Sobirin Candi.
Makam Among Jiwo ini mempunyai peranan penting
bagi Desa Rowosari, karena Among Jiwo adalah orang pertama yang membawa ajaran agama
Islam dan merupakan orang pertama yang merubah perilaku warga daerah/desa Rowosari
dari keterbelakangan menjadi lebih maju, karena Among Jiwo sebagai pemimpin
spiritual, sufi, mubalig dan da’i pada zamannya, juga sebagai pemimpin rakyat,
selain daripada itu Among Jiwo merupakan orang pertama yang memberi nama daerah
tersebut menjadi Desa Rowosari.
Di dalam daerah makam tersebut, dahulu/sampai
tahun 1990-an masih ada sisa dari pohon yang tinggi dan besar seperti pohon
beringin, namanya adalah pohon Trenggulun, ada pula yang menyebutnya
pohon Kethos (kethos adalah bunga/buah dari pohon trenggulun), sekarang
pohon tersebut sudah tidak ada, karena tumbang dimakan usia.
Menurut cerita dahulu setiap ada burung yang
terbang di atas makam tersebut dapat dipastikan burung itu akan jatuh dengan
sendirinya. Selain daripada itu secara ghoib dibagian utara makam Among Jiwo (+
1-2 meter) terdapat pintu harta karun yang ada boneka emasnya/golek kencono dan disebelah baratnya ada
sumur/perigi yang sewaktu-waktu dapat terlihat. Menurut kepercayaan masyarakat (orang-orang
tua) sekitar pada waktu itu, jika ada warga yang melihat sumur tersebut dalam
keadaan airnya penuh/meluap, maka orang tersebut rejekinya akan banyak, sedangkan
jika air sumurnya dalam / dangkal / surut / asat (bhs.jawa), maka orang
tersebut rejekinya kurang baik.
Pada waktu dulu makam Among Jiwo banyak dikunjungi
oleh masyarakat, khususnya pada hari Kamis Wage - Jumat Kliwon, baik dari
daerah sekitar maupun dari daerah-daerah lain, karena makam Among Jiwo sangat
dikeramatkan, bahkan menurut cerita bahwa Presiden RI pertama (Bung Karno)-pun
pernah berziarah ke makam Among Jiwo.
Tanah lokasi pemakaman Among Jiwo (Tenggulun/Trenggulun) berbentuk bokong
Semar. Dikatakan bokong Semar,
karena lokasi tanah batas bagian utara benbentuk cembung seperti bokong Semar. Untuk masuk ke lokasi makam tersebut sebenarnya (menggunakan
tata krama) harus melalui sebelah timur dari makam, yang
dahulu ada pintu (gapuranya) dan disediakan padhasan / tempat air untuk wudlu (bersuci) sebelum
masuk ke lokasi/area
makam tersebut. Di area makam dulu juga tersedia langgar/musholla
dan sebuah pesanggrahan yang memang
disediakan untuk istirahat bagi tamu yang datang berziarah, namun sekarang
semuanya sudah tidak ada lagi, yang tersisa hanya 3 (tiga) makam tua, yaitu
makam Among Jiwo dan kedua pengawalnya (Dimas Rokodimerto dan Dimasajeng
Rokodimerto) dan 1 (satu) makam lagi, yaitu makam pemilik tanah makam tersebut
(mbah Mohtar).
Meskipun
makam-makam tersebut (3 makam kuno) sudah tidak terawat dengan baik, akan
tetapi hingga saat ini makam Among Jiwo oleh sebagian masyarakat masih dianggap
keramat, sehingga masih banyak orang
yang datang untuk berziarah ke makam tersebut, baik warga lokal maupun dari
luar daerah.
Dalam Islam, aktivitas ziarah ke makam keramat berkaitan erat dengan
konsep kewalian atau kesucian. Para nabi, wali, dan orang-orang suci atau
orang-orang yang dikenal memiliki ketakwaan tinggi dipercaya memiliki tempat
mulia di sisi Allah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah di dalam
Al-Quran surat Al-Hujarat (49) ayat 13, yang artinya, “Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”. Menurut
Muhaimin A.G. (dalam Suprianto, 2007: xv), seorang nabi atau wali adalah model
tentang orang yang telah menempuh hidup mulia sekaligus model untuk diteladani
dan dijadikan panutan bagi orang yang ingin menempuh hidup mulia. Sebagai
model, mereka layak dihormati. Penghormatan ini bisa mengambil berbagai bentuk.
Salah satunya dengan mengunjungi kuburannya tempat sang teladan
diperistirahatkan untuk terakhir kalinya. Di sana, orang berdoa dan
mendoakannya. Apabila doa mereka dikabulkan oleh Allah, tambahan pahala dan
kemuliaan (karamah) dari orang itu
akan mengalir kepada yang didoakan, dan menambah tumpukan pahala dan kemuliaan
yang ada padanya yang sesungguhnya sudah penuh karena ketakwaan dirinya. Seakan
tidak tertampung, akumulasi kemuliaan itu lalu meluber kepada peziarah yang
berdoa. Luberan kemuliaan itulah yang disebut orang sebagai berkah. Berkah itu, bagi yang
merasakannya, menggejala dalam berbagai bentuk, seperti kemudahan usaha,
perolehan keuntungan, terbebas dari derita, sembuh dari penyakit, hilangnya
stres, ketenangan hidup, dan bentuk-bentuk lain.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa karamah (keramat) bisa terjadi ketika seseorang itu berlabel wali,
kiai, ulama, baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal dunia karena
berbagai kelebihan yang dimilikinya dan masyarakat mengakui dan merasakannya.
Dari survei dan pengamatan penulis di makam tersebut telah ditemukan batu nisan kuno
yang hanya ada di dua makam yang berada di samping makam Among Jiwo, yaitu makam pengawal
Among Jiwo, sedangkan di makam Among Jiwo sudah tidak ada batu nisannya,
diperkirakan batu nisan milik Among Jiwo tersebut
telah diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Dari jenis batu nisan kuno tersebut jelas bukan
batu yang berasal dari daerah setempat, akan tetapi menurut penulis jenis batu
nisan kuno tersebut berasal atau dibawa dari daerah timur, Solo dan sekitarnya,
karena menurut ceritera Among Jiwo asalnya dari keluarga kraton Solo.
Batu nisan kuno terebut berbentuk segi empat dan
telah diberi nama dengan tulisan huruf jawa kuno, yang terbaca :
1.
Dimas Rokodimerto dan
2.
Dimas Ajeng Rokodimerto.
Tulisan huruf jawa kuno tersebut ketika itu (tahun
1990-an) dibaca oleh orang tua/ibu penulis (alm. Ibu Hj. Taerah Soegiono) dan
penulis abadikan untuk sejarah, akan tetapi tahun meninggalnya dibatu nisan
kuno tersebut kedua-duanya tidak tercantum.
2.
Candi.
Bekas bangunan candi tersebut letaknya ditengah
persawahan dukuh Candi + 500 m dari jalan/masjid
Baiturrahman Candi ke arah barat. Ditengah sawah tersebut ada gundukan tanah yang tinggi berbentuk segi empat dan di tempat tersebut masih ada
bukti banyak batu/batu-bata yang berukuran besar.
Menurut ceritera/mitos, tempat tersebut dahulunya
akan dibangun sebuah candi, di mana
pembangunannya harus dapat terselesaikan dalam satu malam sebelum ayam berkokok
dan sebelum orang bangun dari tidurnya (seperti ceritera Pronocitro dan
Rorojonggrang membangun candi Prambanan).
Ketika malam tiba mulailah candi itu untuk
dibangun/didirikan, karena sipemohon (perempuan) itu tidak menyukai dengan
sipembuat candi (lelaki), maka siperempuan merekayasa dengan tujuan candi
tersebut gagal untuk dibangun, dengan cara siperempuan tersebut menyuruh orang
agar nanti pada 2/3 malam untuk mengethok-kan/ memukul-mukulkan wakul/cething (tempat untuk mencuci
beras/tempat nasi) ketanah, dan orang yang disuruh untuk memukul-mukulkan wakul/cething ketanah tersebut adalah
orang-orang dukuh Ndruwolong/Nderwolong Desa Wiyorowetan.
Memasuki 2/3 malam dilaksanakanlah rekayasa
tersebut, maka pembagunan candi yang dipredikasikan pada pagi hari akan menjadi
candi yang megah dan indah, seketika itu harus dihentikan dan pembangunan candi
menjadi gagal. Kegagalan ini membuat marah sipembuat candi dan seketika itu
pula dia mengeluarkan sumpah serapah/mengutuk :
“Siapapun yang telah menggagalkan aku membangun candi ini, maka dia dan
keturunannya akan hidup miskin dan jika dia perempuan akan menjadi perawan tua”.
Cerita hal tersebut memang sempat penulis saksikan
sendiri (tahun 1970-1980) kehidupan masyarakatnya masyoritas dalam keadaan
miskin/tidak mampu, dan gadis-gadis desa Wiyorowetan, khususnya dukuh Ndruwolong/Nderwolong banyak yang
menjadi perawan tua, namun cerita tersebut dengan adanya perkembangan dan
kemajuan zaman seperti sekarang ini sudah tidak terbukti lagi.
Sampai saat ini penulis belum menemukan bukti tentang siapa nama
sebenarnya sipembuat candi tersebut dan siapa nama perempuan yang meminta
dibuatkan candi tersebut.
3.
Makam-Makam.
1.
Makam yang masih aktif :
i.
Makam/Pemakaman Umum Candi, baik yang terletak di
sebelah utara siyer/sungai kecil maupun yang di sebelah selatan siyer/sungai
kecil.
ii.
Makam keluarga H. Nachrawi (di sebelah timur makam Candi).
iii.
Makam / Pemakaman Umum Kacangan.
iv.
Makam / Pemakaman Umum dukuh Bong.
v.
Makam keluarga H. Durachman/makam keluarga penulis (di sebelah selatan makam/pemakaman Bong).
2.
Makam
yang tidak aktif :
i.
Di daerah
Wonoroto, Candi. Makam ini sebenarnya dahulu bukanlah makam/kuburan manusia
akan tetapi makam/ kuburan tempat mengubur gaman-gaman
(senjata) milik warga yang khawatir dirampas oleh Belanda.
ii.
Makam
Among Jiwo.
iii.
Kuburan
seng, di daerah Tegalan Bong.
iv.
Bong Cino
Jagalan (disekitar Kantor Kecamatan/di belakang SD Negeri Rowosari 03 dan di
sebelah selatan jalan raya Ulujami).
v.
Makam di tengah sawah Temiyang/Kedungombo (2 makam orang Rowosari yang ditembak
mati di tempat dan dimakamkan di tempat
itu juga pada jaman Belanda, yaitu makam mbah Said kakek/simbah dari pak
Suyitno, bu Khufiyah dan makam mbah Suratman – penulis belum mendapatkan data
siapa mbah Suratman tersebut).
3.
Makam yang
dihilangkan/sudah tidak ada :
i.
Disekitar rumah (alm. Hj. Kasridah)/ Bpk. H. Yasir, Bpk. H.
Casuri, dan Ibu Ayu Marlina (batas sungai).
ii.
Di sekitar rumah Bpk. H. Slamet Rincis – Bpk. Wiluyo/Bpk. Rusyanto (Panggang Jaratan).
iii.
Disekitar
rumah Bpk. Darsono/ Bendono (belakang mushola Panggang)
iv.
Disekitar rumah Bpk. H. Nasir – Bpk. H. Mundapar (Bandaran).
v.
Disekitar TK ABA (Kauman/ Bandaran).
vi.
Di belakang Puskesmas, ada yang menyebut bekas
makam mbah Jagal Bilowo.
vii.
Disekitar rumah Bpk. Katibun (Jagalan lor).
viii.
Disekitar SMP/SMK
Muhammadiyah (Bong barat).
ix.
Disekitar
rumah Bpk Wito (Bong timur).
4. Masjid Jami Ulujami.
Masjid Jami Ulujami merupakan pusat masjid untuk
tingkat kecamatan Ulujami yang dibangun
oleh Among Jiwo pada tahun 1500-an dan mempunyai nilai sejarah yang
sangat tinggi berkaitan dengan berkembangnya agama Islam masuk di wilayah
kecamatan Ulujami (Pemalang bagian timur).
Masjid Jami’ Ulujami (sekarang terkenal dengan nama, Masjid As-Salam/Masjid
Kidul) yang sekarang ada merupakan
masjid bangunan kedua pindahan dari masjid Jami yang pertama berdiri.
Dahulu Masjid Jami Ulujami letaknya di sekitar pasar/depan Kantor Pegadaian
(sekarang jadi pertokoan/kios-kios pasar) dan bagian pengimaman (barat)
bangunannya sampai dekat ke sungai, dan keadaan jalan pada waktu itu tidak lurus dari jalan raya sampai
ke Pegadaian seperti sekarang ini, akan tetapi jalannya belok ke arah timur +
50 m (di depan toko Bpk. H. Nur Rosyid), lalu belok ke utara sampai jalan
(depan Pegadaian seperti yang sekarang). Dengan berbagai pertimbangan dan pendapat dari para
tokoh agama Islam dan masyarakat pada waktu itu, antara lain karena masjid kurang luas dan terlalu dekat dengan pasar, maka
akhirnya masjid Jami yang pertama kali berdiri yang
berlokasi di dekat pasar tersebut
dipindah ke arah barat + 100 m (tempat masjid sekarang) yang pada waktu itu dalam pembangunannya dipelopori oleh keluarga
H. Abdurahman/H. Nukman dan didukung oleh keluarga H. Mashudi serta masyarakat,
maka berdirilah Masjid Jami Ulujami yang beberapa kali telah mengalami renovasi bahkan dipugar menjadi
seperti keadaan sekarang ini, masjid tersebut sekarang dikenal dan diberi nama
Masjid As-Salam (Masjid Kidul).
Mengapa dinamakan Ulujami ? Kata Ulujami
mempunyai makna tersendiri, yaitu terdiri dari kata :
a.
Ulu (bhs. Jawa) berarti
Kepala, Pemuka, Pemimpin.
b.
Jami’ dari kata Jama /
Jamaah (bhs. Arab-Jawa) berarti rombongan orang banyak yang melakukan
ibadah.
Sehingga kataUlujami
mengandung pengertian : tempat tinggalnya para pemimpin bagi orang-orang yang mau untuk beribadah/Pimpinan-pemimpin Agama (Islam).
Kata Ulujami, kemudian oleh pemerintah pada waktu itu digunakan untuk
nama wilayah kecamatan di kabupaten Pemalang dan nama tersebut adalah Kecamatan
Ulujami yang berlangsung hingga sekarang.
Pada sekitar tahun 2000-an, karena ada kepentingan organisasi
keagamaan antara Muhammadiyah (MD) dengan Nahdatul Ulama (NU) dalam mengelola
kepengurusan Masjid Jami Ulujami, maka pihak Nahdatul Ulama (NU) dengan alasan
perkembangan masyarakat dan jumlah penduduk desa yang semakin bertambah, maka
perlu dibangun masjid lagi agar dapat memenuhi kebutuhan ibadah bagi umat Islam
di Desa Rowosari, di mana masjid Jami Ulujami (Masjid As-Salam/Masjid Kidul) sudah tidak mencukupi lagi untuk
menampung sholat berjamaah, baik sholat Jumatan maupun sholat Tarawih, apalagi
untuk kepentingan hari raya/sholat Idul Fitri maupun Idul Adha, oleh karena itu
dengan semangat bergotong-royong masyarakat Desa Rowosari, dibangunanlah sebuah
masjid lagi di dukuh Candi dengan nama Masjid Baiturrahman yang peresmiannya
dilaksanakan pada tahun 2003. Yang kemudian masing-masing masjid tersebut
mendapat stigma yang berbeda, kalau Masjid Jami As-Salam Ulujami (Masjid Kidul) adalah identik dengan Muhamadiyah
(MD), sedangkan Masjid Baiturrrahman (Masjid Lor) adalah identik dengan Nahdatul Ulama (NU). Namun pada
kenyataanya warga masyarakat Desa Rowosari dalam melaksanakan ibadah (sholat)
bebas menentukan di mana mereka ingin melaksanakannya. Masih banyak warga NU
yang melaksanakan ibadah (sholat) di Masjid Kidul
dan ada pula warga MD yang melaksanakan ibadah (sholat) di Masjid Lor.
5. Klenteng.
Klenteng.
atau Kelenteng adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa
di Indonesia
pada umumnya. Dikarenakan di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional
Tionghoa sering disamakan sebagai penganut agama Konghucu,
maka klenteng dengan sendirinya disamakan sebagai tempat ibadah agama Konghucu.
Di beberapa daerah, klenteng juga disebut dengan istilah tokong.
Kelenteng yang berada di Desa Rowosari bernama Kelenteng Tjeng
Gie Bio, Klenteng tersebut didirikan pada 1738 Masehi oleh tiga saudagar
Cina, yaitu Mpek Tan Giok Hwie, Mpek Tan Giok Koen, dan Mbah Jagal Bilowo.
Kelenteng Tjeng Gie Bio yang terletak di Desa Rowosari merupakan salah satu
kelenteng tertua di wilayah pantai utara (pantura) Jawa Tengah.
Keadaan kelenteng yang sekarang ini sudah tidak semegah pada waktu
dulu, hal ini terjadi karena sebagian bangunan kelenteng telah terpotong akibat
adanya pelebaran jalan. Padahal pada waktu dulu kelenteng tersebut mempunyai
halaman yang cukup luas, yang dapat digunakan untuk nanggap wayang pada setiap acara cap go meh (15 hari setelah hari raya/tahun baru Imlek).
6.
Pasar
Rowosari/Ulujami dahulu merupakan wilayah pusat perdagangan
dari berbagi daerah. Pasar Ulujami merupakan pasar terbesar di Kecamatan
Ulujami dan merupakan pasar ke dua terbesar setelah pasar Comal untuk wilayah kawedanan Comal/Pemalang
bagian timur.
Disetiap pusat perdagangan dapat dipastikan ada
fasilitas pendukung lainnya seperti terminal/tempat pemberhentian kendaraan
(pada waktu itu masih menggunakan alat transportasi gerobak
sapi/kerbau, kemudian berkembang
menggunakan delman/andong/dokar yang ditarik kuda),
terminalnya disebut Koplak.
Koplak
atau terminal delman/ andong/dokar pada waktu itu terletak di halaman depan dari pasar Ulujami di tepi jalan raya (sekarang
jadi pertokoan). Kalau melihat pada saat sekarang Koplak dahulu letaknya mulai pada
deretan toko bangunan H. Saeron/BMT ke timur merupakan batas toko paling
selatan (toko paling depan menghadap ke selatan) dan deretan toko Cong
Lim/sebelah timur pertokoan pasar ke utara merupakan batas toko paling timur,
sedangkan batas bagian selatan dan bagian barat berbatasan dengan jalan atau
dengan kata lain Koplak pada waktu itu
menjorok + 50 m ke utara (panjang 50 m X lebar 50 m = + 2.500
m2).
Selain alat transportasi
darat tersebut juga ada alat transportasi
air yaitu kapal atau perahu atau sampan yang digunakan masyarakat untuk
menjalankan roda perekonomian melalui aliran sungai Sragi, bahkan para pedagang maupun warga masyarakat
untuk menuju pasar Ulujami-Sragi atau sebaliknya mereka menggunakan alat
trasnportasi air (kapal/perahu/sampan), bahkan sampai
ke muara/laut, dengan melalui beberapa desa yang dilalui aliran sungai Sragi, antara
lain Srengas (Samong), Seceleng (Tasikrejo), demikian juga untuk wilayah
desa-desa di wilayah Kabupaten Pekalongan yang berbatasan dengan Kabupaten
Pemalang, seperti Rembun, Tanjung, Sesumur, Blacanan dan sekitarnya.
Menurut Prof. Dr. W.E. Soetomo Siswokartono, M.Pd., dalam buku
Rekontruksi Sejarah Kabupaten Pemalang (Sebuah Studi Penelitian Sejarah
Daerah), mengatakan bahwa Sungai Sragi-sungai batas Kabupaten Pekalongan dan
Kabupaten Pemalang, sungai ini sampai sekarang dapat dilayari sampai jauh ke
pedalaman.
Di pusat perdagangan/pasar biasanya dilegkapi pula dengan tempat ibadah, baik masjid maupun sarana/prasarana yang
lainnya, terutama masjid dan klenteng, karena sejak jaman dahulu yang menguasai
perdagangan
adalah orang-orang etnis cina, maka jelas tempat ibadah bagi mereka tersedia di samping adanya masjid
sebagai tempat ibadah bagi orang
Islam.
Dilihat dari sudut rasa toleransi beribadah atau
saling menghormati antar agama, justru masyarakat pada waktu dulu jauh lebih
baik dibanding masyarakat sekarang, terbukti jarak antara masjid dan klentang
yang ada pada saat itu hanya berjarak beberapa meter saja dan tidak ada
permasalahan atau ketika itu tidak ada rasa keberatan dari salah satu agama
untuk membangun tempat ibadah tersebut. (Klenteng dan Masjid jaraknya tidak
lebih dari 200 meter), karena Masjid Jami’ Ulujami yang pertama
dibangun/didirikan di depan Kantor Pegadaian (sekarang jadi pasar/kios-kios
pasar).
Berbeda dengan situasi jaman sekarang, jika ada kaum minoritas akan
membangun tempat ibadah di suatu tempat kaum mayoritas, maka dapat dipastikan
akan mendapat penolakan keras dari kaum mayoritas. Bentuk penolakan ini jelas
merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia dan bentuk pelanggaran hukum
kebebasan beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk penolakan ini
juga merupakan bentuk “rasa ketakutan dan
rasa kekhawatiran” dari kaum mayoritas akan berkurangnya anggota atau umatnya
yang akan beralih ke agama lain, padahal hal demikian tidak menjamin
kebenarannya. Namun apabila kaum mayoritas sudah yakin dan dapat membuktikan
kalau agama yang dianutnya itu agama
yang paling baik dan tokoh agamanya dapat membuktikan dan dapat mensejahterakan
umatnya, maka dapat dipastikan meskipun ada aliran/agama lain yang mempengaruhi
dan membangun tempat ibadah di wilayah kaum mayoritas, hal demikian tidak akan menggoyahkan keimanannya dan justru
akan semakin menebalkan keimanan dan keyakinannya akan agamanya tersebut yang
kemudian di antara mereka akan dapat
saling tolerasnsi dalam hidup beragama, yang pada gilirannya akan menumbuhkan
rasa nasionalisme yang tinggi dan dapat mempersatukan umat beragama untuk
berbangsa dan bernegara.
Namun bagi masyarakat Desa Rowosari rasa toleransi dan saling
menghormati antar umat beragama telah dapat terwujud dengan baik, terbukti
sejak jaman dulu di Desa Rowosari telah ada tempat ibadah selain masjid dan
mushola, yaitu adanya klenteng dan gereja.
7.
Pegadaian
Selain pasar sebagai pusat perdagangan dan perekonomian pada waktu
dulu, tidak terlepas pula adanya lembaga perekonomian lainnya yang mendukung
kegiatan perekonomian masyarakat yang letaknya tidak jauh dari pasar, yaitu
suatu lembaga kridit/gadai yang bernama Pegadaian.
Usaha gadai
di Indonesia berawal dari berdirinya Bank Van Leening di zaman VOC yang bertugas
memberikan pinjaman uang tunai kepada masyarakat dengan harta gerak. Dalam
perkembangannya, sebagai bentuk usaha pegadaian
banyak mengalami perubahan demikian pula dengan status pengelolaannya telah
mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan perubahan peraturan yang
berlaku. Berdasarkan Staatblad 1901 No.131 tanggal 12 Maret 1901, maka pada
tanggal 1 April 1901 berdirilah Kantor
Pegadaian yang berarti menjadi Lembaga Resmi Pemerintah.
Kantor
Pegadaian Ulujami letaknya disekitar pasar Ulujami sebagaimana keadaan
sekarang, hanya bangunan gedung/kantor Pegadaian yang sekarang sudah dilakukan
perubahan dengan bagunan baru/moderen. Pada mulanya bangunan gedung Kantor
Pegadaian diseluruh nusantara bentuknya sama seperti foto/gambar di atas,
termasuk Kantor Pegadaian yang berada di Desa Rowosari.
8.
Pusat
Hiburan
Di Desa Rowosari, selain adanya pusat perdagangan/perekonomian dan
tempat-tempat ibadah, juga ada tempat
untuk pusat kegiatan hiburan rakyat, biasanya ditempatkan di sekitar pasar
diareal parkir/koplak, di depan balai desa atau lapangan, selain daripada itu
ada juga tempat hiburan yang dibuat bangunan permanen, yaitu gedung bisokop yang
bernama “Santoso” tetapi ada yang menyebutnya “Sentosa”. Gedung bioskop ini dibangun
tahun 1950-an, setelah tahun 1965 gedung bioskop ini sudah tidak digunakan untuk
pemutaran film akan tetapi sempat digunakan untuk kegiatan pentas kesenian
hiburan rakyat, seperti ludruk dan ketoprak.
Gedung bioskop ini pada tahun 1970-an sudah tidak digunakan lagi,
baik untuk pemutaran film maupun untuk kegiatan hiburan kesenian rakyat/tradisional.
Baru pada tahun 1980-an bangunan tersebut digunakan lagi untuk usaha
bisokop/film, namun usaha tersebut tidak berjalan lama hanya sampai tahun 1985
dan sekarang bangunan tersebut digunakan untuk usaha sarang burung walet/lawet,
akan tetapi tidak berhasil justru digunakan sebagai sarang kelelawar.
Bangunan tersebut letaknya di Jl. Raya Ulujami, masuk wilayah dukuh
Bandaran, tepatnya di sebelah timur rumah bapak Tonglang dan disebelah barat
rumah bapak Purnomo (Yungho) atau 100 meter ke arah barat dari Pasar Ulujami.
9.
Pusat
Kegiatan Olah Raga
Selain adanya pusat kegiatan hiburan bagi masyarakat Desa Rowosari,
ada juga pusat kegiatan olah raga bagi warganya, yaitu sebuah lapangan olah
raga, namun Penulis belum mendapatkan data sumber mengenai pusat kegiatan olah
raga masyarakat pada saat Among Jiwo masih hidup, akan tetapi Penulis baru
dapat memaparkan mengenai keberadaan pusat kegiatan olah raga bagi
masyarakat jaman menjelang kemerdekaan ,
yaitu adanya lapangan olah raga yang terletak di Dukuh Jagalan, wilayah blok
Temiyang yang dikenal dengan nama ngebalan
(artinya tempat untuk bermain sepak bola), kemudian setelah tahun 1960-an
lapangan olah raga pindah di Dukuh Bong (sekarang jadi pusat perkantoran
kecamatan Ulujami : Kantor Dinas Pendidikan, Kantor Kecamatan, SD Negeri
Rowosari 2 dan 3, Kantor Koramil, BRI dan rumah warga).
Setelah lapangan tersebut dibangun
perkantoran, maka atas perjuangan pemuda Desa Rowosari pada waktu itu, maka lapangan
olah raga dibuat di Dukuh Candi/Pejaten dengan menggunakan tanah bengkok desa,
kemudian pada tahun 1977 lapangan tersebut digunakan untuk kepentingan kegiatan
olah raga atau kegiatan lainnya hingga sekarang.
10. Lumbung Padi
Disetiap desa pada waktu dulu diwajibkan untuk membuat Lumbung Padi,
termasuk di Desa Rowosari. Lumbung Padi adalah tempat atau gudang penyimpanan padi
bagi masyarakat desa guna persediaan pangan bagi masyarakat desa setempat dalam
menghadapi musim paceklik/krisis pangan.
Bangunan Lumbung Padi pada waktu itu dindingnya masih menggunakan
pagar bambu yang namanya gedek, belum
menggunakan tembok dan Lumbung Padi dibuat model panggung dengan tiang
penyangga menggunakan kayu atau ompak
(penyangga dari batu/semen)..
Lokasi Lumbung Padi pada waktu itu terletak + 50 m sebelah
barat dari Pasar Ulujami, tepatnya sekarang di sebelah timur Kantor BTM atau di
sebelah barat rumah milik Ibu Wan/Cik Wan.
2.
Hipotesa.
1.
Sosial ekonomi.
Berdasarkan
nama-nama wilayah di Desa Rowosari dan keadaan geografis, maka masyarakatnya
sudah mengenal pertanian, baik jenis padi maupun palawija, masyarakatnya hidup
teratur dan hidup menetap. Selain daripada itu masyarakat dukuh Panggang ketika
itu sebagian besar adalah produsen ikan olahan (ikan panggang, ikan pindang,
ikan asin dll), yang dipasarkan keberbagai daerah, baik menggunakan alat
transportasi darat (gerobak sapi/dokar) maupun air (kapal/perahu/sampan).
Desa
Rowosari yang letaknya di tepai sungai Sragi yang besar dan memiliki pelabuhan/bandaran serta adanya pasar, maka
disamping pertanian masyarakatnya tentu telah mengenal kehidupan
bisnis/perdagangan.
Sejalan dengan
perkembangan jaman masyarakat Desa Rowosari juga sudah banyak yang berkerja
pada instansi pemerintahan maupun swasta sejak jaman penjajahan hingga sekarang.
2.
Kultur.
Dengan
ditemukannya batu-batu nisan yang sudah mempunyai hiasan dan bertulsikan huruf jawa, huruf cina, disamping itu juga adanya
batu-bata yang berukuran besar (untuk candi), maka dapat disimpulkan bahawa
tingkat kebudayaan masyarakat Desa Rowosari pada waktu itu relatif sudah maju.
Batu
nisan kuno yang berada di makam Among Jiwo yang sudah diukir/ditulis dengan
huruf jawa, merupakan karya seni budaya yang sudah maju, termasuk pula batu
nisan etnis cina yang berada dibelakang SD Negeri Rowosari 03.
Selain hasil budaya
tersebut, masyarakat Desa Rowosari juga menguasai seni budaya tradisional
lainnya, seperti musik Terbang Genjring,
Sintren, Kuntulan, Jaran Eblek, Pencak Silat, Lesbumi, namun seiring dengan perkembangan jaman kesenian
tradisional tersebut sudah tidak diminati oleh generasi penerus dan sudah
hilang dengan sendirinya karena terkikis jaman.
Sedangkan budaya :
a.
Gotong-royong membangun rumah, yaitu kegiatan masyarakat untuk membantu memugar atau mendirikan
rumah dengan tanpa biaya tenaga kerja yang dilakukan secara bergantian dengan
penuh tanggung jawab dan keihklasan.
b.
Ngarak damar lilin (pawai
lampu lilin), yaitu acara pawai mengiring anak yang dikhitan/disunat dan
diiringi pula dengan musik terbang
genjring (musik rabana), biasanya ngarak
damar lilin dimulai dari masjid dan berakhir di rumah yang mempunyai
hajatan.
c.
Ruwatan, adalah satu
upacara tradisional supaya orang terbebas dari segala macam kesialan
hidup, nasib jelek dan supaya selanjutnya bisa hidup selamat sejahtera dan
bahagia.
Ruwatan yang paling
terkenal yang sejak zaman kuno diselenggarakan oleh nenek moyang adalah Ruwatan
Murwakala. Dalam ruwatan ini dipergelarkan
wayang kulit dengan cerita Murwakala, dimana orang-orang yang termasuk kategori
sukerto (antara lain anak tunggal/onthang-anthing)
diruwat/ disucikan supaya terbebas dari ancaman Betara Kala, raksasa besar yang
kejam dan menakutkan, yang suka memangsa para sukerto.
Di masa sekarang,
disebabkan oleh pengaruh perkembangan penalaran masyarakat dan semakin mantab
keyakinannya terhadap agama-agama modern, mengakibatkan penyelenggaraan upacara
ruwatan dianggap sesuatu yang tidak perlu lagi, mubadzir, pemborosan, tahayul,
dan sebagainya.
d.
Tingkepan adalah sebuah
acara adat yang dilakukan untuk permohonan bagi seorang perempuan yang baru
pertama kali hamil yaitu pada saat usia kehamilan memasuki bulan ke empat
(neloni) dan pada masa kehamilan memasuki bulan ke tujuh (mitoni), dengan
istilah neloni mitoni atau tingkepan.
Secara eksplisit tidak ada petunjuk yang dapat dijadikan dasar acara
tersebut, sehingga ada yang mengatakan acara itu sebagai perbuatan sesat
(bid’ah). Sebenarnya pelaksanaan tingkepan berangkat dari memahami hadis nabi
yang diriwayatkan Bukhori, yang menjelaskan tentang proses perkembangan janin
dalam rahim seorang perempuan. Dalam hadis tersebut dinyatakan bahwa pada saat
janin berumur 120 hari (4 bulan) dalam kandungan ditiupkan ruh dan ditentukan 4
perkara, yaitu umur, jodoh, rizki dan nasibnya. Sekalipun dalam hadis tersebut
tidak ada perintah untuk melakukan ritual, tetapi melakukan permohon pada saat
itu tidak dilarang.
Dengan dasar hadis tersebut, maka kebiasaan orang jawa khususnya
Yogya-Solo mengadakan upacara adat untuk melakukan permohonan agar janin yang
ada dalam rahim seorang istri lahir selamat dan menjadi anak yang sholeh / sholehah.
e. Brokohan
adalah salah satu adat tradisi Jawa untuk menyambut
kelahiran bayi. Upacara adat ini mempunyai makna sebagai ungkapan rasa syukur
dan suka cita penuh bahagia, karena bayi itu telah lahir dengan selamat. Kata brokohan
merupakan kata yang diambil dari kata (Arab) “barokah” yang artinya
mengharapkan keberkahan. Rangkaian acaranya didahului dengan mendhem/mengubur ari-ari
yang dilanjutkan dengan membagi-bagi sesaji brokohan kepada saudara dan
tetangga.
f. Sepasaran
adalah salah satu adat tradisional Jawa waktu bayi
berumur 5 hari. Umumnya diselenggarakan pada sore hari dengan membagi-bagi
jajanan pasar yang disebut dengan “juadah pasar” kepada saudara dan
tetangga.
g. Puputan adalah salah satu tradisi acara kelahiran bayi dalam budaya Jawa.
Upacara puputan bertujuan memohon keselamatan bagi bayi. Puputan
dilaksanakan pada saat tali puser bayi putus atau puput, berupa kenduren,
bancakan, dan pemberian nama bayi. Acar ini biasanya dilaksanakan setelah
magrib.
h. Ngedun-duni
atau Tedhak Siten atau upacara Turun Tanah adalah salah
satu upacara adat budaya Jawa untuk anak yang berusia 7-8 bulan, di daerah lain di Indonesia juga dikenal
upacara adat turun tanah ini dengan istilah yang berbeda. Upacara ini
mewujudkan rasa syukur karena pada usia ini si anak akan mulai mengenal alam
disekitarnya dan mulai belajar berjalan.
Dalam upacara adat ini ada beberapa tahapan yang harus dilalui
oleh si anak, dimana tiap tahap atau proses tersebut memiliki nilai-nilai
budaya yang cukup tinggi. upacara Ngedun-duni/Tedhak
Siten ini sendiri dalam prosesinya memerlukan uba rampe yang beraneka
ragam, sekali lagi dalam setiap uba rampe yang dipergunakan ini juga memiliki
makna yang cukup dalam.
Dalam budaya Jawa, upacara ngedun-duni atau tedhak siten adalah ritual yang sama pentingnya dengan selamatan
kelahiran, pernikahan atau kematian. Namun tradisi menurunkan bayi untuk
menginjakkan kaki ke tanah ini sudah jarang dilakukan sehingga hampir punah.
i.
Sedekah Bumi adalah salah
satu adat tradisi budaya Jawa yang diselenggarakan setelah panen padi, sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas keberhasilan menanam padi dan mendapat
hasil yang baik.
j.
Nutu adalah suatu proses
kegiatan menumbuk/memecah kuit padi untuk dijadikan beras.
Alat untuk menumbuk padi namanya Lumpang dan Lesung serta alu.
i.
Lumpang.
Lumpang,
adalah alat atau tempat untuk menumbuk padi yang
terbuat dari kayu atau batu dengan lubang berbentuk lingkaran. Lumpang biasanya
digunakan nutu untuk satu orang.
Kata lumpang ada yang mengartikan atau singkatan dari kata alu sing temumpang (alu/antan yang
menumpang/ diatasnya).
Lumpang selain untuk menumbuk padi juga
dapat digunakan untuk menumbuk kopi, jagung, singkong, kacang dan lain-lain.
ii.
Lesung.
Lesung, adalah alat atau tempat untuk menumbuk padi yang terbuat dari kayu
dengan lubang yang panjang / memanjang dan/atau dengan tambahan lubang yang
bulat.
Lesung bisanya digunakan nutu untuk lebih dari satu orang.
iii.
Alu adalah alat penumbuk
pada lumpang dan lesung yang terbuat dari kayu bebentuk selinder panjang
(antan, bhs. Ind).
k.
Mipis Jamu, adalah suatu
proses menghaluskan bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat jamu
tradisional, seperti kunyit, kencur dll.
Alat untuk menghaluskan/ menumbuk
bahan-bahan jamu namanya pipisan,
terbuat dari batu alam. Perlengkapan alat ini terdiri dari 2 (dua) bagian,
yaitu alas untuk menumbuk/menggilas bahan jamu dan alat tumbuk/penggilasnya.
Alas biasanya berbentuk kotak/segi empat dengan bagian atas lebih lebar
dibanding dengan bagian bawahnya, sedangkan alat tumbuk/penggilasnya berbentuk
selinder.
l.
Nabuh Bedug
Bedug adalah alat musik
tabuh seperti gendang.
Bedug merupakan instrumen musik tradisional yang telah digunakan sejak ribuan
tahun lalu, yang memiliki fungsi sebagai alat komunikasi
tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik. Di Indonesia,
sebuah bedug biasa dibunyikan untuk pemberitahuan mengenai waktu salat atau
sembahyang. Bedug terbuat dari sepotong batang kayu besar atau pohon enau
sepanjang kira-kira satu meter atau lebih. Bagian tengah batang dilubangi
sehingga berbentuk tabung besar. Ujung batang yang berukuran lebih besar
ditutup dengan kulit binatang yang berfungsi sebagai membran atau selaput
gendang. Bila ditabuh, bedug menimbulkan suara berat, bernada khas, rendah,
tetapi dapat terdengar sampai jarak yang cukup jauh.
Di Desa Rowosari kegiatan Nabuh Bedug masih dilakukan hanya di
Masjid Baiturrahman Candi (masjid lor), sedangkan Masjid Jami’ As-Salam (masjid
kidul) sudah tidak menggunakan bedug
lagi.
m.
Nabuh Kentongan
Kentongan
adalah alat bunyi (alat komunikasi tradisional)
yang terbuat dari kayu.
Kegunaan kentongan antara lain sebagai
tanda alarm, alat komunikasi jarak jauh, penanda azan (waktu sholat), maupun
tanda bahaya.
Dahulu di Desa Rowosari kentongan selalu ada di Balai Desa, pos
ronda, mushola/langgar/surau, dan di masjid sebagai pendamping bedug. Pada saat ditabuh
(dibunyikan/dipukul) berfungsi sebagai alat komunikasi masyarakat, namun
sekarang sudah tidak ada lagi.
n.
Ngobong menyan/dupo, merupakan suatu kegiatan ritual membakar kemenyan atau dupa dengan
menggunakan tempat yang namanya anglo.
Biasanya menyan/dupa dibakar pada
saat menjelang malam/magrib dengan memanjatkan doa-doa dan dibarengi pula
dengan memasang sesaji pada saat setiap malam Jumat kliwon atau pada
acara-acara tertentu,
Selain hal tersebut
di atas, hasil kebudayaan dibidang kerajinan tradisional, seperti :
a.
membuat lengkong, yaitu sesaji yang ditaruh diatas
pelepah pisang yang dibuat/berbentuk segi empat. Lengkong yang diberi tali/tutus cara memasangnya/meletakkannya
biasanya digantung, sedangkan yang tanpa diberi tali/tutus diletaknnya ditempat yang datar.
Sesaji tersebut diletakkan di tempat-tempat tertentu, seperti sudut
rumah, sudut sawah yang akan dipanen, jembatan, pohon yang besar. Dibuatnya lengkong biasanya ketika akan
melaksanakan hajatan, tasyakuran atau panenan,
b.
membuat kiso yaitu semacam tas yang dibuat dari blarak/daun kepala) yang digunakan untuk
tempat nasi dan lauknya ketika ada hajatan sebagai berkat angsul-angsul.
c.
membuat bleketepe ada yang menyebut dlep-pepe, yaitu anyaman daun kelapa.
Daun kelapa yang ketika dianyamnya
dengan cara dibuka/lebar, namanya bleketepe,
sedangkan anyaman daun kelapa yang daunnya tidak dibuka namanya widik.
Baik bleketepe/dlep-pepe maupun widik
biasanya dibuat untuk digunakan pada acara perkawinan adat jawa yang dipasang
dipintu utama bagian atas sebagai pagar/penutup, namun kalau diperkampungan/didesa
dibuatnya bleketepe biasanya dapat digunakan
untuk alas lantai/tikar, penutup/pagar sumur, wc, atau kandang ayam,
d.
membuat rinjing, yaitu semacam tas yang dibuat
dari bambu yang digunakan untuk tempat makanan sebagai berkat walimahan.
e.
membuat tutus, yaitu tali kecil yang dibuat dari
bambu.
f.
membuat welit (rumbia), yaitu alat pelindung atap
rumah dari panas dan hujan.
Welit dibuat dari daun pohon bulung (sagu) ditata/diatur dan
pengikatnya memakai tutus.
g.
membuat kloso got, yaitu tikar yang dibuat dari sejenis rumput yang hidupnya
dirawa-rawa atau di tepi sungai.
Namun ada pula
yang membuat tikar/kloso dari daun
pandan.
h.
membuat lampit.
Lampit, adalah alas lantai seperti tikar yang dibuat dari kulit batang daun
sagu/bulung,
i.
membuat ani-ani, yaitu alat untuk menuai/memanen
padi. Kebanyakan ani-ani digunakan
oleh wanita/ibu-ibu.
Alat ini bentuknya kecil namun terbuat
dari 3 jenis benda padat, yaitu :
i.
dereyan merupakan bagian
yang tajam/pisau,
ii.
apan-apan merupakan tempat
dipasangnya dereyan. Tempat untuk
memasang dereyan terbuat dari kayu,
iii.
kulung merupakan tiang
tempat dipasangnya apan-apan sebagai pegangan
yang dijepit oleh jari. kulung terbuat
dari carang / ranting bambu.
k.
membuat jodang, adalah tempat jajan atau makanan
yang digunakan dan dibawa dengan cara dipikul pada saat acara sarahan pengantin.
Jodang terbuat dari kayu biasanya
berukuran panjang 150 cm, lebar 50 cm, dan tinggi 30-40 cm, cara membawanya
dipikul oleh 2 orang,
l.
membuat Lincak, adalah tempat duduk yang terbuat
dari bambu. Biasanya di rumah-rumah akan
menempatkan lincak di depan rumah atau beranda rumah.
Fungsinya adalah untuk tempat duduk beberapa orang sambil melakukan
aktivitas santai, misalnya, ”leyeh-leyeh”, ngobrol, kadangkala untuk menerima
tamu juga. Adakalanya lincak ditempatkan di halaman rumah di bawah pohon yang
rindang.
m.
membuat Damar Kurung, yaitu lampu hias/lampion
yang terbuat dari bambu dan kertas minyak warna-warni yang didalamnya diberi
lampu minyak (cemplik). Damar Kurung biasanya dipasang di sudut depan rumah-rumah dengan
cara digantung pada saat bulan puasa ramadhan menjelang hari raya Idul Fitri
sampai lebaran 1 minggu (syawalan),
sekarang semua tradisi budaya jawa itu
sudah semakin punah, namun ada sebagaian masyarakat yang masih mempertahankannya.
3.
Agama.
Sampai
saat ini penulis belum dapat memastikan agama apa yang dianut oleh masyarakat
Rowosari pada waktu sebelum kehadiran
Among Jiwo. Bukti yang ditinggalkan hanya :
1.Batu bata yang berukuran
besar (dilokasi candi).
2.Nisan kuno bertuliskan huruf
jawa (di lokasi makam Among Jiwo).
3.Nisan kuno etinis cina (lokasi dibelakang SDN
03 Rowosari).
Dengan
adanya kenyataan ini, penyusun lebih cenderung menduga bahwa agama yang dianut
oleh masyarakat Rowosari pada waktu itu adalah pemujaan kepada nenek moyang
dibuktikan dengan adanya batu bata berukuran besar atau diduga sudah mengenal
peradaban Hindu-Budha dan atau aliran kebatinan atau kejawen.
Tradisi kejawen yang
mengutamakan hidup berolah batin, menanamkan hal-hal spiritual dalam kehidupan sehari-hari
adalah sejak sebelum datangnya bangsa India (Hindu-Budha). Hindu-Budha datang
menambah khazanah hidup batin orang Jawa, memperhalus dan mempertinggi
peradabannya. Walaupun demikian sifat khas Jawanya tidak hilang, bahkan
unsur-unsur mistik Hindu-Budha berhasil dijawakan sehingga merasa benar-benar
itu adalah milik asli leluhur Jawa. Tradisi mengagungkan leluhur sudah
merupakan kepercayaan yang sangat kokoh dan sakral bagi masyarakat Jawa.
Kehidupan msitik animis-dinamis telah diperkaya dengan unsur-unsur mistik
mitologis Hindu-Budha, masyarakat Jawa diperkenalkan adanya sang Hyang Wenang
(Tuhan) dan Dewa-dewa dalam agama Hindu.
Barulah
setelah Among Jiwo melakukan siar agama Islam secara aktif, maka sebagian
masyarakat Rowosari kemudian memeluk agama Islam,
dengan metode siar agama yang “njawani”,
sehingga mendapatkan pengikut yang cukup banyak, dengan tidak menyerang kepada
aliran agama lain, meskipun dalam perjuangannya Among Jiwo banyak mendapat
tantangan dan tentangan, yang pada gilirannya mereka dapat menerima dan saling
menghormati satu dengan agama/aliran kepercayaan lainnya demi rasa kebersamaan
dan kerukunan umat beragama dalam hidup bermasyarakat yang tetap menjunjung
tinggi rasa “teposaliro” dan saling
menghormati terhadap ajaran/aliran agama/keyakinannya masing-masing, teramsuk
hadirnya agama orang etnis cina maupun agama lainnya.
Perkembangan agama
Islam semakin pesat dari waktu ke waktu. Dengan dipandegani oleh tokoh-tokoh
agama lokal, maka mulai didirikan tempat ibadah berupa langgar (mushola/surau) yang pada waktu dulu masih menggunakan
papan (lempeng. bhs.jawa) dan
berbentuk langgar panggung, antara lain yang penulis masih
sempat lihat tahun 1970-an adalah langgar/mushola
di Dukuh Bong, di tempat Bpk. K. Hari Sontong (orang tua KH. Ubaidillah), dan langgar/mushola di Dukuh Candi, di tempat
Bpk. Hirin, dan sekarang mushola tersebut sudah berubah menjadi mushola yang
permanen/tembok, sedangkan langgar/mushola
panggung yang tadinya masih ada sekarang sudah tidak ada, adalah langgar/mushola yang terletak di Dukuh
Jagalan (sekitar rumah Bpk. Mundorin/ust. Mundopar) dan langgar/mushola yang ada di Dukuh Panggang Sumur (sekitar rumah
Bpk. Bari), sedangkan langgar/ mushola
yang lainnya dibangun sudah seperti keadaan sekarang/tidak panggung.Mushola di
Desa Rowosari banyak dibangun mulai tahun 1990-an.
Tempat ibadah bagi
umat Islam Desa Rowosari terdiri dari :
1.
Masjid
Jami’ As Salam Ulujami, terletak di Kauman Dukuh Jagalan;
2.
Masjid
Baiturrahman terletak di Dukuh Candi;
3.
Masjid Al
Barokah, terletak di Dukuh Bong. (SMK Muhammadiyah)
Selain dari adanya
2 (dua) masjid besar tersebut di atas, di Desa Rowosari saat ini juga ada
mushola-mushola disetiap dukuhnya, yaitu :
Dukuh Candi :
1.
Mushola
Al Amin, terletak di sekitar rumah Bpk.
Ust. Ahmadin, Pejaten Baru;
2.
Mushola Al
Mubarokah, terletak di sekitar rumah Bpk. Toha, Pejaten;
3.
Mushola
…………., terletak disekitar rumah Bpk. Toyib, Pangkah Pejaten.
4.
Mushola H.
Abas, terletak di sekitar rumah Bpk. Ahus, yang lebih dikenal dengan Mushola
Pak H. Abas/Pak H. Maksum Abas;
5.
Mushola
Nurul Huda, terletak di sekitar rumah Bpk Utz. Sodiqon;
6.
Mushola Al
Fallah, terletak di sekitar rumah Bpk. Wahid;
7.
Mushola Al
Hidayah, terletak disekitar rumah Bpk. Hirin, yang lebih dikenal dengan Mushola
Mbah Musta’am;
Dukuh Bong :
1.
Mushola An
Nur, terletak di sekitar rumah Bpk. Slamet Mulyono.;
2.
Mushola Al
Khanan, terletak di sekitar rumah Bpk. KH. Ahmad, yang lebih dikenal dengan
Mushola Pak H. Ahmad;
3.
Mushola Al
Ma’arif, terletak di sekitar rumah Bpk. Hambali, yang lebih dikenal dengan Mushola
Pak H. Tarjono;
4.
Mushola Al
Maidah, terletak di sekitar rumah Bpk. Rohim, yang lebih dikenal dengan nama
Mushola Pak Rohim;
5.
Mushola
………., terletak di sekitar rumah KH. Turmudzi;
6.
Mushola Al
Mujahidin, terletak di sekitar rumah Bpk. KH. Ubaidillah, yang lebih dikenal
Mushola Pak H. Ubaya;
7.
Mushola Al
Quba, terletak disekitar rumah Bpk. H. Sapuan;
Dukuh Jagalan :
1.
Mushola An
Nur, terletak di sekitar rumah Bpk. Dasuki;
2.
Mushola
Riyadul Jannah, terletak di sekitar rumah Bpk. Kayani;
Dukuh Bandaran :
1.
Mushola Al
Mutaqin, terletak di sekitar rumah Hj. Saidah;
2.
Mushola Al
Manaar, terletak di sekitar rumah Bpk. A. Rozi;
3.
Mushola
…………., terletak disekitar rumah Bpk. Maliki, Kacangan.
Dukuh Panggang :
1.
Mushola
Bidayatul Hidayah, di sekitar rumah Bpk. Cartam.;
2.
Mushola Al
Haan., di sekitar rumah Bpk. Kasmari, Panggang Sumur;
3.
Mushola An
Nur, di sekitar rumah Bpk. H. Tohari;
4.
Mushola Al
Muthoharoh, terletak di sekitar TK Keweden;
5.
Mushola
Baitul Hidayah, terletak di sekitar rumah Bpk.
H. Wargam.’
Sedangkan tempat
ibadah bagi agama non muslim, yaitu agama Kong Hu Tju tempat ibadahnya Klenteng
terletak di sekitar Pasar Ulujami/Dukuh Bandaran dan bagi agama Nasrani, tempat
ibadahnya Gereja terletak di Dukuh Jagalan.
Kegiatan keagamaan
(Islam) yang sudah menjadi budaya turun temurun sejak diperkenalkan oleh Among
Jiwo pada masyarakat yang hingga sekarang masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat
Desa Rowosari adalah kegiatan Tahlilan,
Berzanjen, Manakipan, dan Mitoni, sedangkan kegiatan Takbir Keliling desa dengan membawa oncor/obor sekarang sudah punah.
Perkembangan agama
Islam di Desa Rowosari dari waktu ke waktu tidak akan terlepas dari adanya
campur tangan atau peran serta dari para tokoh besar agama (kiyai atau ulama)
yang ada pada jamannya. Among Jiwo sebagai tokoh besar yang pertama kali
memperkenalkan ajaran agama Islam ke masyarakat merupakan tokoh agama yang
menjadi panutan bagi umatnya.
Mengenai siapa tokoh-tokoh
agama Islam yang melakukan kegiatan siar agama di Desa Rowosari dan sekitarnya,
hingga sekarang Penulis belum dapat menyajikan secara sempurna. Lalu siapakah
nama-nama tokoh agama Islam setelah Among Jiwo?
Berikut nama-nama
tokoh agama Islam yang dapat Penulis data sampai April 2012, yaitu :
a.
Tokoh
agama Islam yang sudah meninggal dunia :
1.KH. Abdurahman (Bong);
2.Ky. Abdul Kholiq (Bong);
3.KH. Nukman (Candi);
4.KH. Mashudi (Jagalan);
5.KH. Abas (Candi);
6.KH. Muksin (Candi);
7.Ky. Muhidin (Candi);
8.Ky. Junaedi (Candi);
9.Ky. Syikin (Bandaran);
10.
Ky.
Musta’am (Bandaran);
11.
Ky. Hari
Sonthong (Bong);
12.
KH. Khanan
(Bong);
13.
KH. Nachrawi
(Jagalan);
14.
KH.
Mundakir (Bandaran);
15.
KH.
Turmudzi (Bong);
16.
KH.
Farochan (Candi);
17.
Ky. Yahya
(Candi);
18.
KH.
Ubaidillah (Bong);
b.
Tokoh
agama Islam yang masih hidup :
19.
KH. Maksun
Abas (Candi);
20.
Ky.
Mudlofir (Bandaran);
21.
Ky. Banani
(Bandaran);
22.
KH. Abu
Sahma (Candi);
23.
KH. Ahmad
(Bong);
24.
KH. Rachat
(Panggang).
Namun hingga sekarang Penulis belum dapat mengkompilasi siapa
nama-nama tokoh agama Islam dari kaum hawa yang berkiprah dalam siar agama
Islam di Desa Rowosari dan sekitarnya dari masa ke masa.
Dari catatan tersebut di atas tokoh agama Islam terbanyak berada di
Dukuh Candi, bahkan pada tahun 1980-an Dukuh Candi sempat terkenal dengan nama Kota Santri-nya Desa Rowosari.
BAB IV
CERITA RAKYAT
DAN SUMBER SEJARAH
Masuknya
agama Islam ke tanah Jawa, yang dibawa oleh kaum Ulama Sufi (mistikus Islam),
untuk beberapa abad tidak mampu menembus lingkungan kerajaan atau kraton yang
masih dipagari dengan kepercayaan Hindu-Kejawen. Sehingga dakwah Islam yang
dibawa oleh para Sufi dari daerah pesisiran pantai, yang secara geografis jauh
dari lingkungan kerajaan. Masayarakat pesisir yang cenderung memiliki watak
egaliter, tidak mengenal lapisan-lapisan masyarakat, cenderung menerima ajaran
Islam yang mengajarkan persamaan hak dan derajat manusia. Berawal dari sinilah,
keberhasilan dakwah Islam yang mengajarkan persamaan hak dan derajat manusia
disambut dengan gembira oleh rakyat awam, bahkan dianggap sebagai penerang dari
kegelapan. Tidak ada perbedaan antara rakyat dengan pejabat, semua manusia sama
derajatnya dimata Allah SWT.
Dalam
perkembangan dakwahnya, Islam akhirnya berhasil menjadi bagian hidup masyarakat
pesisir yang kemudian melahirkan komunitas baru yang berpusat di pesantren di
sepanjang pesisir pantai. Puncak keberhasilan dakwah Islam ditandai dengan
berdirinya kerajaan Demak dan rajanya yang pertama adalah Raden Patah dengan
gelar Sultan Syah Alam Akbar memegang pemerintahan selama 34 tahun (1475-1518).
Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalam
penyiaran dan penyebaran agama Islam di Jawa pada zaman dahulu dipelopori oleh
para mubaligh Islam yang lebih dikenal dengan sebutan “Wali”. Adapun para wali ini jumlahnya ada sembilan yang dianggap
merupakan kepala kelompok dari sejumlah besar mubaligh-mubaligh Islam yang
bertugas mengadakan operasi di daerah-daerah yang belum memeluk agama Islam.
Kerajaan
Demak sebagai pew
aris kerajaan Majapahit, peralihan dari kerajaan Jawa-Hindu ke kerajaan
Jawa-Islam berkat perjuangan para ulama Sufi yang bergelar Wali Tanah Jawa
(Walisongo). Kerajaan Demak-pun mewarisi tradisi kejawen pada umumnya, unsur
agama dan pejabat keagamaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kelengkapan kerajaan seperti kerajaan-kerajaan Jawa pada masa-masa seblumnya.
Masa kerajaan Demak dakwah dilakukan secara aktif oleh Wali Songo, dalam
menghadapi masyarakat yang komplek para wali mengambil kebijakan-kebijakan
khusus. Islamisasi dimulai dari kalangan istana dan tradisinya, sampai pada
seni, budaya dan sastra. Masa inilah awal pertemuan ajaran Islam dengan tradisi
dan budaya Jawa.
Peran kaum sufi dalam
penyebaran agama Islam sangatlah menonjol. Peralihan dari kerajaan Jawa-Hindu
ke kerajaan Jawa-Islam tidaklah lepas dari peranan ulama sufi yang dikenal
sebagai wali tanah Jawa (Walisongo). Melalui media dakwah tasawuf akhirnya
nilai-nilai Islam berhasil merasuk bagian dalam, sehingga banyak kearifan,
pandangan hidup yang oleh orang Jawa diklaim sebagai khas Jawa.
Penyebaran agama Islam
yang dibawa oleh kaum sufi memang tidak mudah, bahkan untuk beberapa abad tidak
dapat menembus kerajaan Jawa yang masih dipagari oleh kepercayaan Hindu-Budha.
Namun demikian perjuangan atau dakwah Islamiyah tidaklah berhenti begitu saja,
para juru dakwah tidak putus asa dan mengambil strategi baru dalam berdakwah.
Sasaran dakwah dialihkan ke daerah pesisir yang jauh dari pantauan kerajaan.
Bermula dari pindahnya sasaran dakwah inilah maka Islam mulai melangkah setahap
demi setahap, berangkat dari golongan bawah (wong cilik) di daerah pesisir yang bergitu welcome menerima kedatangan para juru dakwah dan menyambut baik
ajaran-ajaran Islam. Di daerah ini Islam tumbuh subur dan menjadi kekuatan
besar (dengan berdirinya pesantren-pesantren), yang akhirnya mampu menandingi
wibawa kerajaan.
Sejalan
dengan berkembangnya ajaran Islam, maka banyak pula bermunculan kaum santri/para juru dakwah yang
menjadi penyebar ajaran Islam salah satunya adalah Among Jiwo yang nama aslinya adalah Raden Mas Merto Truno. Oleh
beliaulah ajaran agama Islam pertama kali diperkenalkan di Rowosari khusunya, dan daerah-daerah lain
yang ada disekitar Desa Rowosari pada umumnya.
Rowosari
adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, Jawa
Tengah, yang terletak di jalur pantai utara (pantura) / jalan Daendeles. Desa Rowosari merupakan desa
yang letaknya paling ujung timur dari wilayah Kabupaten Pemalang dan berbatasan dengan
Kabupaten Pekalongan/Desa Rembun, di mana pembatasnya ditandai oleh aliran sungai Sragi. Jarak antara Desa Rowosari
ke kota Pemalang sejauh + 20 Km, sedangkan jarak dari Desa Rowosari ke
Kota Pekalongan jaraknya sejauh + 13 Km.
Di Desa
Rowosari ada sebuah daerah/tempat/wilayah yang sebagian besar orang tidak
mengetahuinya kalau daerah tersebut masuk wilayah Desa Rowosari, akan tetapi
banyak orang yang mengira kalau daerah tersebut masuk wilayah Desa Rembun
Pekalongan, hal ini dapat terjadi karena letak daerah tersebut berada di
sebelah timur aliran sungai Sragi, sehingga daerah tersebut tampak seperti
masuk wilayah Kabupaten Pekalongan.
Daerah
/ wilayah tersebut terkesan terisolir dari induknya, yaitu Desa Rowosari dan
masyarakatnya lebih dekat bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat Desa
Rembun Kabupaten Pekalongan dibanding dengan masyarakat Desa Rowosarinya
sendiri. Daerah tersebut bernama Kacangan/Pekacangan masuk wilayah dukuh
Bandaran. Hal tersebut dapat terjadi karena aliran sungai Sragi yang pada
awalnya melalui wilayah Rembun Suci ke arah barat (sekitar belakang Masjid
Rembun), namun aliran sungai tersebut berpindah/dipindah disebelah barat
(seperti keadaan sekarang) yang justru membelah dukuh Kacangan dari Desa
Rowosari.
Selain
Dukuh Kacangan ada juga daerah Desa Rowosari yang terisolir dan penduduknya
lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat desa lain dibanding dengan
masyarakat Desa Rowosari itu sendiri, yaitu suatu daerah/wilayah yang masuk
Dukuh Candi akan tetapi justru lebih dekat dengan Desa Samong, yang sekarang
dinamakan daerah Candi Baru/Pejaten Baru.
Dikisahkan
pada jaman Kesultanan Demak, ada seorang tokoh spiritual dari kasultanan
Surakarta/kraton Solo yang bernama R.M. MERTO TRUNO untuk beberapa waktu belajar dan memperdalam ajaran agama Islam di
Kerajaan/Kesultanan Demak Bintoro pada
masa kepemimpinan Raden Patah yang mendapat dukungan dari Walisongo. Setelah R.M. Merto Truno dianggap mampu dan menguasai
agama Islam, maka R.M. Merto Truno mendapat amanat/tugas untuk pergi ke
Kerajaan/Kesultanan Banten guna menyebarkan ajaran agama Islam, (Kesultanan
Demak Bintoro pada waktu itu melakukan
ekspansi ke wilayah barat sampai ke Banten untuk menyebarkan agama Islam).
Alat
transportasi pada waktu itu yang paling baik untuk jarak jauh adalah alat
transportasi melalui laut, yaitu kapal/perahu/sampan dengan menyusuri tepian pantai.
Setelah alat transportasi dan akomodasi/perbekalan
untuk selama perjalanan telah siap, maka R.M. Merto Truno
berangkat dari Demak menuju Banten bersama istrinya dan beberapa orang
santrinya/pengawalnya. Dalam perjalanannya R.M. Merto Truno mendapat rintangan
yang sangat dasyat, yaitu adanya badai dan gelombang besar yang menghantam
perahu yang ditumpanginya, diman peristiwa itu terjadi disekitar laut antara
Pekalongan dan Pemalang, yang mengakibatkan perahu rusak/pecah dan
terdampar ke tepi pantai.
Dengan
bersusah-payah R.M. Merto Truno dan pengawalnya/para santrinya dibantu oleh
masyarakat sekitar pantai berusaha untuk memperbaiki perahu yang terdampar dan
rusak tersebut, di mana posisi perahu yang terdampar itu terhempas sampai masuk
di dekat muara aliran sungai. Dalam masa perbaikan perahu, R.M. Merto Truno
untuk sementara waktu tinggal di rumah warga desa tersebut, dengan tidak
menyia-nyiakan waktu beliau mencoba untuk memperkenalkan ajaran agama Islam
meskipun dengan cara yang sangat bijaksana (njawani)
dan tidak menyinggung warga setempat yang masih belum mengenal mengenai agama
(Islam) dan masih menganut agama Hindu Budha atau aliran kejawen.
Masyarakat
di daerah itu selama hidupnya belum pernah melihat benda asing yang bernama
perahu dan di daerah tempat terdamparnya perahu tersebut belum mempunyai nama,
mereka baru mengenalnya dengan nama daerah moro/muara, oleh karena itu
atas ide R.M. Merto Truno dan kesepakatan warga setempat serta untuk
mengabadikan nama daerah itu, maka daerah tersebut dinamakan Kaliprau,
dimana kata Kaliprau merupakan gabungan kata kali dan prau,
yang mengandung pengertian bahwa kali adalah sungai, yang diambil dari
suatu tempat ditemukannya perahu yang terdampar (dekat dengan muara sungai) dan
prau adalah perahu/sampan, yang diambil dari nama suatu benda yang
digunakan oleh R.M. Merto Truno, sehingga jadilah kata Kaliprau, yang
kemudian kata-kata tersebut digunakan untuk nama tempat/daerah tersebut dan
kemudian menjadi nama sebuah desa yaitu desa Kaliprau.
Namun ada legenda/cerita lain tentang asal mula nama Kaliprau, yaitu
legenda/cerita tentanag Tan Kwie Djan, yang menceritakan
bahwa sebenarnya Tan Kwie Djan adalah seorang pimpinan nakhoda dari Ujung
Pandang (nama Ujungpandang jaman Mataram sudah ada), dan ia kemudian mengadakan
pelayaran dan menelusuri Pantai Utara Jawa. Tatkala singgah di daerah Ulujami,
tiba-tiba perahu itu pecah. Dan disinilah Tan Kwie Djan mendarat dan tempat
pecahnya perahu itu kini dinamakan desa Kaliprahu Kecamatan Ulujami Kabupaten
Pemalang. Sementara orang lain lagi menjelaskan bahwa mendaratnya di Kecamatan
Keling Jepara.
Setelah
perahu R.M. Merto Truno selesai diperbaiki, maka dengan berbagai pertimbangan
diputuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan melalui laut, akan tetapi
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke arah selatan dengan menyusuri sungai
yang airnya sangat jernih. Ketika perjalanan baru mencapai 5 km, R.M. Merto
Truno meminta untuk menghentikan perahunya dan menepi untuk singgah di daerah
yang tempatnya ternyata masih penuh dengan rawa/berawa-rawa, meskipun sudah ada
penduduknya.
Untuk
beberapa hari R.M. Merto Truno berada di daerah tersebut dengan berkomunikasi
dan bermasyarakat dengan warga setempat dengan tidak lupa selalu menyisipkan
ajaran-ajaran agama Islam meskipun dengan cara terselubung. Kehidupan
masyarakatnya masih belum baik, masih sangat tertinggal dan terbelakang, serta
masih banyak masyarakat yang belum mengenal agama, karena mereka masih banyak menganut
ajaran para leluhurnya atau menganut ajaran agama Hindu-Budha atau aliran
kejawen, demikian juga terhadap perekonomian dan perdagangan, pertanian, budaya
dan lain sebagainya belum tertata rapi,
maka dengan secara perlahan R.M. Merto Truno mencoba melakukan pendekatan
kepada masyarakat untuk memberikan ilmunya kepada warga setempat. Di sini telah terjadilah hubungan antar R.M. Merto Truno dengan
masyarakat atau sebaliknya.
Secara sosiologis, di
dalam sistem kemasyarakatan terjadi hubungan antar pribadi, antar kelompok
maupun antar pribadi dengan kelompok (dan sebaliknya). Hubungan demikian
disebut interaksi sosial, yang menyangkut proses saling mempengaruhi antara
fihak-fihak yang berinteraksi. Apabila terjadi interaksi sosial yang
berulangkali sehingga menumbuhkan pola tertentu, maka akan timbul kelompok sosial. Kelompok sosial merupakan
himpunan atau kesatuan orang-orang yang mempunyai kepentingan bersama yang
sedemikian eratnya, sehingga masing-masing anggota merasa menjadi bagian dari
kelompok sebagai satu kesatuan yang utuh.
Dengan
berbekal dan keadaan seadanya R.M. Merto Truno dan istrinya serta
pengawalnya/santrinya masuk di daerah itu dan menjadi warga setempat. Secara perlahan-lahan
R.M. MertoTruno mencoba mengamalkan ilmunya yang disesuaikan dengan keadaan dan
kemampuan warga setempat terutama bidang pertanian dan perdagangan serta bidang
seni budaya, sedangkan untuk bidang agama dilakukan dengan sangat hati-hati,
karena masyarakatnya masih banyak yang belum mengenal agama, apalagi agama
Islam, sehingga dalam mensiarkan ajaran agama Islam menggunakan pendekatan
sosial, seni dan budaya agar dapat
dengan mudah untuk dimengerti dan dipahami
oleh masyarakat, dengan harapan masyarakat dapat menerimanya akan tetapi
tidak tersinggung dan tujuan siar agama (Islam) dapat tercapai.
R.M.
Merto Truno yang cerdas dan mumpuni dibidang agama dan ilmu pengetahuan, menciptakan
sistem pendidikan yang lebih teratur, khusunya agama, maka perjalanan hidupnya
dari hari ke hari menjadi semakin berpengaruh dan pengikutnya semakin banyak
dan berkembang, maka untuk kepentingan siar dan pembelajaran agama Islam
dibangunlah padepokan/pondok
pesantren di daerah Tenggulun/Trenggulun
(sekarang disekitar rumah penulis), akan
tetapi perjuangan Among Jiwo tersebut
pastilah mendapat tantangan dan rintangan serta tentangan yang tidak
sedikit dari sebagaian masyarakat yang tidak menghendakinya, namun semuanya
dapat diatasi oleh Among Jiwo dalam menciptakan dunia yang baru dibidang
spiritual bagi masyarakat sekitar.
Dalam dunia yang baru ini
pula para ulama menciptakan sistem pendidikan yang lebih teratur dan jauh
berada dengan sistem pendidikan di istana. Ulama sufi sebagai pemimpin
pesatren-pesantren mendapat penghormatan dan dikeramatkan oleh
santri-santrinya, diyakini mempunyai kekuatan ghaib dan
keistimewaan-keistimewaan luar biasa, sebagai wali Allah.
Untuk meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat disekitarnya, maka Among Jiwo selain mengajarkan agama (Islam) juga
mengajarkan bagaimana caranya manusia untuk bisa hidup dan mengembangkan
kehidupan ini dengan tidak melupakan ibadah kepada Tuhannya.
Among Jiwo berada di
Pemalang (Desa Rowosari Ulujami atau Pemalang bagia timur) semasa dengan Patih
Sampun (Djiwonegoro) sekitar tahun 1500-an, beliau berdua mendapat tugas yang
berbeda, Patih Sampun mendapat tugas untuk membuat sungai-sungai dari
Pekalongan sampai ke Cirebon, sementara Among Jiwo mendapat tugas untuk menyebarkan
ajaran (siar) agama Islam.
Terkisah di suatu malam
Jiwonegoro yang dalam legenda dikenal dengan julukan Patih Sampun, mendapat
wisik dari Gusti Kang Murbeng Dumadi berupa tengara hadirnya sebilah keris
pusaka luk tigabelas. Ternyata dikemudian hari wisik itu menjadi kenyataan,
Pangeran Benowo yang notabene pewaris pusaka keris luk tigabelas bernama Kyai
Tapak, benar-benar datang untuk menjadi raja di Pemalang.
Kehadiran Pangeran Benowo bersama guru spiritualnya Ki Julung Wangi dan resi
pengasuh Ki Buyut Jamur Apu disambut oleh Syeh Talabudin, ulama asal Cirebon
yang mengasuh padepokan santri di Warung Asem dan Padurungan Taman.
Syeh Talabudin dan Ki Julung Wangi merupakan sahabat seperguruan ketika menimba
ilmu pada seorang wali di Demak Bintoro. Oleh Syeh Talabudin, Pangeran Benowo
yang kemudian menjadi muridnya disarankan tetirah untuk menenangkan diri
sekaligus memimpin Kadipaten Pemalang yang telah komplang karena dua
petingginya, yaitu Adipati Anom Windugalbo dan Patih Gede Murti, telah
meninggal.
Pangeran Benowo memenuhi harapan ulama tersebut, kemudian ditabalkan menjadi
Adipati Pemalang di pendopo kadipaten. Penobatan tersebut berlangsung malam
hari pada 1 Syawal bertepatan pada tanggal 24 Januari 1575 yang dikemudian hari
ditetapkan menjadi Hari Jadi Kabupaten Pemalang. (Ruslan Nolowijoyo)
Sejalan
dengan perjalanan waktu Among Jiwo merupakan tokoh besar yang disegani, dihormati dan
dikeramatkan serta mampu menuntun,
mengayomi kehidupan masyarakat dan menjadikan masyarakat semakin maju dan
sejahtera, menjadikan masyarakat lebih dekat dengan Tuhannya, maka Among Jiwo dianggap
sebagai tokoh yang mampu memelihara kehidupan jiwa orang lain. Atas
jasa-jasanya, maka Among Jiwo yang bernama asli R.M.
Merto Truno mendapat penghargaan
tidak tertulis dari masyarakat, dengan sebutan : Syeh
Among Jiwo. Pengertian
kata Syeh adalah orang yang cerdas
dalam bidang agama (Islam), kata Among
mengandung pengertian memerihara/merawat( bhs. jawa : momong), sedangkan kata Jiwo
mengandung pengertian Jiwa.
Diberi gelar demikian karena Among Jiwo adalah tokoh besar dalam agama
(Islam) dan Among Jiwo adalah orang yang bersedia memelihara jiwa rakyatnya,
baik dihadapan Tuhan maupun sesamanya.
Among Jiwo termasuk orang yang keramat/karamah.
Pengertian keramat menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, adalah (1) suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar
kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan (tentang orang yang
bertakwa); (2) suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psokologis
kepada pihak lain (tentang barang atau tempat suci).
Keramat (karamah) identik
dengan orang yang dikenal sebagai wali (Wali Songo) dan kiai (ulama). Tipikal
kedua orang ini diyakini memiliki karamah
tersendiri. Sebagaimana dalam perjalanan sejarah Wali Songo dan berbagai cerita
kiai dari pesantren ke pesantren.
Sejalan dengan pengertian karamah
di atas, para sufi mengartikan karamah
sebagai karunia Allah yang diberikan kepada para wali berkat kesungguhan mereka
dalam beribadah, mendekatkan diri kepada Allah, dan membersihkan dirinya dari
perbuatan dosa, berbagai penyakit hati, dan sifat-sifat tercela sehingga pada
diri mereka muncul khawariqal-adah,
sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam, sebagai penghormatan dan
penghargaan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang berprestasi. Dengan demikian,
masalah karamah merupakan kewenangan
mutlak Allah. Allah berhak memberikan karamah
kepada siapa saja yang senantiasa dekat dengan-Nya, taat, dan ikhlas dalam
beribadah kepada-Nya, serta membersihkan dirinya lahir batin.
Among Jiwo pernah menyampaikan kepada pengikutnya/santrinya, kalau daerah
yang berawa-rawa ini masyarakatnya bersedia dan mau mengelola dengan baik, maka
akan banyak menemukan dan mendapatkan manfaatnya atau inti sarinya yang dapat
membuat masyarakat di daerah ini akan lebih
sejahtera, aman dan sentosa. Oleh karena daerah tersebut awalnya berawa-rawa,
akan tetapi setelah dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, maka daerah yang
semula berawa-rawa tanpa manfaat kemudian secara bertahap berubah menjadi daerah/wilayah
yang bermanfaat bagi masyarakatnya, sehingga daerah yang berawa-rawa ini oleh Among
Jiwo dinamakan Rowosari.
·
Rowosari dari kata Rowo dan Sari :
o
Rowo/rawa artinya : tanah
rendah yang digenangi air.
o
Sari artinya : tepung
halus/inti.
Dikatakan
rowo/rawa, karena dahulu sebagian
besar dari daerah ini adalah rawa-rawa yang banyak ditumbuhi dengan tanaman air
dan sebagian besar masyarakatnya belum dapat berbuat banyak untuk mengelola
daerah yang berawa-rawa. Beberapa bukti adanya rawa-awa : pada sekitar tahun
1970-an di sekitar belakang rumah Bpk. H. Tasiman - Panggang masih berupa
rawa-rawa yang banyak ikannya, demikian pula di sebelah barat rumah Bpk. Ust.
Sodikon - Candi, di belakang Kantor Urusan Agama; dan bukti lain
adalah adanya potongan-potongan kayu (tatal)
yang berada dikedalaman + 35 meter ketika Bpk. H. Rasyidi - Bong membuat
sumur bor pada tahun 2000-an.
Dengan demikian dapat diprediksikan bahwa masyarakat pada waktu itu membuang
sampah ke rawa-rawa yang berfungsi juga untuk menimbun (mengurug) agar rawa-rawa
tersebut dapat dimanfaatkan, baik untuk kebun atau untuk rumah. Sedangkan kata
sari mengandung pengertian
inti
yang bermanfaat.
o
Sehingga kata Rowosari mengandung pengertian jika daerah ini digali
potensinya, maka akan mendapatkan inti manfaat yang berguna bagi warganya dan
dapat memakmurkan serta mensejahterakan masyarakat dikemudian hari.
1.
Terjadinya Nama
Dukuh Bong.
Pada
awal Among Jiwo (R.M. Merto Truno) masuk Desa Rowosari, beliau membangun rumah
yang sekaligus digunakan untuk tempat kegiatan kemasyarakatan dan mengajarkan
berbagai ilmu pengetahuan, termasuk ilmu agama (Islam), di mana rumah tersebut
dibuat dan dibangun di daerah Tenggulun/Trenggulun (sekarang disekitar rumah
Penulis).
Kata
Tenggulun sebenarnya berasal dari kata theng-kulon, yaitu theng mengandung arti di dan
kata kulon yang mengandung pengertian barat. Mengapa kata teng
(theng) kulon menjadi teng gulun ? menurut sejarahnya, karena
dialek/logat orang Rowosari untuk mengatakan kata kulon/kilen (bhs.
Jawa) tidak bisa fasih, akan tetapi justru dialekknya agak “medhok”, sehingga
kata kulon terucap dan terdengarnya menjadi ghulon. Oleh karena
itu pengertian kata tenggulun (teng-gu-lon) mengandung pengertian berada di barat.
Ada
yang berpendapat lain kalau daerah Tenggulun tersebut bernama daerah Trenggulun. Pendapat ini didasarkan adanya sebuah pohon
yang besar yang oleh masyarakat pada waktu itu dinamakan pohon Trenggulun.
Trenggulun adalah nama sebuah pohon yang tinggi, besar dan
rimbun seperti pohon beringin yang bunga atau buahnya bernama kethos, namun adapula yang menyebut kalau pohon Trenggulun adalah pohon kethos. Dinamakan Trenggulun karena di daerah itu
dahulu pernah tumbuh pohon tersebut, di mana pohon Trenggulun tersebut dahulu ditanam oleh
Among Jiwo.
Namun pemahaman
tentang pohon Trenggulun dan buahnya juga termuat dalam Serat
Darmo Gandhul, yaitu ketika Sunan Bonang berkelahi dengan Buta Locaya, dan
pada saat itu Sunan Bonang bersabda “Buah
pohon Trenggulun ini mulai sekarang aku beri nama KENTHOS, agar bisa dijadikan
pengingat, bahwasanya aku pernah bertengkar dengan seorang makhluk halus
KEMENTHUS (yang sok) tentang sebuah arca!”.
Oleh karena itu hingga hari ini, buah pohon Trenggulun
di Jawa namanya kenthos/kethos.
Trenggulun (Protium javanicum Burm)
merupakan tumbuhan khas dipulau jawa. Pohon trenggulun tergolong tumbuhan
langka. Pohon trenggulun mempunyai batang yang kokoh dan kuat namun berduri.
Pohon ini juga memiliki buah kecil - kecil seperti anggur dan berwarna merah.
Rasa buahnya manis masam kalau buahnya berwarna merah cerah. dan berasa manis
kalau buahnya berwarna merah kehitam-hitaman. Pohon Trenggulun tumbuh didataran
rendah sekitar 35 meter dpl sampai 251 meter dpl. Disamping itu buah trenggulun
berkhasiat untuk mencegah seriawan namun bagi yang belum mencicipi sama sekali
akan terkena efek samping dari buah trenggulun yaitu tenggorokan terasa gatal.
namun efek samping ini hanya bersifat sementara.
Lain halnya dengan masyarakat yang hidup di
daerah sebelah barat dari Tenggulun/Trenggulun, pekerjaan sehari-hari adalah bertani dengan
bercocok tanam khususnya palawija dan lahannya tidak
ditanami padi, karena tanah disekitar
pemukiman warga letaknya agak tinggi dibanding tanah tanah di tempat lainnya,
sehingga tanah pertaniannya lebih tepat ditanami tanaman palawija atau tanah
tersebut lebih dikenal dengan tanah tegalan.
Oleh karena itu daerah dibagian tengah tersebut tanahnya sebagai besar
merupakan tanah tegalan, maka oleh
Among Jiwo daerah/wilayah sekitar itu dinamakan dukuh Tegalan.
Tegalan berasal dari kata tegal atau tegil adalah tanah yang luas dan rata
yang ditanami palawija dengan tidak mempergunakan pengairan dan bergantung pada
hujan.
Daerah
disebelah selatan dari Tegalan oleh Among Jiwo dinamakan daerah Ploso,
karena daerah itu masih sangat jarang penduduknya dan jauh dari pusat
keramaian/pasar, akan tetapi kehidupan masyarakat di daerah itu tidak jauh beda
dengan masyarakat disekitarnya, yaitu masyarakat Tegalan maupun
masyarakat Peturen.
Pengertian
Ploso atau plosok/mlosok adalah pedalaman atau suatu tempat yang letaknya
jauh dari keramaian. Dikatakan demikian karena daerah tersebut memang letaknya
jauh dari pusat keramaian (pasar) dan daaerah tersebut juga masih berupa
rawa-rawa serta masih jarang penduduknya.
Masyarakat
dibagian barat (dari Dukuh Bong) kehidupannya lebih keras untuk menghadapi
hidup, mereka lebih banyak merupakan masyarakat pedagang dan pekerja yang
bergerak dibidang pertanian, disamping itu para petaninya sangat kreatif dan
mereka tidak hanya menanam padi saja, akan tetapi setiap jengkal tanahnya
dimanfaatkan untuk ditanami pohon-pohon keras yang berguna untuk tambahan
penghasilan keluarga, sehingga setiap jengkal tanah tidak ada masyarakat yang
menyianyiakannya, hampir seluruh tanah-tanah yang kosong ditanami dengan
tanaman pohon turi, yang dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar untuk dijual atau untuk dipakai sendiri (memasak),
sedangkan bunganya (tronggong) dapat
dibuat kluban
(kuluban/sayur), dan daunnya dapat
dimanfaatkan untuk pakan
ternak/kambing. Oleh karena diseluruh hamparan tanah yang ada oleh masyarakat ditanamai pohon turi, maka
oleh Among Jiwo untuk memudahkan penyebutan nama daerah/wilayah tersebut, maka
daerah/wilayah itu dinamakan dukuh Peturen (banyak ditanami pohon turi/kebun
pohon turi).
Peturen dari kata Turi,
yaitu sejenis tanaman / pohon
untuk kayu bakar yang bunganya bernama tronggong.
Sehingga kata Peturen mengandung pengertian : suatu daerah yang banyak
ditumbuhi oleh tanaman/pohon turi.
Lain
halnya dengan wilayah yang letaknya di sebelah selatan jalan raya Ulujami
(jalan Daendeles), oleh Among Jiwo dinamakan
daerah Sigebang atau Gebangan,
karena daerah tersebut dahulunya banyak tumbuhan sejenis pohon palem yang
bernama pohon gebang. Kata Sigebang atau Gebangan berasal dari kata gebang yaitu sejenis pohon palem seperti pohon
jambe/pinang daunnya lebar dan berbentuk lingkaran/bulat lebar serta tangkainya berduri, buahya
berasa manis jika sudah matang berwarna kehitam-hitaman.
Seiring dengan berjalannya
waktu dan adanya perkembangan jaman, maka munculah nama dukuh Bong. Mengapa
dinamakan dukuh Bong? Hal ini terjadi karena
adanya etnis cina yang masuk desa Rowosari dan menguasai perekonomian (tahun 1700-an), sehingga
mereka leluasa untuk membeli tanah, baik yang digunakan untuk rumah pribadi, tempat ibadah maupun untuk kuburan. Mereka dapat leluasa menguasai segalanya (bidang ekonomi) pada
waktu itu karena sebagian besar dari etnis cina ini lebih berpihak/lebih dekat
pada penguasa (Belanda) dibanding dengan masyarakat biasa/pribumi.
Bong
adalah sebutan untuk nama kuburan orang etnis cina. Oleh karena di daerah itu baru pertama kali
ada kuburan cina dan yang semakin hari semakin bertambah (letaknya adalah
daerah disebelah selatan dari daerah Trenggulun dan Tegalan atau sekarang SD
Negeri Rowosari 02-03, Kantor Kecamatan Ulujami, Kantor BRI, Kantor Koramil dan
sekitarnya), maka dinamakanlah dukuh Bong (pergantian nama menjadi Bong
digunakan setelah Among Jiwo sudah meninggal dunia, hal ini dilakukan pemerintah desa untuk memudahkan penyebutan nama wilayah (Tenggulun, Tegalan, Peturen,
Ploso dan Sigebang/Gebangan) menjadi satu dukuh, yaitu Dukuh Bong.
Diwilayah
Dukuh Bong pada waktu dulu juga
merupakan daerah wirausaha industri kerajinan pembuatan alat-alat pertanian. seperti
cangkul, garpu, sabit, golok, pisau dan lail-lain, di mana pembuatnya dinamakan
“Empu pande besi”.
Pakar “Empu
pande besi” dan tempat usahanya yang dapat penulis data :
a.
Mbah Drai,
lokasinya di wilayah Trenggulun, sekarang rumah Bpk. Nuryanto;
b.
Mbah Simik,
lokasinya di wilayah Tegalan, sekarang rumah Bpk. Sardai/Fachrozi.
c.
Mbah
Mas’an, lokasinya di wilayah Bong, sekarang rumah mbah Mas’an/Ibu Aropah.
d.
Mbah Ra’an,
lokasinya di wilayah Ploso, sekarang menjadi warungnya Bu Siti;
e.
Mbah Rayis,
lokasinya di wilayah Ploso, sekarang menjadi garasi mobil milik H. Nurdin- Hj.
Ulla;
f.
Mbah Ajun/Arjun,
lokasinya di wilayah Peturen, sekarang rumah Bpk. Supre;
g.
Mbah Tohan,
lokasinya di wilayah Ploso, sekarang rumah
Ibu Rahati - Bpk. Kisbantaro/ sebelah utara mushola;
h.
Mbah Arjen,
lokasinya di wilayah Ploso, sekarang rumah Bpk. Basari.
Namun sayang
kerajinan “pande besi” sejak awal tahun 1990-an sudah punah/tidak ada
lagi, hal ini disebabkan karena generasi penerus tidak ada yang mau menekuni
untuk melanjutkannya dan keranjinan tersebut tersingkir oleh berkembangnya wirausaha / usaha home industry (industri rumah tangga) dibidang konveksi yang
dipandang lebih menguntungkan.
2.
Terjadinya Nama
Dukuh Bandaran.
Dengan
berkembangnya jaman dan kemajuan masyarakat desa Rowosari dibidang pertanian,
perdagangan, maka warga masyarakat desa Rowosari membuat pusat perbelanjaan (pasar)
yang letaknya tidak jauh dari aliran sungai Sragi, di mana dengan semakin berkembangnya
pusat perbelanjaan (pasar) tersebut dari waktu ke waktu, maka aliran sunga Sragi menjadi jalur
transportasi dari berbagai daerah/desa disekitar desa Rowosari yang dilalui
jalur aliran sungai Sragi, sehingga lokasi pemberhentian kapal/perahu/sampan
yang menurut bahasa jawa diartikan/disebut dengan istilah bandar/bandaran (pelabuhan), maka untuk memudahkan penyebutan nama daerah
disekitar itu oleh Among Jiwo dinamakan Bandaran.
Kata Bandaran berasal dari
kata Bandar yang mengandung 2 (dua) pengertian :
1.
Bandaran
adalah suatu tempat bagi bersandarnya
sampan/perahu/kapal atau disebut juga dengan pelabuhan/dermaga bagi alat transportasi air.
2.
Bandar
adalah orang yang menjadi sentral
judi dari musuh/lawan penjudi lainnya atau orang yang menguasai
permainan judi (bandar judi).
Dari
kedua kata tersebut Penulis lebih cenderung menyepakati daerah tersebut masuk
pada
pengertian yang pertama (yang digunakan oleh Among
Jiwo), yaitu pelabuhan/dermaga atau terminal
bagi alat transportasi air. Hal tersebut dapat terbukti kalau dahulu di dukuh
Bandaran ada bandar/pelabuhan/dermaga kapal/prahu/sampan adalah dengan
adanya pasar, adanya bangunan gudang
garam (sekarang Puskesmas), adanya bangunan Kelenteng (karena setiap kelenteng dibangun dipusat perdagangan yang berada
disekitar aliran sungai), contoh lain adalah Klenteng Comal dibangun disekitar aliran sungai Comal dan dekat Pasar Comal, Klenteng
Pekalongan dibangunan disekitar aliran sungai Loji dan dekat pasar Banjarsari/Senteling, demikian pula di daerah-daerah lainnya.
Bandaran/pelabuhan
untuk perahu/kapal dagang bersandar tersebut
lokasinya terletak disebelah utara jembatan sungai Sragi memanjang ke utara
sampai dipertigaan jalan konveksi (sekarang di sebelah timur rumah Bpk. Zaenal
Kembu), yang kemudian barang-barang dagangan
yang dimuat dari kapal/perahu/sampan diturunkan untuk dijual di pasar atau ke luar
daerah Rowosari,
di mana aliran sungai Sragi ini dapat
dilalui kapal/perahu/sampan dari laut hingga ke daerah Sragi atau sebaliknya.
3.
Terjadinya Nama
Dukuh Pekacangan.
Masyarakat
di daerah ini kehidupan sehari-harinya adalah bertani, akan tetapi karena
wilayah ini struktur tanahnya rendah dibanding dengan daerah-daerah lainnya,
maka jika musim penghujan, lahan pertaniannya tidak dapat ditanami padi karena
banjir dan jika musim kemarau, lahan pertaniannya kering, sehingga dengan
sendirinya masyarakat di daerah ini lebih suka bercocok tanam-tanaman palawija
dibandingkan dengan menanam padi.
Berbagai
tanaman palawija yang ditanam di daerah ini, hanya palawija jenis tanaman
kacang-kacangan yang paling baik dan menghasilkan dibandingkan dengan jenis tanaman palawija
lainnya. Oleh karena daerah ini merupakan daerah penghasil kacang-kacangan
terbesar di daerah sekitarnya, maka untuk memudahkan penyebutan nama daerah ini
oleh Among Jiwo diberi nama dukuh Kacangan/Pekacangan.
Dukuh
Pekacangan/Kacangan sebenarnya tidak hanya seluas seperti keadaan yang
sekarang ini, akan tetapi dahulu menyatu dengan daerah yang berada di sebelah
barat aliran sungai Sragi atau sampai dengan sungai kecil (blok Temiyang). Oleh karena aliran sungai
Sragi bergeser/pindah ke sebelah barat, maka daerah yang terpotong oleh aliran
sungai Sragi yang baru, sebagian wilayah Kacangan
sekarang masuk wilayah dukuh Jagalan Kidul (blok Temiyang).
Seiring
dengan perkembangan jaman dan pemerintahan, karena dukuh Pekacangan/ Kacangan
wilayahnya tidak luas dan penduduknya tidak banyak dan secara geografis lebih
dekat dengan dukuh Bandaran , maka wilayah ini sekarang masuk menjadi wilayah
dukuh Bandaran.
4.
Terjadinya Nama
Dukuh Panggang.
Setelah masyarakat desa Rowosari mendapat
“sinar terang” dari Among Jiwo, maka masyarakatnya mempunyai kegiatan/pekerjaan
untuk penghidupan yang berbeda-beda, ada yang bertani ada juga yang berdagang.
Masyarakat/penduduk yang bermukim di dukuh Bandaran dan disebelah utaranya
karakter jiwanya lebih cenderung ke jiwa bisnis/dagang meskipun ada pula yang
berjiwa petani atau kedua-duanya, namun lebih kuat ke jiwa bisnis/dagang
dibanding dengan jiwa bertani atau jiwa kaum priyayi (pegawai), dan pada
umumnya mereka lebih cenderung berbisnis/berdagang ke dunia hasil perikanan.
Dengan
penuh kesabaran Among Jiwo memberi penyuluhan/pelatihan di samping ilmu agama,
juga ilmu bagaimana caranya menglola ikan agar dapat menghasilkan uang dan
keuntungan, apakah dengan cara direbus (pindang), apakah digoreng dan
apakah dipanggang? Sebagaian besar masyarakatnya telah mencoba mengelola ikan
sebagaimana yang diajarkan oleh Among Jiwo atau para santrinya, akan tetapi
yang paling banyak disukai oleh masyarakat sekitar adalah mengelola ikan dengan
cara dipanggang (dibakar/ diasapkan), selain yang digoreng atau direbus
(pindang) atau dibuat ikan asin, semuanya jika dijual sangat menguntungkan.
Oleh karena sebagian besar masyarakatnya kaum pedagang ikan panggang, maka untuk
memudahkan penyebutan nama daerah itu oleh Among Jiwo diberi nama Dukuh Panggang.
Pengertian
kata Panggang adalah cara memasak sesuatu yang dimasakkan dengan cara
dikeringkan diatas api, terutama ikan, sehingga pengertian dukuh Panggang
adalah suatu tempat atau daerah atau wilayah dimana mayoritas warganya
berbisnis/berdagang ikan panggang, sehingga daerah tersbut dinamakan daerah dukuh
Panggang.
Dukuh Panggang terbagi dari beberapa tempat, yaitu
:
a.
Jaratan artinya kuburan/
makam/kramatan, dahulu didaerah tersebut
terdapat/ada kuburan.
b.
Pleseran dari kata plisir
artinya pinggiran atau mleser artinya
tempat yang tanahnya miring/menikung/belok secara
perlahan, sehingga kata pleseran
mengandung pengertian tempat atau daerah pinggiran yang tanahnya miring dan berbelok secara perlahan.
c.
Sumur artinya perigi, dahulu
di daerah tersebut ada sebuah
sumur/perigi yang terkenal dan airnya tidak pernah
habis meskipun dimanfaatkan oleh
masyarakat.
d.
Wonoroto artinya hutan yang
rata/datar, yaitu sebidang tanah yang ditumbuhi oleh pepohonan yang sangat
banyak dan lebat, dimana permukaan tanahnya datar atau rata/tidak
berbukit-bukit.
e.
Gatak artinya tanah darat yang agak tinggi ditepi
sawah (tanah benteng yang lebar) yang tidak ditanami padi, bisanya ditanami
palawija.
f.
Ngideran :
asal kata ider artinya keliling, diideri
artinya dilingkari, dinamakan ngideran,
karena di daerah tersebut merupakan
persawahan yang mengeliling / melingkarai perkampungan.
g.
Keweden dari kata :
o
Wedi atau weden
artinya takut.
o
Sehingga kata Keweden mengandung pengertian : ketakutan.
5.
Terjadinya
Nama Dukuh Candi
Sebagian besar masyarakatnya kehidupannya bercocok tanam/tani.
Sebagaimana masyarakat di sekitar Rowosari pada waktu itu (sebelum Among Jiwo
datang) agama atau kepercayaan yang mereka anut masih mengikuti nenek moyangnya
atau agama Hindu-Budha atau aliran kejawen. Seperti telah diuraikan di depan,
bahwa menurut ceritera/mitos, tempat tersebut dahulunya
akan dibangun sebuah candi, dimana pembangunannya harus dapat terselesaikan
dalam satu malam sebelum ayam berkokok dan sebelum orang bangun dari tidurnya
(seperti ceritera kisah Pronocitro dan Rorojonggrang/kisah pembangunan Candi Prambanan), namun memasuki 2/3 malam pembagunan candi yang diprediksikan pada pagi hari akan menjadi candi yang
megah dan indah, seketika itu harus dihentikan dan pembangunan candi menjadi gagal.
Dengan hadirnya Among Jiwo di daerah Tenggulun (sekarang jl.
Among Jiwo) yang menyebarkan ajaran agama Islam diberbagai kawasan di
sekitarnya, maka dengan penuh kesabaran dan saling menghormati antar warga
masyarakat, Among Jiwo banyak mendapat simpatik dari warga di daerah ini dan
banyak pula yang akhirnya mengikuti jejak Among Jiwo untuk memeluk agama Islam.
Untuk memudahkan pemberian nama wilayah dengan nama wilayah lainnya,
atas kesepakatan berasama antara Among Jiwo dan masyarakat sekitarnya,
maka wilayah ini dinamakan Dukuh Candi.
Candi artinya batu yang
disusun yang digunakan untuk tempat ibadah/kuburan.
6.
Terjadinya
Nama Dukuh Keweden
Perjalanan Among
Jiwo dan para santrinya dalam mengembangkan/siar agama Islam banyak mengalami
tantangan dan rintangan dari orang-orang yang ketika itu belum mengenal agama,
sehingga kehadiran Among Jiwo yang memperoleh banyak dukungan masyarakat
memeluk agama Islam menjadikan mereka marah dan memberontak Among Jiwo dan
pengikutnya, mereka melakukan penyerangan ke padepokan/pondok pesantren milik Among Jiwo.
Karena merasa tidak
nyaman dan tidak aman dengan adanya penyerangan tersebut, maka Among Jiwo dan
para santrinya ketakutan dan menyelamatkan diri ke arah timur dengan berjalan
mengikuti aliran sungai, lalu ke arah utara, dan berdiam diri di suatu tempat
yang dianggapnya lebih aman dan lebih nyaman.
Setelah beberapa
waktu berada di tempat ini, maka di daerah ini mulai dibuatlah beberapa rumah
tempat tinggal. Oleh karena ketika itu Among Jiwo dan pengikutnya merasa
ketakutan, maka dengan santai Among Jiwo menyatakan untuk memudahkan dan mengenal
nama daerah tersebut dinamakan Dukuh Keweden.
Keweden yang dalam bahasa Indonesia artinya ketakutan.
7.
Terjadinya
Nama Dukuh Pejaten
Masih merasa belum
aman, Among Jiwo dan para santrinya untuk mengamankan/ menyelamatkan diri.
Mereka hidupnya selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya,
namun demikian Among Jiwo tetap menyebarkan ajaran agama Islam.
Untuk mengamankan diri dan menyebarkan ajaran
agama Islam inilah Among Jiwo dan para santrinya bersembunyi di hutan jati.
Oleh karena daerah ini adalah wilayah yang banyak tumbuhan/pepohan jati, maka
oleh Among Jiwo daerah ini dinamakan Pejaten
yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah hutan jati.
Menurut ceritera
daerah ini dahulu pernah ada pohon jati yang sangat besar dan setelah ditebang,
bagian bogolan-nya digunakan oleh
masyarakat sekitar untuk “panggung arena sabung ayam”.
Namun setelah
kehadiran Among Jiwo diwilayah ini, permainan sabung ayam secara bertahap dapat
dihilangkan, dengan tidak mencederai perasaan hati masyarakat diwilayah ini.
8.
Terjadinya
Nama Dukuh Pangkah
Belum selesai
perjalanan Among Jiwo dalam menyebarkan agama Islam, demikian pula orang-orang
yang tidak pro dengan Among Jiwo masih selalu mengejar untuk menghentikan
perjuangan Among Jiwo. Oleh karena itu Among Jiwo dan para santrinya
melanjutkan perjuangannya bergeser lagi ke arah utara dan memerintahkan kepada
para santrinya untuk dipecah menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu :
a.
Kelompok
pertama yang terdiri dari istri Among Jiwo (Among Sari) dan santriwati/santri
peermpuannya,
b.
Kelompok
kedua Among Jiwo dan santri laki-laki.
Di daerah ini Among
Jiwo membuat strategi dengan membuat dua
arah jalan, yaitu kelompok pertama berjalan menuju ke timur (sekarang Desa
Samong) dan yang kelompok kedua berjalan menuju ke arah barat (untuk kembali ke
Tenggulun/Trenggulun).
Langkah inilah yang
dikenal sekarang dengan nama : Pangkah dari kata :
a.
Pang artinya : cabang.
b.
Kah dari singkatan kata : langkah.
Sehingga kata Pangkah mengandung pengertian ngepange langkah atau membuat langkah
menjadi bercabang/berpisah. (letaknya di desa Samong atau sekitar Candi Baru).
9.
Terjadinya
Nama Desa Samong
Karena di
Tenggulun/Trenggulun merasa belum aman, maka Among Jiwo beserta keluarga dan
para santrinya bertempat tinggal tetap di daerah ini sembari menyebarkan ajaran
agama Islam.
Sebagaimana kisah di
atas, bahwa Among Jiwo adalah orang yang diutus untuk pergi belajar ilmu agama
(Islam) di Kesultanan Banten/ekspansi ke Banten, akan tetapi ternyata tidak
sampai di tujuan dan terdampar di Kaliprau lalu menetap di Rowosari, maka
dicarilah Among Jiwo oleh utusan dari Kesultanan Demak yang dari Banten. Ketika
utusan tersebut sampai di Rowosari, beliau menanyakan tentang keberadaan Among
Jiwo atau keluarganya kepada masyarakar/warga yang ditemuinya, terjadilah suatu
dialog :
Utusan : apakah bapak tahu tempat tinggal
Syeh Among ?
Warga : saya tahu, beliau ada di sana di
desa sebelah, bapak mau kesana?
Utusan : Ya, saya mau ke Syeh Among.
(lalu utusan tersebut diantar oleh
warga setempat ke rumah keluarga Among Jiwo).
Namun utusan
tersebut hanya bertemu dengan Among Sari (istri Among Jiwo) dan tidak berjumpa
dengan Among Jiwo karena sudah meninggal
dunia. Lalu utusan tersebut menanyakan kepada Among Sari :
Utusan : theng pundi Among Jiwo dipun sareaken? (di mana Among Jiwo
dimakamkan?)
Among Sari : theng
kulon (=di barat;
maksudnya Among Jiwo
telah dimakamkan di sekitar padepokan/pondok
pesantrennya di Desa Rowosari).
Penyebutan Syeh Among inilah yang kemudian oleh
warga masyarakat pada waktu itu menjadi kata Samong, dan hingga sekarang
nama tersebut telah diabadikan dan dijadikan salah satu nama sebuah desa di
Kecamatan Ulujami, yaitu Desa Samong dan kata Theng Kulon inilah kemudian menjadi Thenggulon/Tenggulun atau Trenggulun.
Bukti sejarah kalau
Among Jiwo pernah bertempat tinggal di Desa Samong adalah adanya makam istri
Among Jiwo yang bernama Among Sari yang dimakamkan di desa tersebut
(sekarang letaknya dipinggir jalan arah masuk desa Samong).
Kapan hari kelahiran
dan hari wafat Among Jiwo, sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti, kecuali
bahwa beliau dimakamkan dipemakaman Tenggulun/Trenggulun
yang terletak di RT.06/RW.01 Dukuh Bong Desa Rowosari, Kecamatan Ulujami,
Kabupaten Pemalang.
BAB V
PEMERINTAH DAN PENGUASA
A.
Periodesasi
Pemerintah Dan Penguasa
Berdasarkan
data-data yang telah berhasil penulis kumpulkan dan disajikan pada bab-bab
terdahulu, maka di daerah/Desa Rowosari terdapat lebih dari satu masa
pemerintahan dan satu masa jabatan penguasa. Oleh karena itu penulis mencoba menyajikan
periodesasi sejarah Desa Rowosari sebagai berikut :
a.
Babakan Masa Kuno.
Babakan masa ini relatif sangat sulit untuk
ditentukan kapan masa tahun pemerintahannya. Berdasarkan benda-benda arkeologi
yang ditemukan, maka dapat dipastikan masa pada waktu itu adalah masa sebelum
kerajaan Islam pertama (kerajaan Demak) berdiri tahun 1475-1518.
b.
Babakan Masa Tengah.
Babakan pada masa ini penulis mencoba memulai dari
hadirnya Among Jiwo di Rowosari dengan membawa ajaran agama Islam, mulai abad
ke XVI, tepatnya antara tahun 1475-1518 atau setelah tahun tersebut, yaitu
zaman kerjaan Demak yang diteruskan oleh kerajaan-kerajaan Jawa-Islam
berikutnya, Pajang Mataram, Surakarta dan Kartasura yang masih mempertahankan
tatanan tradisi kejawen yang sudah disesuaikan dengan ajaran agama Islam.
Babakan masa tengah ini, antara pemerintahan yang
dijabat oleh Among Jiwo selaku pemimpin rakyat/Lurah ketika itu dengan
kepemimpinan berikutnya terdapat satu gaps/jarak yang sangat jauh dan
Penulis belum menemukan data-data maupun cerita untuk itu.
Namun sebelum jabatan Lurah/Kepala Desa yang dijabat oleh Mashudi, di Desa Rowosari
pernah terbagi menjadi 2 (dua) wilayah desa, yaitu :
1.
Meliputi
dukuh Bong, Jagalan dan Bandaran, menjadi satu desa dengan seorang Lurah/Kepala Desa.
2.
Meliputi
dukuh Candi, Pejaten dan Panggang, Keweden menjadi satu desa dengan seorang Lurah/Kepala Desa.
Namun
hingga sekarang penulis belum mendapatkan/menemukan siapa sebenarnya nama ke 2
(dua) Lurah/Kepala Desa Rowosari tersebut.
Berdasarkan data yang penulis peroleh baru terbatas pada masa Luarah/Kepala Desa Rowosari :
1.
Mashudi, memerintah/menjabat
dari tahun 1918 sampai dengan 1933 (jaman Belanda), yang ketika itu sebagai
Bupati Pemalang adalah : Kanjeng Raden Tumenggung Sundoro Suro Adi Kusumo,
memerintah tahun 1907-1938 (disebut juga Kanjeng Sepuh).
2.
Mochadi, memerintah/menjabat
dari tahun 1934 sampai dengan 1945 (jaman Jepang), yang ketika itu
sebagai Bupati Pemalang adalah :
a.
Kanjeng Raden Tumenggung Raharjo Suro Adi Kusumo, memerintah tahun 1938-1944.
b.
Pangat, tokoh pemberontak tiga daerah, memerintah tahun 1945-1946 (tidak ada satu tahun).
Pada periode ini :
Kepada Desa/Lurah : Mochadi.
Sekretaris
Desa/Carik : Musta’am.
Pada masa babakan ini pesta
demokrasinya masih sangat unik dan demokratis, karena hak pilih/pemilih dalam
memberikan hak suaranya hanya menggunakan bithing
(lidi) yang dimasukkan ke dalam bumbung
(bambu yang dipotong dan diberi lubang kecil/seperti kentongan) sesuai dengan pilihannya.
Pusat pemerintahan/kantor balai desanya pada saat ini selalu
mengalami perpindahan dari satu tempat ketempat lainnya, yaitu tergantung siapa
yang menjadi Lurah/Kepala Desa, karena balai
desa pada waktu itu selalu berada di rumah atau di tempat tinggal Lurah/Kepala Desa yang terpilih/jadi.
Adapun tempat/kantor balai desa ketika itu adalah di rumah :
1.
Mashudi, balai desanya di daerah Kauman/sekarang rumah Bpk. Abdul Hakim,
2.
Mochadi, balai desanya di daerah Trenggulun/sekarang rumah penulis.
c.
Babakan Masa Baru.
Masa ini Penulis sebut masa babakan baru, karena
jabatan Lurah/Kepala Desa pada masa
ini dimulai setelah kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Adapun penguasa
pada masa ini adalah :
1.
Musta’am, memerintah menjabat dari
tahun 1945 sampai dengan 1949, yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang adalah :
a.
Pangat, tokoh pemberontak tiga daerah, memerintah tahun 1945-1946 (tidak
ada satu tahun).
b.
Kyai Makmur, tokoh Hisbullah, karena berhasil menumpas pemberontak ditiga
daerah di Pemalang, diangkat atau dipilih oleh rakyat menjadi bupati tahun
1946-1947 (kurang dari satu tahun).
c.
Mochtar, memerintah tanggal 1 Desember 1949 sampai tanggal 1 Mei 1952.
2.
Karnadi, memerintah/menjabat
dari tahun 1949 sampai dengan 1951 (jaman Recomba = Regeerings-Comissaris voor Bestuursaangelegen Heden / Aksi Militer Belanda ke-2), yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang
adalah Mochtar, memerintah tanggal 1
Desember 1949 sampai tanggal 1 Desember 1952.
3.
Musta’am, memerintah/menjabat
dari tahun 1952 sampai dengan 1961, yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang adalah :
a.
Raden Sumardi Tirto Soedirjo, 1952 - 1960.
b.
R.
Soemartojo, 1960-1967.
Pada periode
Must’am, Karnadi dan Musta’am, penulis belum mendapat data siapa
sekdes/cariknya.
4.
Durahman, memerintah/menjabat
dari tahun 1962 sampai dengan 1965, yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang adalah :
R. Soemartojo,
1960-1967.
Pada periode ini :
Kepala Desa/Lurah : Durahman.
Sekretaris Desa/Carik : Darto.
5.
Abdul Hadi,
memerintah/menjabat dari tahun 1967-1984, yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang adalah :
a.
Drs. Rifai Yoesoef, 1967-1972.
b.
Drs. Soewarto, 1972-1974.
c.
Drs. Soedarmo, 1974-1975.
d.
Slamet Haryanto, BA, 1980-1991.
Pada periode ini :
Kepala Desa/Lurah : Abdul Hadi.
Sekretaris Desa/Carik : Ta’ali.
Kaur Pem : Wasian.
Kaur umum : Tarekat.
Lebe :
H. Anwar.
Kadus Bong : Warnadi.
Kadus Bandaran : Wastari.
Kadus Candi : Sumaryo.
Kadus Jagalan : Mulyo.
Kadus Panggang : Tarjani.
Periode masa jabatan
Lurah/Kepala Desa pada waktu itu
belum dibatasi seperti saat sekarang ini, pemilihan Lurah/Kepala Desa dilaksanakan apabila Lurah/Kepala Desa meninggal dunia atau mengundurkan diri atau
adanya pergantian pemerintahan (politik), bentuk pemilihannya sudah berubah
dengan menggunakan kartu suara dan sudah tidak seperti pemilihan Lurah/Kepala Desa sebelumnya, yaitu
masih menggunakan bithing/lidi
sebagai kartu/hak suara dan bumbung
sebagai kotak suara.
Baru pada tahun 1979
terbit UU No. 5 Tahun 1979 yang mengatur
mengenai masa jabatan Kepala Desa/Lurah
selama 8 (delapan) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan berikutnya sebagai Kepala Desa, namun usia pendaftaran calon Kepala
Desa dibatasi yaitu maksimum 60 tahun.
Berikut Kepala Desa
yang masa jabatannya selama 8 (delapan) tahun, dan dapat mencalonkan diri lagi
sebagai Kepala Desa, adalah :
6.
Goenadi, memerintah/menjabat
dari tahun 1985 sampai dengan 1993, yang ketika itu
sebagai Bupati Pemalang adalah :
a.
Slamet Haryanto, BA, 1980-1991.
b.
Drs. Soewartono, 1991-1996.
Pada periode ini :
Kepala Desa : Goenadi.
Sekdes :
Bambang Sugeng
Kaur Pem : Wasian.
Kaur Umum : Tarekat.
Lebe :
Abul Ghofur.
Kadus Bong : Warnadi.
Kadus Bandaran : Wastari.
Kadus Candi : Sumaryo.
Kadus Jagalan : Mulyo.
Kadus Panggang : Tarjani.
7.
Abdul Ghofur,
memerintah/menjabat dari tahun 1993 sampai dengan 2001, yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang
adalah :
a.
Drs. Soewartono, 1991-1996.
b.
Drs. H. Munir, 1996-2001.
c.
HM.
Machrus, SH., 2001-2006.
Pada periode ini :
Kepala Desa : Abdul Ghofur.
Sekdes :
Bambang Sugeng.
Kaur Pem : Wasian.
Kaur Pemb : Kisnoyo.
Kaur Umum : Amat Aidin.
Kaur Kesra : Mustofa.
Kadus Bong : Priyono.
Kadus Bandaran : Wastari.
Kadus Candi : Jaeri.
Kadus Jagalan : Heru.
Kadus Panggang : Sa’ban.
Pada tahun 2001
terbit Peraturan Daerah Kabupaten Pemalang yang mengatur mengenai masa jabatan
Kepala Desa selama 10 (sepuluh) tahun, namun Kepala Desa terpilih/yang jadi
tidak dapat mencalonkan diri lagi sebagai Kepala Desa pada periode berikutnya
dan usia calon Kepala Desa maksimum 57 tahun.
Kepala
Desa yang masa jabatannya 10 (sepuluh) tahun dan tidak dapat mencalonkan diri
lagi sebagai Kepala Desa, adalah :
8.
H.M. Edi Sutanto,
memerintah/menjabat
dari tahun 2002 sampai dengan 2012, yang ketika itu sebagai Bupati Pemalang adalah :
a.
HM. Machroes, SH., 2001-2011 (dua periode).
b.
HM.
Junaedi, SH, MM., 2011 – sekarang.
Pada periode ini :
Kepala Desa : Edi Sutanto.
Sekdes :
Bambang Sugeng.
Kaur Pem : Agus Subekti.
Kaur Pemb : Kisnoyo.
Kaur Umum : Amat Aidin.
Lebe :
Mustofa (meninggal)
Slamet Nur Salim
Polisi Desa : Ismail.
Kadus Bong : Priyono.
Kadus Bandaran : Maliki.
Kadus Candi : Jaeri.
Kadus Jagalan : Heru.
Kadus Panggang : Sa’ban.
Pada tahun 2006 terbit Peraturan Daerah Kabupaten
Pemalang Nomor 18 Tahun 2006 yang
mengatur mengenai masa jabatan Kepala Desa selama 6 (enam) tahun dan dapat
dipilih kembali hanya untuk waktu satu
kali masa jabatan berikutnya.
Berikut penulis sampaikan mengenai keberadaan tempat Kantor Balai
Kelurahan/Balai Desa Rowosari. Pada
masa ini pusat pemerintahan awal masih Kantor Balai
Kelurahan/Balai Desa masih berada di
rumah Lurah/Kepala
Desa, yaitu :
1.
Mustaam, di Candi/sekarang rumah Bpk. H. Miftah Candi.
2.
Karnadi, di Bong Ploso/sekarang rumah Bpk. Tanto H. Rasidi,
3.
Musta’am, pernah di candi/sekarang rumah Bpk. H. Maskuri, kemudian pindah di
Bandaran/sekarang rumah orang tua Bpk. Lebe Slamet Nursalim,
4.
Durahman, di Bandaran/sekarang rumah Bpk. Mustofa/sebelah barat sungai Sragi.
5.
Abdul Hadi, awal menjabat balai
desanya di sekitar pasar Ulujami (1966-1970-an), kemudian kantor balai desa
pindah di Panggang/sekarang rumah Ibu Hj. Minati /sebelah selatan Muholla Panggang, baru pada sekitar tahun 1979-1980an pusat pemerintahan/balai desanya menetap/
pindah di jalan raya Daendeles/jalan raya
Ulujami (sekarang balai desa lama).
6.
Goenadi, menggunakan balai
desa di jalan raya Ulujami (balai desa lama).
7.
Abdul Ghofur, menggunakan
balai desa di jalan raya Ulujami (balai desa lama).
8.
Edi Sutanto, di balai desa
lama (di jalan raya Ulujami), kemudian oleh Edi Sutanto, pada bulan Januari
2010 balai desa dipindah ke dukuh Pejaten (balai desa baru) hingga sekarang.
Dari pengamatan
penulis selama ini Lurah/Kepala Desa
yang terpilih/jadi adalah orang yang memilik rumah/tempat tinggal menghadap ke
Selatan atau menghadap ke Utara :
1.
Mashudi, rumahnya menghadap ke utara jalan (sekarang ditempati oleh Bpk.
Abdul Hakim/prapatan kauman, dukuh Jagalan Lor),
2.
Mochadi, rumahnya menghadap ke selatan jalan (sekarang rumah keluarga penulis,
Jl. Among Jiwo dukuh Bong),
3.
Musta’am, rumahnya menghadap ke selatan jalan (sekarang rumah Bpk. H. Maskuri, dukuh Candi) dan ke uatara
jalan (sekarang di tempati orang tua Bpk. Lebe Slamet Nur Salim, dukuh Bandaran),
4.
Karnadi, rumahnya menghadap ke selatan (sekarang rumah Bpk. Tanto H. Rasidi, dukuh Bong),
5.
Durahman, rumahnya menghadap ke selatan jalan (sekarang rumah Bpk. Mustofa
Bandaran/sebelah barat sungai Sragi),
6.
Abdul Hadi, rumahnya menghadap ke utara jalan (sekarang jadi pasar Ulujami, rumah Ibu Hj. Minati/sebelah selatan Mushola
Panggang), kemudian pindah/ membangun rumah menghadap ke selatan jalan
(sekarang rumah Wiluyo Jagalan Lor/jalan raya Ulujami),
7.
Goenadi, rumahnya menghadap ke selatan (sekarang ditempati
istrinya/dibelakang BTM dukuh Bandaran),
8.
Abdul
Ghofur, rumahnya menghadap ke utara (sekarang
ditempati anak-anaknya, dukuh Candi)
9.
H.M.
Edi Sutanto, rumahnya menghadap ke utara jalan
(Panggang Sumur/jalan candi-keweden).
Demikianlah
para penguasa daerah Desa Rowosari dan kantor balai
desanya yang baru berhasil penulis
sajikan, baik dengan data sandaran dongeng/cerita, arkeologis maupun data
historis dan arsip-arsip yang berhasil dikompilasi.
B.
Lembaga
Desa
1.
LSD adalah
singkatan dari Lembaga Sosial Desa, suatu organisasi kemasyarakatan, yang
didirikan dari, oleh dan untuk masyarakat yang bergerak dalam bidang
kesejahteraan sosial. Status LSD bersifat non governmental dan non politik. LSD
bukan organisasi pemerintah tetapi sepenuhnya milik masyarakat yang mendapat
perlindungan, bimbingan dan pembinaan dari pemerintah. LSD lahir sebagai
pengejawantahan dari rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial (output / produk
bimbingan sosial) dari masyarakat yang telah merindukan adanya kesejahteraan
sosial bagi mereka.
Keberadaan LSD di Desa Rowosari dibentuk setelah
diresmikannya lembaga tersebut oleh Bupati Pemalang pada tanggal 5 Mei 1952,
namun penulis hingga sekarang belum mendapatkan data tentang siapa nama ketua
atau pengurus LSD pada waktu itu.
2.
Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dibentuk bedasarkan UU No.28 Tahun 1980, yang
berfungsi sebagai koordinator pelaksanaan proyek pembangunan desa. Sebelum
bernama LKMD lembaga ini bernama Lembaga
Sosial Desa (LSD).
Di Desa Rowosari LKMD pada waktu itu yang penulis
ketahui sebagai pengurus atau ketua adalah Bapak Nuchat, BA., yang menjabat cukup lama.
Setelah era reformasi (1998) dengan berdasar pada UU No. 22 Tahun 1999, LKMD
berubah menjadi LPMD, yang diketuai oleh Bpk. Djamzuri hingga sekarang.
3.
Lembaga
Musyawarah Desa (LMD) adalah lembaga permusyawaratan/ permufakatan yang
keanggotaannya terdiri dari Kepala-kepala Dusun, Pimpinan Lembaga-lembaga
Kemasyarakatan dan Pemuka-pemuka Masyarakat di desa yang bersangkutan. Karena
jabatannya Kepala Desa sebagai ketua, sedangkan Sekdes sebagai sekretarisnya.
Lembaga ini dibentuk berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979
Tentang Pemerintahan Desa.
Dengan berlakunya UU No.22 Tahun 1999, maka Lembaga
Musyawarah Desa (LMD) ditiadakan dan diganti dengan lembaga yang bernama Badan
Perwakilan Desa (BPD).
4.
Badan Perwakilan
Desa (BPD) dibentuk berdasarkan UU No.22 Tahun 1999. Badan Perwakilan Desa atau
yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat
Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan
Desa.
Masa kerja Badan Perwakilan Desa (BPD) Desa Rowosari
selama 5 (lima) tahun, sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2006, dengan
susunan pengurus sebagai berikut :
Ketua :
Aji Sudarmaji, SH.
Wakil Ketua :
KH. Turmudzi, Ama.
Wakil Ketua :
Mustakim.
Anggota :
a.
Minarsih,
Ama.Pd.
b.
Farina.
c.
Erna
Murniati.
d.
Nuchat,
BA.
e.
Ruyadi,
S.Pd.
f.
A. Saefulloh,
S.Ag.
g.
Masudin.
h.
Khaerudin.
i.
Fachrozi.
j.
M. Toha.
Sekretaris : Doni Kumayas.
Bendahara : Sukamto.
Antar waktu : Khaerudin,
S.Ag. menggantikan Nuchat, BA.
5.
Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) dibentuk berdarkan UU No32 Tahun 2004. Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa
bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan
Pemerintah Desa seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Angaran
Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa. Di desa di bentuk
lembaga ke masyarakatan yang berkedudukan sebagai mitra kerja Pemerintah Desa
dalam memberdayakan masyarakat desa.
Masa kerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa
Rowosari selama 5 (lima) tahun, sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2012,
dengan susunan pengurus sebagai berikut :
Ketua :
Drs. H. Nur Hanif.
Wakil Ketua :
Kisbantoro.
Sekretaris :
Heri A. Riyanto, S.Pd
Bendahara :
A. Kholik, SE.
Anggota :
a.
Rofiq Edy.
b.
Edi
Mulyono, S.HI.
c.
A.
Saefulloh, S.Ag.
d.
Nasori,
S.Ag.
e.
Khahar
Muzakar.
f.
Eko
Apriyono.
g.
Murito.
6.
PKK
PKK pada awalnya merupakan singkatan dari Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga (1961). Gerakan PKK di masyarakat berawal dari kepedulian Isteri Gubernur Jawa
Tengah pada tahun 1967, Ibu ISRIATI MOENADI, setelah melihat keadaan
masyarakat yang menderita busung lapar. Pada awalnya program PKK adalah 10 segi
pokok PKK. Kemudian pada tanggal 27 Desember 1972 Menteri Dalam Negeri
mengeluarkan Surat Kawat Nomor Sus 3/6/12 kepada Gubernur KDH Tk.I Jawa
Tengah dengan tembusan Gubernur KDH seluruh Indonesia , agar mengubah nama
Pendidikan Kesejahteraan Keluarga menjadi Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga. Sejak itu Gerakan PKK dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan nama
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan tanggal 27 Desember ditetapkan
sebagai “Hari Kesatuan Gerakan PKK” yang diperingati setiap tahun.
Pada perkembangan selanjutnya sesuai dengan Era Reformasi dan GBHN
1999 adanya paradigma baru pembangunan serta Otonomi Daerah berdasarkan
Undang-undang No. 22 Tahun 1999, maka Tim Penggerak PKK Pusat telah
menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional Luar Biasa PKK pada tanggal 31 Oktober
sampai dengan 02 Nopember 2000 di Bandung, yang menghasilkan pokok-pokok
kesepakatan antara lain : Pembinaan Kesejahteraan Keluarga menjadi Pemberdayaan
dan Kesejahteraan Keluarga, disingkat PKK.
PKK adalah suatu gerakan pembangunan yang tumbuh dari bawah,
dikelola oleh, dari dan untuk masyarakat menuju terwujudnya keluarga yang
sejahtera.
PKK adalah lembaga sosial kemasyarakatan yang independen non profit
dan tidak berafiliasi kepada suatu partai politik tertentu.
Kepengurusan PKK untuk jabatan ketua dan sekretaris secara otomatis
melekat pada istri kepala desa dan istri sekretaris desa.
Di Desa Rowosari untuk ketua dan sekretrais PKK yang penulis ketahui
adalah :
a.
periode
1967-1984
Ketua : Ibu Abdul Hadi.
Sekretaris : Ibu Ta’ali.
b.
Periode
1985-1993
Ketua : Ibu Goenadi.
Sekretaris : Ibu Bambang Sugeng.
c.
Periode
1993-2001
Ketua : Ibu Abdul Ghofur.
Sekretaris : Ibu Bambang Sugeng.
d.
Periode
2002-2012
Ketua : Ibu Edi Sutanto.
Sekretaris : YusiSlamet
Nur Salim.
e.
Periode
2012-2018
Ketua :
Sekretaris :
7.
Karang
Taruna
Cikal bakal Karang Taruna di Desa Rowosari pertama kali
penulis bentuk pada tahun 1985 dengan nama PKK Remaja, dengan jumlah awal anggota
sebanyak 23 orang remaja putra-putri yang terdiri dari remaja 5 (lima)
pedukuhan (Bong, Jagalan, Bandaran, Candi dan Panggang), yang kemudian dalam
perjalannya jumlah anggota mencapai 150 orang remaja. Kegiatan PKK Remaja pada
waktu itu, meliputi : rapat pertemuan rutin tiap 15 hari (1/2 bulan) sekali yang
dilaksanakan pada hari Sabtu atau Minggu sore; bidang olah raga : volley, sepak
takraw, bulu tangkis; bidang kesenian : musik, drama, puisi, teater dan selalu mengadakan
lomba-lomba serta pentas seni pada setiap acara 17-an, selain daripada itu
adanya bakti sosial ke masyarakat setiap hari Jumat kliwon.
Susunan pengurus PKK Remaja pada waktu itu :
Ketua : Aji
Sudarmaji
Wakil Ketua : Nurmawati.
Sekretaris : Nuning
Isnaeni.
Bendahara : Mursih.
Kemudian pada tahun 1987 penulis mundur dari
kepengurusan, yang ketika itu dijabat oleh :
Ketua :
Sukardi.
Sekretaris :
Sumarto.
Bendahara :
Sumedi.
Kepengurusan ini ternyata gagal dan bubar tidak lebih dari 3 bulan.
Kemudian pada awal tahun 1990, Kepala Desa pada waktu
itu (Bpk. Goenadi) meminta kepada penulis untuk membentuk Karang Taruna lagi,
dan terbentuk dengan kepengurusan :
Ketua :
Aji Sudarmaji.
Wakil Ketua :
Furqoni.
Sekertaris :
Sri Suhartati.
Bendahara :
Nur Wijayanti.
Karang Taruna Desa Rowosari pada waktu itu penulis beri
nama “Mudha Sembadha”. Perjalanan
karang taruna dibawah kepemimpinan penulis kegiatannya tidak jauh berbeda
dengan masa tahun 1985-1987.
Dalam kurun waktu tahun 1990 sampai dengan tahun 1994, di
bawah kepengurusan Karang Taruna tingkat desa, maka dibentuk kepengurusan karang taruna di
tingkat dukuh, yaitu :
1.
Dukuh
Bong, dengan nama Tunas Remaja, yang diketuai oleh Priyono.
2.
Dukuh
Bandaran, dengan nama Pakar Mudha, yang diketuai oleh Amat Aidin
3.
Dukuh
Candi, dengan nama Tunas Karya, yang diketuai oleh Wakif.
Sedangkan Dukuh Jagalan dan Dukuh Panggang belum sempat
penulis bentuk, hal ini disebabkan pada tahun 1994 penulis mengundurkan diri
karena sudah berkeluarga dan menurut penulis pada waktu itu perlu adanya
regenerasi kepengurusan Karang Taruna “Mudha
Sembadha”.
Untuk regenerasi, maka dibentuk kepengurusan karang taruna
yang baru, dengan Ketua Furqoni dan Sekretaris Ali Soli, namun kepengurusan ini
hanya berjalan 1 (satu) tahun sampai tahun 1995.
Setelah adanya Kepala Desa Rowosari yang baru (Edi
Sutanto), penulis meminta agar dibentuk karang taruna di Desa Rowosari, maka pada
tahun 2003 dibentuklah kepengurusan karang taruna :
Ketua :
Edi Mulyono.
Sekretaris :
Amir Cholis
Bendahara :
Nur Kholifah.
Namun pada tahun 2004/2005 kegiatan karang taruna tersebut sudah
tidak aktif lagi hingga sekarang.
8.
Organisasi
Keagamaan
Organisasi keagamaan yang tertua dan terbesar di Desa
Rowosari adalah organisasi keagamaan Nahdatul Ulama (NU) yang mempunyai
organisasi yang bernaung dibawahnya (underbow)
seperti Fatayat, Muslimat, GP.Ansor, IPNU, IPPNU, dengan jumlah anggotanya
hampir 2/3 penduduk Desa Rowosari.
Selain organisasi keagamaan NU, organisasi keagamaan
yang lain adalah Muhammadiyah (MD) yang mempunyai organisasi yang bernaung dibawahnya
(underbow) seperti Pemuda
Muhammadiyah, Naisyatul Aisiyah (NA), Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), dengan
jumlah anggotanya hampir 1/3 penduduk Desa Rowosari.
Sedangkan organisasi keagamaan yang non muslim (kristen
dan yang lainnya) di Desa Rowosari tidak tampak.
9.
Organisasi
Politik
Masyarakat Desa Rowosari sebagaimana masyarakat
lainnya tidak terlepas dari hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam
menjalankan demokrasi hak politiknya.
Partai politik pada jaman sebelum kemerdekaan pada
umumnya sebagai partai yang bersifat idiologis, yang mempunyai tujuan utama
mewujudkan kemerdekaan.
Pada tahun 1939 di Hindia Belanda telah terdapat beberapa fraksi
dalam volksraad yaitu Fraksi Nasional, Perhimpunan Pegawai Bestuur
Bumi-Putera, dan Indonesische Nationale Groep. Sedangkan di luar volksraad
ada usaha untuk mengadakan gabungan dari Partai-Partai Politik dan
menjadikannya semacam dewan perwakilan nasional yang disebut Komite Rakyat
Indonesia (K.R.I). Di dalam K.R.I terdapat Gabungan Politik Indonesia (GAPI),
Majelisul Islami A'laa Indonesia (MIAI) dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI).
Fraksi-fraksi tersebut di atas adalah merupakan partai politik - partai politik
yang pertama kali terbentuk di Indonesia.
Selama
Jepang berkuasa di Indonesia, kegiatan Partai Politik dilarang, kecuali untuk
golongan Islam yang membentuk Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(MASYUMI).
Penulis belum dapat mengungkapkan tentang kegiatan
politik di Desa Rowosari sebelum kemerdekaan.
Dalam buku Kepartaian Indonesia yang diterbitkan oleh
Kementrian Penerangan tahun 1951, dibuat klasifikasi partai politik dengan :
1.
Dasar
Ketuhanan :
a.
Partai
Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi).
b.
Partai
Serikat Islam Indonesia (PSII).
c.
Pergerakan
Tarbiyah Islam (Perti).
d.
Partai
Kristen Indonesia (Parkindo).
e.
Partai
Katholik.
2.
Dasar
Kebangsaan :
a.
Partai
Nasional Indonesia (PNI).
b.
Persatuan
Indonesia Raya (PIR).
c.
Partai
Indonesia Raya (Parindra).
d.
Partai
Rakyat Indonesia (PRI).
e.
Partai
Demokrasi Rakyat (Banteng).
f.
Partai
Rakyat Nasional (PRN).
g.
Partai
Wanita Rakyat (PWR).
h.
Partai
Kebangsaan Indonesia (Parki).
i.
Partai
Kedaulatan Rakyat (PKR).
j.
Serikat
Kerakyatan Indonesia (SKI).
k.
Ikatan
Nasional Indonesia (INI).
l.
Partai
Rakyat Jelata (PRJ).
m.
Partai
Tani Indonesia (PTI).
n.
Wanita
Demokrat Indonesia.
3.
Dasar
Marxisme :
a.
Partai
Komunis Indonesia (PKI).
b.
Partai
Sosialis Indonesia (PSI).
c.
Partai
Murba (Musyawarah Rakyat Banyak).
d.
Partai
Buruh.
e.
Persatuan
Rakyat Marhaen Indonesia (Permai).
4.
Partai
politik lain-lain :
a.
Partai
Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI).
b.
Partai
Indo Nasional (PIN).
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi
dua tahap, yaitu:
·
Tahap
pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada
tanggal 29 September
1955, dan diikuti oleh 29
partai politik dan individu,
·
Tahap
kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Di Desa Rowosari pada periode ini masyarkatanya
banyak yang menjadi pengurus dan anggota partai politik. partai politik yang ada
pada waktu itu adalah :
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun
1971, tepatnya pada tanggal 3 Juli 1971.
Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai
politik dan 1 organisasi masyarakat.
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada
tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan
dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan
"Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975,
Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia dan satu Golongan Karya.
Di Desa Rowosari pada periode pemilu tahun 1977,
1982, 1987 yang menjadi pemenang pemilu adalah Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), dan periode tahun 1992 dan 1997 yang menjadi pemenang adalah Golkar.
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama
setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999
dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah
pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Di Desa Rowosari pada periode ini yang menjadi
pemenang pemilu adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga
perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat
memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres
2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini
dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil
mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih
presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya
dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Di Desa Rowosari Pilpres 2009
diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung
dengan mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto
dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.
C.
Pemerintahan
Tingkat Kecamatan
Desa Rowosari
merupakan desa-kota. Dikatakan desa-kota, karena Desa Rowosari merupakan sebuah
desa yang terletak dipusat kota pemerintahan tingkat kecamatan. Keberadaan
pusat kota pemerintahan tingkat kecamatan yang sekarang tentunya tidak sama
dengan keberadaan pusat kota pemerintahan tingkat kecamatan pada waktu dulu,
terutama mengenai letak kantor pemerintahannya.
Perlu kiranya penulis
sampaikan dalam buku ini mengenai letak perkantoran tingkat kecamatan Ulujami
pada waktu dulu, agar generasi mendatang dapat mengetahui secara jelas di mana
letak perkantoran tersebut sebelum
seperti keadaan yang sekarang ini :
1.
Kantor
Kecamatan pada jaman Belanda letaknya di KUD
sekarang (sebelah selatan jalan raya Ulujami/dukuh Bong), setelah tahun 1965
atau sebelum tahun 1973 letaknya pindah di depan balai desa Rowosari lama atau di sebelah selatan jalan raya Ulujami
(sekarang Dealer Yamaha/Dukuh Jagalan Kidul), sedangkan Kantor Kecamatan yang
sekarang, dibangun di atas tanah yang dulunya bekas kuburan orang cina/bong.
Kantor Kecamatan pada waktu sebelum orde baru namanya bukan Kantor Kecamatan
akan tetapi bernama Kantor Asistenan
dan pejabatnya disebut Asisten Wedana
(sekarang Camat);
2.
Kantor
Koramil (Komando Rayon Militer) sebelum tahun
1980-an, letaknya di sebelah timur Toko Prayogo (sekarang Kantor BTM masuk
dukuh Bandaran), sedangkan Kantor Koramil yang sekarang, dibangun di atas tanah
bekas kuburan orang cina/bong. Kantor Koramil pada tahun 1950-an bernama Kantor
Bintara Onder Distrik Militer (BODM),
kemudian pada tahun 1960-an bernama PUTERPRA/BUTERPRA (Perwira/Bintara
Urusan Teritorial dan Perlawanan Rakyat);
3.
Markas/Kantor
Polsek (Polisi Sektor) sebelum tahun 1990-an
letaknya di sebelah barat Kantor Polsek sekarang (bangunan Klenteng baru).
Kantor Polsek sebelum tahun 1980-an
bernama Markas/Kantor Komando Sektor
(Komsek), pejabatnya disebut Dansek (sekarang Kapolsek); Kantor Polsek pada waktu
dulu menggunakan rumah/bangunan kuno milik orang etnis cina.
4.
Kantor
Puskesmas sebelum tahun 1960-an namanya Klinik letaknya
di lokasi Puskesmas seperti sekarang, namun bangunannya masih menggunakan rumah
warga (milik orang etnis cina), kemudian setelah tahun 1960 pindah di sebelah
barat Kantor Kecamatan/sekitar pos ojek, bangunan tersebut didirikan di atas
tanah bekas kuburan orang cina/bong. Kemudian pada sekitar tahun 1980-an Kantor
Puskesmas pindah lagi ke tempat/lokasi bangunan awal dengan mendirikan bangunan
Puskesmas seperti yang sekarang dan banguannya diperluas. Lokasi Puskesmas yang
sekarang dulunya tanah bekas bangunan gudang garam. Kantor Puskemas pada waktu dulu
namanya Klinik, namun sebagian masyarakat menyebutnya krinit (maksudnya Klinik), pimpinan/kepala
kantornya pada tahun 1960-1970-an masih dijabat oleh seorang mantri kesehatan
(Bpk. Haryono ayah dari Ibu Oktin).
5.
Kantor
Urusan Agama (KUA) pada jaman Belanda disebut VOOR Islamistische
Saken, kemudian pada jaman Jepang bernama Shumubu.
Masyarakat Desa
Rowosari pada waktu itu mengalami kesulitan untuk menyebut nama Kantor Urusan
Agama dengan nama-nama asing tersebut, maka untuk memudahkanya masyarakat menyebut
Kantor Urusan Agana (KUA) dengan nama Kopel
(arti : rumah berpasangan; bergandengan/ saling berhubungan),
karena letaknya tepat di sebelah utara (bergandengan dengan) Masjid Jami
Ulujami (sekarang rumah praktek bidan Hj. Rumaedah/dr. H. Abdurrahman), dan
untuk pelaksanaan akad nikah dilakukan di Masjid Jami Ulujami. Orang yang telah
melakukan akad nikah di Masjid Jami’
pada waktu dulu selalu menyebut dirinya dengan istilah bahwa dirinya : wis
munggah batur duwur (sudah naik lantai teras yang tinggi artinya sudah
menikah), karena Masjid Jami’ pada waktu dulu memang lantainya cukup tinggi. Kemudian
tahun 1970-an pindah di rumah H. Nahrawi, karena beliau selaku Kepala KUA/Penghulu/Pengulu
pada waktu itu (sekarang rumah Bpk. Abdul Hakim/ prapatan kauman). Baru setelah tahun 1974/1975 Kantor Urusan Agama (KUA) yang oleh
masyarakat pada waktu itu menyebutnya dengan nama Kantor Penghulu/Pengulu pindah
di Jl. Among Jiwo/dukuh Bong seperti yang sekarang ini.
6.
Sekolah
Dasar
Sekolah Dasar pada jaman Belanda ada
beberapa macam :
1.
ELS (Eurospeesch Lagere School) atau disebut
juga HIS (Hollandsch Inlandsch School)
sekolah dasar dengan lama studi sekitar 7 tahun. Sekolah ini menggunakan sistem
dan metode seperti sekolah di negeri belanda.
2.
Sekolah
Bumi Putera (Inlandsch School) dengan
bahasa pengantar belajarnya adalah bahasa daerah dan lama study selama 5 tahun.
3.
Sekolah
Desa (Volksch School) dengan bahasa
pengantar belajar bahasa daerah sekitar dan lama belajar adalah 3 tahun.
4.
Sekolah
lanjutan untuk sekolah desa (Vervolksch
School) belajar dengan bahasa pengantarnya bahasa daerah dan masa belajar
selama 2 tahun.
5.
Sekolah
Peralihan (Schakel School) yaitu
sekolah lanjutan untuk sekolah desa dengan lama belajar 5 tahun dan berbahasa
belanda dalam kegiatan belajar mengajar.
Kemudian pada jaman Jepang Sekolah Dasar bernama Kokumin Gakko atau Sekolah Rakyat (SR). Kokumin Gakko berlangsung sepanjang
pendudukan Jepang dari Maret 1942 sampai Agustus 1945, hanya tiga setengah
tahun, namun dampaknya bagi dunia pendidikan sungguh luar biasa.
Nama
Sekolah Rakyat (SR) berlangsung sampai akhir jaman orde baru, kemudian pada jaman orde baru
(1970-an) Sekolah Rakyat (SR) berubah namanya menjadi Sekolah Dasar (SD)
seperti sekarang ini.
Sekolah
Dasar yang berada di Desa Rowosari pada jaman Belanda-Jepang merupakan
satu-satunya sekolah dasar ditingkat kecamatan Ulujami. Sedangkan Sekolah
Rakyat (SR) atau Sekolah Dasar (SD) di luar Desa Rowosari pada jaman
Belanda-Jepang, waktu tempuh pendidikan hanya sampai kelas 5 saja, kemudian
untuk kelas 6 dan kelas 7 atau untuk mendapatkan ijasah/tanda kelulusan harus
menempuh pendidikan lagi selama 2 tahun di Sekolah Rakyat (SR) yang berada di Sekolah Rakyat Rowosari (sekarang SD
Negeri Rowosari 01).
Untuk melanjutkan pendidikan di tingkat SMP atau SMA pada jaman
Belanda-Jepang harus ke Pekalongan. MULO Sekolah lanjutan tingkat pertama
singkatan dari Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs dengan tingkatan yang sama dengan SMP/SLTP pada saat jika
dibandingkan dengan masa kini. HBS (Hogere
Burger School) yang merupakan sekolah lanjutan tinggi pertama untuk warga
negara pribumi dengan lama belajar 5 tahun. AMS (Algemeen Metddelbare School) mirip HBS, namun setingkat SLTA/SMA.
Stovia (School Tot Opleiding
Van Inlansche Artsen) yang sering disebut juga sebagai Sekolah Dokter Jawa
dengan masa belajar selama 7 tahun sebagai lanjutan MULO.
C.
Perkembangan
Masyarakat
Salah satu ciri dari
masyarakat adalah berkembang. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya
perkembangan dan perubahan sosial, misalnya datangnya penjajah/kolonialis
dengan berbagai ciri kebudayaannya, sistem ekonomi, pola pendidikan, pola
pemerintahan dan banyak hal lain yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari
faktor-faktor indvidual yang berpengaruh dengan secara tanpa disadari mampu
mempengaruhi individu lainnya.
Perkembangan
masyarakat Desa Rowosari secara umum sudah mengalami perubahan dan peningkatan
ke arah yang lebih baik, dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya, baik dalam
bidang usaha, pendidikan, agama, politik, sosial budaya maupun dalam bidang
pembangunan.
Jumlah penduduk Desa
Rowosari tahun 2012 berjumlah 7.095 jiwa, dengan rincian sebagai berikut :
a.
Laki-laki : 3.532 jiwa.
b.
Perempuan : 3.563 jiwa
Dalam bidang usaha
atau pekerjaan, masyarakat Desa Rowosari sebagian besar berwira usaha (home industry) konveksi, baik sebagai
pengusaha, maupun sebagai buruh/karyawan, selain dari itu sebagian warga juga
ada yang berkerja sebagai petani, pedagang, PNS, TNI, Polri, dan swasta
lainnya.
Dalam bidang
pendidikan, masyarakat Desa Rowosari dengan adanya program wajib belajar 9
tahun, maka tingkat pendidikan sudah semakin baik bahkan tidak sedikit yang
menempuh pendidikan S1, S2 dan S3.
a.
Tamat SD : 2.362.
b.
Tamat SLTP : 1.100.
c.
Tamat SLTA : 600.
d.
Diploma : 68.
e.
Sarjana S1 : 52.
f.
Sarjana S2 : 4.
g.
Sarjana S3 : -
h.
Prof : -
Dalam bidang agama, sebagaimana telah diuraikan dalam
bab sebelumnya, masyarakat Desa Rowosari mayoritas adalah sebagai warga Nahdatul
Ulama (NU) dengan jumlah anggotanya hampir 2/3 penduduk Desa Rowosari.
Selain sebagai warga NU, sebagian masyarakat juga
sebagai warga Muhammadiyah (MD) dengan
jumlah anggotanya hampir 1/3 penduduk Desa Rowosari.
Sedangkan warga non muslim (kristen dan yang lainnya) di
Desa Rowosari hanya sebagian kecil.
BAB VI
PENUTUP
A.
Simpulan
1.
Bahwa
sebelum datangnya Among Jiwo di Desa Rowosari, desa ini sudah ada kehidupan masyarakat,
namun masih sangat tradisional dan belum banyak mengenal tentang agama. Agama yang dianut oleh masyarakat Rowosari pada waktu itu adalah
pemujaan kepada nenek moyang dibuktikan dengan adanya batu bata berukuran besar/adanya bekas bangunan candi atau dapat diduga sudah mengenal peradaban Hindu-Budha dan atau aliran kejawen.
Tradisi kejawen yang
mengutamakan hidup berolah batin, menanamkan hal-hal spiritual dalam kehidupan
sehari-hari adalah sejak sebelum datangnya bangsa India (Hindu-Budha).
Hindu-Budha datang menambah khazanah hidup batin orang Jawa, memperhalus dan
mempertinggi peradabannya. Walaupun demikian sifat khas Jawanya tidak hilang,
bahkan unsur-unsur mistik Hindu-Budha berhasil dijawakan sehingga merasa
benar-benar itu adalah milik asli leluhur Jawa. Tradisi mengagungkan leluhur
sudah merupakan kepercayaan yang sangat kokoh dan sakral bagi masyarakat Jawa.
Kehidupan msitik animis-dinamis telah diperkaya dengan unsur-unsur mistik
mitologis Hindu-Budha, masyarakat Jawa diperkenalkan adanya sang Hyang Wenang
(Tuhan) dan Dewa-dewa dalam agama Hindu.
2.
Pada jaman Kesultanan Demak, ada seorang tokoh
bangsawan dari kasultanan Surakarta/kraton Solo yang bernama R.M. MERTO TRUNO
untuk beberapa waktu belajar dan
memperdalam ajaran agama Islam di Kerajaan/Kesultanan Demak
Bintoro pada masa kepemimpinan Raden Patah yang
mendapat dukungan dari Walisongo. Setelah R.M. Merto Truno dianggap mampu dan
menguasai agama Islam, maka R.M. Merto Truno mendapat amanat/tugas untuk pergi
ke Kerajaan/Kesultanan Banten guna menyebarkan ajaran agama Islam lagi di sana,
(Kesultanan Demak Bintoro pada waktu itu melakukan ekspansi ke Banten untuk
menyebarkan agama Islam). R.M. Merto Truno tidak dapat melanjutkan perjalanan
dan akhirnya menetap di sebuah desa dan melakukan babad desa dengan mengislamkan
masyarakatnya yang kemudian desa tersebut diberi nama Desa Rowosari.
Sejalan
dengan perjalanan waktu Among Jiwo merupakan tokoh besar yang disegani,
dihormati dan dikeramatkan serta mampu menuntun, mengayomi kehidupan masyarakat
dan menjadikan masyarakat semakin maju dan sejahtera, menjadikan masyarakat
lebih dekat dengan Tuhannya, maka Among Jiwo dianggap sebagai tokoh yang mampu
memelihara kehidupan jiwa orang lain. Atas jasa-jasanya, maka Among Jiwo yang
bernama asli R.M. Merto Truno dan merupakan orang pertama yang menyebarkan/siar
agama Islam, maka R.M. Merto Truno mendapat penghargaan tidak tertulis
dari masyarakat, dengan sebutan : Syeh Among Jiwo.
B.
Saran
Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada ahli
sejarah atau tokoh lokal yang menulis tentang sejarah/babad Desa Rowosari, sehingga penulis perlu dan berharap semoga usaha ini akan menggugah para
sejarawan atau tokoh lokal untuk memperhatikan,
melakukan penelitian dan mengembangkan masalah yang berkaitan dengan sejarah atau babad Desa Rowosari, yang pada gilirannya dapat bermanfaat bagi generasi selanjutnya.
---masajieshaemha-2012---
SENARAI PUSTAKA
Arsip Pemerintah
Kabupaten Pemalang, Nama-Nama Dan Masa
Jabatan Bupati Pemalang.
Bappeda Kota
Pekalongan, 2006, Kajian Dalam Rangka
Penelusuran Hari Jadi Kota Pekalongan.
Dedi Supriyadi,
2010, Pengantar Filsafat Islam,
CV. Pustaka Setia, Bandung.
Mangunsuwito,
2007, Kamus Lengkap Bahasa Jawa,
CV.Yrama Widya, Bandung.
Mohamad Sobary,
1996, Kebudayaan Rakyat, Dimensi Agama
dan Politik, Benteng Budaya, Yogyakarta.
Oesman Raliby,
1953, Documenta Historica,
Bulan Bintang, Jakarta.
Yan Pradnya
Puspa, 1977, Kamus Hukum, CV.
Aneka, Semarang.
Solichin Salam,
1960, Sekitar Walisanga,
Menara, Kudus.
Internet.
Wawancara Penulis
dengan :
- Mbah Rasiyah (istri mantan Lurah/Kepala Desa Mochadi).
- Mbah Ismail (Keponakan mbah Rasiyah).
- Mbah Durmad (Dukuh Panggang Pleseran).
- Mbah Soot (Dukuh Bong/Among Jiwo).
- Mbah Mad Dasir (Dukuh Bong/Tegalan).
- Mbah Misro, Desa Bojongkoneng, Kecamatan Kandangserang,
Kabupaten Pekalongan.
- Bpk. H. Mustakim (cucu mantan Lurah/Kepala Desa Mashudi).
- Bpk. Slamet Nursalim (cucu mantan Lurah/Kepala Desa Musta’am).
- Bpk. Sachari (Dukuh Jagalan).
- Bpk. Sukamto (Dukuh Bandaran).
- Beberapa narasumber yang tidak dapat penulis sebutkan
satu-persatu.
SEKILAS TENTANG PENULIS
AJI SUDARMAJI, (cucu dari mbah
Mochadi, Lurah/Kepala Desa pada zaman
Belanda-Jepang) dilahirkan di Bogor pada tanggal 6 Mei 1964. Pendidikan
dari TK (1969-1970) di Kota Manokwari Papua Barat (dulu Irian Jaya), SD Negeri
(1971-1976) di Rowosari Ulujami Pemalang, SMP Negeri 1 (1977-1981) di Kota
Manokwari sampai SMA kelas 1 pertengahan, kemudian pindah di SMA Negeri 1/SMA
Kartini Pekalongan (1981-1984). Setamat dari SMA melanjutkan studinya di UNTAG
Semarang pada Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana (1984-1988), kemudian melanjutkan
pada Program Pascasarjana S2 Ilmu Hukum Jurusan Hukum Pidana di UNISSULA
Semarang (April 2010 - Oktober 2011); Pekerjaan sehari-hari sebagai
Advokat/Pengacara.
Bidang organisasi :
Ketua Karang Taruna Desa Rowosari (1985-1992); Ketua Ikatan Remaja Bumi Wana Mukti
Semarang (1986-1989);
Ketua ARMUSHADA/Aktivitas Remaja Muslim Shabilil Huda Semarang Timur
(1986-1989); Ketua Panitia Pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD) Desa
Rowosari (2001); Ketua Badan Perwakilan (BPD) Desa Rowosari (2001-2006); Ketua
Panitia Pemilihan Kepala Desa Rowosari (2001); Ketua Panitia Pembentukan Badan
Perwakilan Desa (BPD) Desa Rowosari (2006); Ketua I Forum Komunikasi Badan
Perwakilan Desa (BPD) Kabupaten Pemalang (2003-2006); Wakil Ketua DPC Pemuda
Demokrat Kabupaten Pemalang (1994-1999);
Wakil Ketua DPD II KNPI Kabupaten Pemalang (1995-2000); Wakil Ketua DPC
PDI Kabupaten Pemalang (1995-2000); Sekertaris Partai Keadilan dan Persatuan
(PKP) Kabupaten Pemalang (1998-2002); Wakil Ketua Panitia Pemilihan Daerah (PPD
II/sekarang KPU) Kabupaten Pemalang (1999); Ketua Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia (PKP Indonesia) Kabupaten Pemalang (2002-2009); Tim Ahli pada
Pengurus Jaringan Pelayanan Terpadu Korban Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan
dan Anak Kabupaten Pemalang (2005); Panitia Pelaksana Rencana Aksi Hak Asasi
Manusia (RANHAM) Kabupaten Pemalang (2004-2009); Ketua Ikatan Penasihat Hukum
Indonesia Kabupaten Pemalang (1992-sekarang); Dewan Penasihat Forum Advokat
Pemalang (2002-sekarang).